Siapa sangka, gadis berumur 12 tahun, dan dipaksa menikah muda, bahkan menjalani istri yang di poligami, yang bernama Kartini itu menggetarkan dunia. Surat suratnya  di alih bahasakan ke berbagai negara, Belanda, Inggris, Perancis, Spanyol, Cina, Rusia, hingga Arab. Sudah sepantasnya pemerintah atau sastrawan Indonesia memperjuangkan agar Ibu Kartini mendapatkan penghargaan nobel.
Umumnya peraih nobel diberikan kepada orang yang masih hidup. Namun dalam sejarah, pemberian nobel pernah diberikan kepada orang yang telah meninggal.Â
Adalah Ralph Steinman adalah ahli imunologi asal Kanada. Steinman memenangi Hadiah Nobel di bidang fisiologi pada 3 Oktober 2011. Komite Nobel saat itu tidak menyadari bahwa Steinman sudah meninggal beberapa hari sebelumnya. Setelah beberapa pertimbangan, akhirnya Steinman tetap mendapat Hadiah Nobel.
Merujuk pada kisah diatas, sepantasnya Ibu Kartini meraih nobel berkat pikiran pikiran dan perjuangannya membangun emansipasi dan kesetaraan kaum perempuan.Â
Sulit kita membayangkannya, Ibu Kartini hanya mengenyam pendidikan Europeesche Lagere School (ELS) atau setara Sekolah Dasar (SD) di jaman Hindia Belanda, itupun tidak tuntas. Ia hanya punya teman terbatas, diantaranya teman temannya keturunan Belanda, namun ia menjadi kolumnis hebat diberbagai media besar di Belanda dan Hindia Belanda.
Pada masanya, perawan Jawa haruslah di pingit, alias aksesnya terhadap dunia luar sangat terbatas. Tulisan Josep Osdar, mantan wartawan Kompas, bertajuk Aku Cinta Padamu Kartini di Kompas.com tanggal 17 April 2023 menggambarkan betapa Ibu Kartini belia hanya diberikan buku buku oleh sang ayah, dan akses dunianya sangat terbatas.
Justru dari buku buku yang ia "cerna" hingga tuntas itulah yang mengubah cara berfikirnya yang revolutif. Dari bilik kamar ia di pingit, Ibu Kartini menerjang arus besar praktik feodalisme Jawa, yang membuat perempuan tak lebih dari "perkakas" privat lelaki. Tidak tanggung tanggung, begitu kuatnya budaya patriarkhis, ditengah perjuangannya, Ibu Kartini harus menjalani pernikahan poligami sebagai isteri kedua.
Saya bisa membayangkan, pikirannya yang revolutif menentang tatanan patriarkhis, namun tubuhnya belum kuasa menentang putusan orang tuanya, untuk menjalani suratan sebagai bini muda.Â
Saya kira kontradiksi inilah yang menjadi salah satu sumber energi pemikiran Ibu Kartini. Ibu Kartini merasakan langsung dominasi patriarkhis itu, bukan sekedar dari buku yang dibacanya.
Dari pengalaman langsung yang dijalani inilah, hal inilah yang membuat Ibu Kartini menuliskan surat suratnya begitu menggetarkan dunia.Â