Mohon tunggu...
Sorot
Sorot Mohon Tunggu... Lainnya - Akun Resmi

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana Sorot digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel seputar rilis, serta kolaborasi dengan mitra. Email : sorot.kompasiana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Revolusi dari Bilik Kamar

22 April 2024   10:37 Diperbarui: 22 April 2024   10:39 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa sangka, gadis berumur 12 tahun, dan dipaksa menikah muda, bahkan menjalani istri yang di poligami, yang bernama Kartini itu menggetarkan dunia. Surat suratnya  di alih bahasakan ke berbagai negara, Belanda, Inggris, Perancis, Spanyol, Cina, Rusia, hingga Arab. Sudah sepantasnya pemerintah atau sastrawan Indonesia memperjuangkan agar Ibu Kartini mendapatkan penghargaan nobel.

Umumnya peraih nobel diberikan kepada orang yang masih hidup. Namun dalam sejarah, pemberian nobel pernah diberikan kepada orang yang telah meninggal. 

Adalah Ralph Steinman adalah ahli imunologi asal Kanada. Steinman memenangi Hadiah Nobel di bidang fisiologi pada 3 Oktober 2011. Komite Nobel saat itu tidak menyadari bahwa Steinman sudah meninggal beberapa hari sebelumnya. Setelah beberapa pertimbangan, akhirnya Steinman tetap mendapat Hadiah Nobel.

Merujuk pada kisah diatas, sepantasnya Ibu Kartini meraih nobel berkat pikiran pikiran dan perjuangannya membangun emansipasi dan kesetaraan kaum perempuan. 

Sulit kita membayangkannya, Ibu Kartini hanya mengenyam pendidikan Europeesche Lagere School (ELS) atau setara Sekolah Dasar (SD) di jaman Hindia Belanda, itupun tidak tuntas. Ia hanya punya teman terbatas, diantaranya teman temannya keturunan Belanda, namun ia menjadi kolumnis hebat diberbagai media besar di Belanda dan Hindia Belanda.

Pada masanya, perawan Jawa haruslah di pingit, alias aksesnya terhadap dunia luar sangat terbatas. Tulisan Josep Osdar, mantan wartawan Kompas, bertajuk Aku Cinta Padamu Kartini di Kompas.com tanggal 17 April 2023 menggambarkan betapa Ibu Kartini belia hanya diberikan buku buku oleh sang ayah, dan akses dunianya sangat terbatas.

Justru dari buku buku yang ia "cerna" hingga tuntas itulah yang mengubah cara berfikirnya yang revolutif. Dari bilik kamar ia di pingit, Ibu Kartini menerjang arus besar praktik feodalisme Jawa, yang membuat perempuan tak lebih dari "perkakas" privat lelaki. Tidak tanggung tanggung, begitu kuatnya budaya patriarkhis, ditengah perjuangannya, Ibu Kartini harus menjalani pernikahan poligami sebagai isteri kedua.

Saya bisa membayangkan, pikirannya yang revolutif menentang tatanan patriarkhis, namun tubuhnya belum kuasa menentang putusan orang tuanya, untuk menjalani suratan sebagai bini muda. 

Saya kira kontradiksi inilah yang menjadi salah satu sumber energi pemikiran Ibu Kartini. Ibu Kartini merasakan langsung dominasi patriarkhis itu, bukan sekedar dari buku yang dibacanya.

Dari pengalaman langsung yang dijalani inilah, hal inilah yang membuat Ibu Kartini menuliskan surat suratnya begitu menggetarkan dunia. 

Surat surat yang narasinya penuh "nyawa", surat surat yang menyeru, mengajak menuju dunia baru, dari dunia kaum perempuan yang penuh kegelapan, menjalani domestifikasi total, menunju dunia terang, perempuan yang mendapatkan kemajuan kemajuan; pikiran, kiprah sosial, dan berbagai peran publik.

Barangkali pikiran Ibu Kartini yang memperjuangkan emansipasi perempuan pada masanya bukanlah pikiran yang otentik dari dirinya. 

Di Eropa, deklarasi atas hak hak kaum perempuan sudah muncul pada 1791, melalui Declaration of The Rights of Women and The Female Citizen, dan terus berkembang hingga kini.

Namun, pikiran pikiran atas emansipasi kaum perempuan yang di baca oleh Ibu Kartini dari buku buku itu, ia refleksikan langsung atas keadaan zaman dimasanya, di kontemplasikan dan ia perjuangkan langsung dari praktik yang dijalaninya. 

Jadi, Ibu Kartini adalah pemikir sekaligus pejuang. Pengalaman mahal telah ia jalani sebagai "korban" langsung dari nilai nilai yang ia perjuangkan.

Dunia begitu memberi tempat bagi Ibu Kartini atas surat surat "antropologisnya". Namun bangsa kita, anak anak sekolah malah belum mendapatkan endapan mendalam atas surat surat berharga itu. 

Pendidikan kita atas pikiran pikiran Ibu Kartini, dan tokoh tokoh pergerakan perempuan masih sangat dangkal. Walau sangat terlambat, saatnya arsip itu di pelajari lebih dalam oleh anak anak kita, dari setiap generasi.

Selamat Hari Kartini, yakni penanda perjuangan kaum perempuan belum usai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun