Lebih dari tiga puluh persen dari seluruh kendaraan bermotor di seluruh Indonesia berada di Jakarta. Tahun 2014 saja tercatat ada 3.2 juta mobil dan 17.5 juta motor yang dimiliki oleh warga Jakarta, ditambahkan dengan pendatang dari luar kota, ada sekitar 20 hingga 21 juta kendaraan yang berlalu-lalang di Jakarta setiap hari. Dan angka tersebut masih terus bertumbuh sekitar 12% per tahun; dengan sistem transportasi yang motor-mobil-sentris, pertumbuhan populasi, angkatan kerja, dan ekonomi akan selalu mendorong pertumbuhan kepemilikan dan penggunaan kendaraan bermotor. Jika pada tahun 2011 sejumlah 894 ribu mobil baru laku terjual pada pameran otomotif tahunan di Jakarta, maka pada tahun berikutnya 1.2 juta mobil yang terjual.
Melihat data-data di atas, berusaha untuk mencapai rasio kota berbanding jalan yang baik berdasar teori lapuk memang mungkin saja, toh perekonomian kita mampu membiayai pembangunan jalan layang atau terowongan baru, tetapi masalahnya itu tidak masuk akal untuk dilakukan.
Walaupun dapat tercapai sekalipun, rasio tersebut hanya mempertimbangkan perkara luas jalan berbanding luas kota yang cenderung statis, sementara dengan luasan yang relatif sama, Jakarta telah mengalami berkali-kali lipat peningkatan jumlah penduduk. Di kota metropolitan seperti Jakarta gedung bertambah tinggi setiap tahun; manusia hidup dan beraktivitas secara bertumpuk-tumpuk hingga puluhan lantai.
Oleh karena itu luas area kota sudah tidak relevan untuk menghitung rasio luas ruang sirkulasi yang dibutuhkan. Kita harus hitung juga luas setiap lantai di atas dan di bawah lantai dasar dari gedung apartment, rumah susun, pasar, sekolah, perkantoran, mall, dan rumah sakit jika kita mau tahu luasan kota "yang sebenarnya". Adalah jumlah penduduk, jumlah pengguna kota, angkatan kerja, jumlah manusianya yang harus digunakan sebagai tolok ukur kebutuhan ruang sirkulasi.
Dengan jumlah dan tingkat kepadatan penduduk semacam Jakarta, kebutuhan ruang sirkulasi tidak dapat lagi dipenuhi semata-mata dengan menambah ukuran ruang sirkulasi tersebut, karena selain jalanan, warga juga membutuhkan ruang-ruang publik lainnya. Kita bukan butuh ruang sirkulasi mobil-motor yang lebih banyak lagi, kita butuh metode lain dalam bertransportasi, yang lebih masuk akal.
***
Bisa saja kita tetap terus membangun jalan, memperluas, memperpanjang, menambah layang baru dan terowongan baru dengan tanpa henti, menyetarakan ruang sirkulasi kendaraan pribadi dengan rasio jumlah pengguna kota.
Kabar buruknya, selain bahwa itu adalah cara yang sangat terbelakang, cara itu tetap tidak akan menghapuskan kemacetan dari jalanan.
Â
Seruas jalan dilebarkan atau dibuat baru adalah tanggapan terhadap "trend" peningkatan jumlah kendaraan yang menggunakan jalan tersebut dari waktu ke waktu, dengan harapan terdapat ruang yang memadai untuk menampungnya. Tetapi selalu, kapan pun dan di mana pun, pembukaan jalan baru justru malah memancing orang-orang di luar jumlah pengguna kendaraan yang telah diantisipasi untuk ikut juga menggunakan kendaraan pribadi. Orang-orang yang sebelumnya menghindari waktu-waktu padat juga akan melihat ruas jalan baru tersebut sebagai kesempatan untuk tidak usah menghindarinya lagi. Hal ini akan membuat trend penggunaan kendaraan pribadi meningkat dari perkiraan sebelumnya, dan dalam waktu singkat akan melampaui kapasitas yang baru diakomodir, dan malah akan memperparah kemacetan. Hal ini disebut sebagai "Induced Demand".
Bisa saja kita tetap bersikukuh dan terus-menerus berjuang untuk mengejar trend peningkatan jumlah kendaraan yang baru, mengakomodasi berapapun jumlah kendaraan yang mau digelontorkan di jalanan. Tetapi, selain bahwa itu adalah cara yang sungguh terbelakang kuadrat, dengan cara itu lama-kelamaan kita semua akan terkubur di bawah berlapis-lapis jalanan di atas kepala, langit kita akan berwarna kelabu bertekstur beton ekspos, dengan sedikit grafitti di sana-sini. Kota menjadi milik kendaraan dan kita akan hidup bagai tikus dan kecoak saja.