"Hi Sir, I've reached Indonesia this morning!" pesannya nongol di messanger fb ku tanggal 5 Agustus lalu. Anak ini memilih untuk menghabiskan sisa libur musim panasnya untuk bertemu dengan keluarganya di Sidikalang. Sudah setahun ia kuliah di negeri Paman Sam, tepatnya di Wellesley College, di tempat kaum wanita hebat dunia bersekolah.Â
Sebut saja Hillary Clinton, calon presiden perempuan pertama, yang nyaris mencetak sejarah baru di negara Trump tersebut. Meski jarang kita dengar, Wellesley merupakan salah satu kampus liberal art teratas di USA, sejajar dengan kampus besar Harvard ataupun MIT yang juga berada di Boston. Uniknya, kampus ini hanya diperuntukkan khusus bagi perempuan saja.Â
 Tampaknya, hanya sedikit perempuan Indonesia yang pernah kuliah di sana. Salah satunya adalah Menteri BUMN kita saat ini, Rini Soemarno. Rini Soemarno ternyata lahir di Amerika dan putri seorang Gubernur Bank BI dan menteri keuangan masa pemerintahan Sukarno. Sepertinya, ia terlahir di keluarga ningrat. Rini mengambil jurusan Ekonomi.
 Satunya lagi bernama Junita Sirait, gadis berusia 19 tahun asal kota Sidikalang, ibu kota Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Ia anak kedua dari dua bersaudara. Ayahnya berprofesi sebagai tentara, dengan pangkat biasa. Ibunya seorang guru PNS di SMP N 1 Sidikalang. Mereka tinggal di perumahan tentara sederhana. Di awal tahun lalu, saya dan keluarga bertahun baru dan bertemu dengan orang tuanya yang sangat ramah. Di rumah yang tidak lapang itu, aku mendengar sekelumit kisah tentang anak perempuan yang lahir tanggal 15 Juni 2000, persis tanggal di waktu aku lahir 12 tahun sebelumnya. Kalau Rini Soemarno ambil jurusan Ekonomi, Junita memilih Computer Science di kampus yang sama.
 Ia bersekolah di SD dan SMP negeri di Sidikalang. Lalu, ia diterima menjadi siswa SMA Unggul Del, setelah melewati beberapa ujian yang sangat ketat. Menariknya, prestasi akademik Junita sejak SD sampai SMA konsisten, selalu juara umum.
 Oh ya, kembali ke pesannya di atas. Membaca itu, aku sontak senang. "Welcome home!" balasku. Junita bilang, ia akan di kampungnya sampai akhir bulan Agustus. Mendengar itu, aku memintanya untuk berkunjung ke sekolah (SMA Unggul Del), untuk ketemu dengan adik-adiknya. Aku ingin Junita bercerita tentang perjalanannya menuju Wellesley, juga tentang beasiswa Pestalozzi yang membawanya ke Inggris untuk menamatkan SMAnya. Junita menyambut undanganku dengan senang. Aku membayangkan, ceritanya akan menumbuhkan optimisme dan semangat yang membara bagi para juniornya.Â
 Singkat cerita, Junita bersedia untuk meluangkan waktunya berkunjung kemarin sore meski cuma sebentar. Ia ditemani ayah dan abangnya yang juga sedang liburan. Aku mengundang anak-anak yang ekskul menulis yang kubina, juga siswa lain yang punya minat kuliah ke Amerika dan juga yang minat dengan program beasiswa Pestalozzi mengingat kerja sama dengan Yayasan Pestalozzi direncanakan akan dibuka kembali tahun depan.
 ***
 Junita tiba di sekolah pukul 4 sore, sesuai dengan janji. Ia tampak jauh lebih feminim dengan rambut ikalnya yang kini panjang dan dibiarkan terurai. Terakhir kali sewaktu SMA, rambutnya pendek sekali, nyaris seperti laki-laki. Sepulang dari Inggrispun, seingatku paling hanya sebahu. Yang tidak berubah adalah cara berpakaiannya yang selalu kasual dan santai. Setelah ketemu dan menyapa beberapa guru, kami menuju ruangan.Â
 Di ruangan, siswa yang hadir lebih sedikit dari yang diharapkan. Ternyata banyak yang berhalangan karena kegiatan lain. Tapi suasana malah lebih cair dan sesi ini menjadi sangat istimewa karena hampir semua peserta terlibat aktif dalam diskusi.Â
 Pembuka
 Sebagai pembuka, tanpa basa basi, Junita memperkenalkan dirinya dengan singkat saja. Lalu, ia mulai saja bercerita tentang kenapa ia mau sekolah di SUD. Alasan satu-satunya adalah karena program beasiswa Pestalozzi, yang memberikan kesempatan bagi dua seniornya, Yanti dan Eta, sekolah ke Inggris. Ternyata, sejak SMP Junita sudah punya tujuan yang jelas dalam hidupnya. Dan seperti Paulo Coelho bilang, "Bila kau sungguh-sungguh ingin meraih sesuatu, semesta akan bahu-membahu mewujudkannya". Ketika gilirannya tiba untuk ikut seleksi Pestalozzi, ia menjadi salah satu kandidat yang sangat mengesankan!
 Tahun 2016, Junita bersama Mario berangkat ke Inggris. Waktu itu, aku ditugaskan untuk mendampingi perjalanan mereka. Junita bersekolah di Claremont School. Ia mengaku, ia musti berjuang keras untuk bisa meraih prestasi akademik yang gemilang. Bahasa sempat menjadi salah satu kendala utama yang harus dilalui. Pasalnya, teman-temannya yang lain berasal dari negara yang Bahasa Inggris adalah Bahasa keduanya. Sedangkan di Indonesia, Bahasa Inggris belum menjadi Bahasa sehari-hari kita.
 Di Claremont, Junita berhasil lulus dengan nilai terbaik dan seyogianya ia hendak melamar juga ke Universitas Harvard atau MIT. Tapi ia mengaku bahwa kala itu ia sempat kurang percaya diri, meski sebenarnya ia sudah memenuhi syarat akademik yang diminta kampus top tersebut. Di satu sisi, Junita sangat bersyukur bisa diterima di Wellesley dengan beasiswa penuh selama 4 tahun.Â
 Beasiswa ke Amerika
 Junita menjelaskan, mencari beasiswa untuk kuliah di Amerika sebenarnya tidak begitu sulit. "Kamu tinggal ketik kata kuncinya di google, pasti informasinya muncul semua" paparnya sambil menunjukkan contohnya di presentasinya. "Yang penting, kita harus baca baik-baik jenis beasiswanya, syarat-syaratnya, pasti kamu bisa" pungkasnya. Junita juga sekilas memberitahu jenis-jenis beasiswa yang biasanya diberikan kepada mahasiswa internasional.
 Meski kedengaran gampang, adik-adiknya mulai menemukan beberapa tantangan saat sesi tanya jawab berlangung.  Mereka menyadari, mereka musti belajar lebih keras lagi untuk mencapai persyaratan akademik yang diminta sesuai standar universitas yang mereka tuju. Diantaranya nilai TOEFL, SAT/ACT dan syarat lainnya. Tapi bukan tidak mungkin. Tahun ini, seorang senior mereka, Meinar, berhasil diterima di Univeritas Toronto, Kanada dan juga di sebuah universitas di Texas, Amerika.
 Hobi
 Di sesi kedua, Junita membahas tentang pentingnya menekuni hobi. Bagiku, ini bagian yang paling menarik. Baru kali ini aku mendengar seseorang membahas hobi dari sudut pandang yang unik. Junita bilang, hobi ternyata banyak gunanya. Misalnya, saat menuliskan resume (CV) untuk melamar pekerjaan atau beasiswa. "Mana lebih bagus, 'menuliskan kita itu orangnya pintar saja', atau 'pintar, bisa memasak, bisa main music, bisa bernyanyi, bisa melukis, bisa fotografi'?" tanyanya. Di saat interview, pertanyaan tentang hobi juga sering menjadi penentu kita diterima atau tidak. "Seseorang bilang, bila kita bisa membuat tertawa interviewer saat mendengar jawaban kita, maka kemungkinan besar kita diterima". Menekuni hobi tertentu akan memudahkan kita berkenalan dengan orang baru dan membuat kita bisa lancar berbicara dengan orang tersebut (ada topik ringan yang dibahas). "Misalnya, aku suka lebah. Maka dia akan tanya, apa kamu tidak takut disengat?" katanya.
 Mendengar penjelasannya ini, aku tersentak kagum. Betapa selama ini, orang begitu anggap enteng hobinya. Oh ya, dia juga menekankan bahwa belajar itu bukan hobi! Hehe...
 Sedikit tentang Menulis
 Di akhir sesi, Junita juga sedikit bercerita tentang bagaimana ia meningkatkan kemampuan menulisnya dalam Bahasa Inggris. Ia bilang bahwa ia sejak SMP sudah punya sahabat pena orang Inggris. Sahabat penanya inilah salah satu inspirasi terbesarnya untuk sekolah di luar negeri. Jadi ia sudah sejak dulu berlatih menulis dalam Bahasa Inggris, meski masih banyak salah.Â
 Selama sekolah di Inggris, ia buat komitmen untuk mendaftarkan kosa kata baru dalam kertas sticky note dan wajib menggunakan kata baru nya itu dalam menulis pesan di WA, menulis status di Instagram atau FB, menulis email, dan di media lainnya. Sering kali memang, kita mendaftar kosa kata baru lalu melupakannya. Ia juga menyarankan agar mulai membaca artikel berbahasa Inggris dan konsisten melakukannya.
 Sebelum diskusi berakhir, aku bertanya pada Junita, "Bagaimana pengalaman kuliah di Wellesley setahun ini mengubah pola pikirmu?"
 "Di kampus itu, kami (kaum wanita) diajarkan untuk bisa tampil setara dengan laki-laki, tidak takut dengan laki-laki, bahkan harus lebih kuat dan tangguh dari laki-laki serta punya hak yang setara dengan laki-laki. Aku juga semakin open minded untuk bisa menerima orang yang bahkan punya pandangan yang berbeda, bahkan kontras dari apa yang kuyakini" tegasnya.Â
 Setelah diskusi usai, kami sempatkan berfoto bersama agar pertemuan ini bisa dikenang.
 Terima kasih sudah berkunjung dan berbagi inspirasi ya Junita. Tuhan menolongmu dalam studimu ke depan. Semoga pada waktunya kamu juga bisa seperti perempuan hebat dari kampusmu yang berdampak besar bagi negaranya dan bagi dunia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H