Di Claremont, Junita berhasil lulus dengan nilai terbaik dan seyogianya ia hendak melamar juga ke Universitas Harvard atau MIT. Tapi ia mengaku bahwa kala itu ia sempat kurang percaya diri, meski sebenarnya ia sudah memenuhi syarat akademik yang diminta kampus top tersebut. Di satu sisi, Junita sangat bersyukur bisa diterima di Wellesley dengan beasiswa penuh selama 4 tahun.Â
 Beasiswa ke Amerika
 Junita menjelaskan, mencari beasiswa untuk kuliah di Amerika sebenarnya tidak begitu sulit. "Kamu tinggal ketik kata kuncinya di google, pasti informasinya muncul semua" paparnya sambil menunjukkan contohnya di presentasinya. "Yang penting, kita harus baca baik-baik jenis beasiswanya, syarat-syaratnya, pasti kamu bisa" pungkasnya. Junita juga sekilas memberitahu jenis-jenis beasiswa yang biasanya diberikan kepada mahasiswa internasional.
 Meski kedengaran gampang, adik-adiknya mulai menemukan beberapa tantangan saat sesi tanya jawab berlangung.  Mereka menyadari, mereka musti belajar lebih keras lagi untuk mencapai persyaratan akademik yang diminta sesuai standar universitas yang mereka tuju. Diantaranya nilai TOEFL, SAT/ACT dan syarat lainnya. Tapi bukan tidak mungkin. Tahun ini, seorang senior mereka, Meinar, berhasil diterima di Univeritas Toronto, Kanada dan juga di sebuah universitas di Texas, Amerika.
 Hobi
 Di sesi kedua, Junita membahas tentang pentingnya menekuni hobi. Bagiku, ini bagian yang paling menarik. Baru kali ini aku mendengar seseorang membahas hobi dari sudut pandang yang unik. Junita bilang, hobi ternyata banyak gunanya. Misalnya, saat menuliskan resume (CV) untuk melamar pekerjaan atau beasiswa. "Mana lebih bagus, 'menuliskan kita itu orangnya pintar saja', atau 'pintar, bisa memasak, bisa main music, bisa bernyanyi, bisa melukis, bisa fotografi'?" tanyanya. Di saat interview, pertanyaan tentang hobi juga sering menjadi penentu kita diterima atau tidak. "Seseorang bilang, bila kita bisa membuat tertawa interviewer saat mendengar jawaban kita, maka kemungkinan besar kita diterima". Menekuni hobi tertentu akan memudahkan kita berkenalan dengan orang baru dan membuat kita bisa lancar berbicara dengan orang tersebut (ada topik ringan yang dibahas). "Misalnya, aku suka lebah. Maka dia akan tanya, apa kamu tidak takut disengat?" katanya.
 Mendengar penjelasannya ini, aku tersentak kagum. Betapa selama ini, orang begitu anggap enteng hobinya. Oh ya, dia juga menekankan bahwa belajar itu bukan hobi! Hehe...
 Sedikit tentang Menulis
 Di akhir sesi, Junita juga sedikit bercerita tentang bagaimana ia meningkatkan kemampuan menulisnya dalam Bahasa Inggris. Ia bilang bahwa ia sejak SMP sudah punya sahabat pena orang Inggris. Sahabat penanya inilah salah satu inspirasi terbesarnya untuk sekolah di luar negeri. Jadi ia sudah sejak dulu berlatih menulis dalam Bahasa Inggris, meski masih banyak salah.Â
 Selama sekolah di Inggris, ia buat komitmen untuk mendaftarkan kosa kata baru dalam kertas sticky note dan wajib menggunakan kata baru nya itu dalam menulis pesan di WA, menulis status di Instagram atau FB, menulis email, dan di media lainnya. Sering kali memang, kita mendaftar kosa kata baru lalu melupakannya. Ia juga menyarankan agar mulai membaca artikel berbahasa Inggris dan konsisten melakukannya.
 Sebelum diskusi berakhir, aku bertanya pada Junita, "Bagaimana pengalaman kuliah di Wellesley setahun ini mengubah pola pikirmu?"
 "Di kampus itu, kami (kaum wanita) diajarkan untuk bisa tampil setara dengan laki-laki, tidak takut dengan laki-laki, bahkan harus lebih kuat dan tangguh dari laki-laki serta punya hak yang setara dengan laki-laki. Aku juga semakin open minded untuk bisa menerima orang yang bahkan punya pandangan yang berbeda, bahkan kontras dari apa yang kuyakini" tegasnya.Â
 Setelah diskusi usai, kami sempatkan berfoto bersama agar pertemuan ini bisa dikenang.
 Terima kasih sudah berkunjung dan berbagi inspirasi ya Junita. Tuhan menolongmu dalam studimu ke depan. Semoga pada waktunya kamu juga bisa seperti perempuan hebat dari kampusmu yang berdampak besar bagi negaranya dan bagi dunia!