Sejatinya, pajak memiliki banyak wajah, sebut saja: budgetair, regulasi, distribusi, dan stabilisasi. Meski mungkin kita sama-sama tahu bahwa wajah dominan tampil adalah wajah yang pertama, yakni budgetair.Â
Wajah yang pertama inilah yang memungkinkan negara memiliki persediaan uang yang cukup untuk mendanai banyak belanja negara (pemerintah), oleh karena itu, kehadiran pajak di dalam aktifitas masyarakat dan bisnis sehari-hari lebih banyak ditangkap sebagai sarana untuk mengumpulkan uang dari warga negara secara legal untuk diserahkan kepada negara melalui cara yang sah. Ini suatu hal yang wajar dan ini pula yang membuat pajak akan selalu menjadi isu yang relevan untuk dibahas, sejak dahulu hingga kini ketika dunia ini dilanda pandemi COVID19.Â
Gambaran Umum: Memahami Dampak dan Fungsi Ditjen pajak
Pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah: ketika ekonomi melambat dan aktifitas bisnis melemah, masih relevankah pajak terus menerus hadir dengan membawa wajah budgetair?
Not a million years! Saya kira itu adalah jawaban lugas yang dapat disampaikan. Pemerintah, tentunya paham betul bahwa ekonomi yang melambat akibat pandemi telah membawa banyak dampak negatif terhadap keberlangsungan kualitas hidup mendasar masyarakat.Â
Hilangnnya pekerjaan, menurunnya penjualan, hingga sepinya aktifitas perdagangan (barang dan jasa) adalah tiga dari banyak dampak lain yang begitu masif. Dengan berkurangnya perputaran uang, maka akan berkurang pula jumlah penghasilan yang dapat diterima, dan pada gilirannya ini menyebabkan kemampuan masyarakat dan bisnis membayar pajak juga mengalami penurunan.Â
Oleh sebab itu, sekeras apapun usaha pemerintah mengumpulkan penerimaan pajak, jika dihitung secara realistis, tidak akan dapat mencapai target yang ditetapkan.Â
Pandemi, bagi siapapun, mengajarkan untuk berdamai dengan kenyataan. Hal yang sama juga berlaku bagi Ditjen Pajak. Institusi penting ini harus menata ulang ghirah/ semangat untuk mengumpulkan uang bagi negara manakala berhadapan dengan kenyataan lesunya ekonomi akibat pandemi.Â
Pemerintah tentunya menimbang bahwa ada wajah lain yang lebih tepat untuk ditampilkan di masa sulit seperti ini yakni: stabilisasi. Dengan menghadirkan fungsi yang dibawa oleh wajah stabilitasi, pajak dapat menjalankan peranan penting dalam menjaga kestabilan ekonomi negara.Â
Misalnya, dengan memberikan insentif berupa  penghapusan, pengurangan, dan penundaan dari berbagai kewajiban perpajakan bagi masyarakat dan bisnis. Insentif ini diharapkan membuat bisnis dan ekonomi rakyat mampu bertahan  di tengah sulitnya situasi semasa pandemi.Â
Kinerja Penerimaan Pajak di Masa Pandemi: Tumbuh Minus dan Terus Tergerus
Bahwa capaian penerimaan pajak di masa pandemi ini begitu rendah, adalah suatu kenyataan. Tapi tentu saja itu adalah hal yang wajar. Basis pajak menyempit (objek yang bisa dipajaki yakni penghasilan mengalami pengurangan).Â
Hal ini ditambah dengan penerapan insentif yang memberikan tarif yang lebih rendah bahkan dihapuskan (untuk jenis pajak tertentu) sehingga menyebabkan kontribusi pajak dari masyarakat dan bisnis tentu saja mengalami penurunan signifikan.Â
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Konferens Pers: APBN Kinerja dan Fakta (APBN KiTa) secara virtual menyebutkan bahwa penerimaan pajak (hingga Agustus 2020) Rp676, 9 triliun atau 56,5% dari target penerimaan pajak tahun 2020 berdasarkan Perpres 72 tahun 2020, maka penerimaan pajak sampai akhir Agustus adalah kontraksi 15,6%.
Berbagai jenis pajak mengelami penurunan kontribusi (kontraksi) antara lain PPh Migas 45,2%; Pajak Non Migas (PPh Non Migas, PPN, PBB-P3, dan Pajak Lainnya) 14,1% akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di banyak aspek kehidupan masyarakat, termasuk ekonomi.Â
Nyaris semua sektor bisnis terdampak, sehingga kontribusi penerimaan pajak dari sejumlah sektor tersebut juga melemah, antara lain sebagaimana diberitakan di dalam laman Kementerian Keuangan: Penerimaan dari sektor industri pengolahan mengalami kontraksi sebesar 16%, penerimaan sektor perdagangan kontraksi sebesar 16,3%, penerimaan sektor jasa keuangan dan asuransi mengalam pertumbuhan minus sebesar 5,5%, penerimaan dari sektor konstruksi dan real estate minus 15,1%, penerimaan dari sektor pertambangan minus 35,7%, serta penerimaan dari sektor transportasi dan gudang terkontraksi sebesar 10,4%.
Bagaimana prediksi sampai dengan akhir tahun 2020 ini? Pencapaian penerimaan pajak dalam hampir sepuluh bulan pertama di tahun 2020 setara 67% dari total target akhir tahun (Rp 1.198,82 triliun) dengan pertumbuhan netto minus 40% dibanding tahun lalu. Dengan situasi pandemi yang terus berlangsung, maka penerimaan pajak akan terus terdampak.Â
Tidak ada yang tahu kapan pandemi ini akan berakhir, maka dengan skenario terburuk, adalah suatu kebijaksanaan untuk menjadikan pajak sebagai instrumen untuk mendukung agenda pencegahan penyebaran pandemi COVID19 dan perumusan strategi pemulihan ekonomi nasional.Â
Dengan kata lain, di masa pandemi, dengan berbagai penyesuaian, peran pajak sebagai pengisi sumber utama pendanaan APBN akan berjalan sama pentingnya dengan fungsi lain yang dapat dioptimalkan. Disinilah kita diperlihatkan bagaimana dua wajah pajak berjalan beriringan: budgetair dan stabilisasi.
Memandang Kinerja Ditjen Pajak Dengan Jujur
Mengukur kinerja Ditjen Pajak semata berdasarkan capaian target penerimaan, terlebih di situasi pandemi ini, adalah suatu hal yang menyesatkan. Oleh sebab itu, patut disayangkan bahwa terdapat media yang mengedepankan judul yang tidak menggambarkan keadaan sebenarnya mengenai apa-apa saja yang sudah dilakukan Ditjen Pajak di masa pandemi.Â
Padahal, informasi mengenai ragam insentif yang sudah digelontorkan pemerintah melalui Kementerian Keuangan Ditjen Pajak dapat diakses secara langsung dan terbuka di banyak laman dalam jaringan.Â
Pandemi ini seharusnya menjadi kesempatan untuk mengedukasi masyarakat soal betapa vital peran Ditjen Pajak (melalui berbagai kebijakan insentif) dalam menyediakan bantalan agar ekonomi masyarakat dan bisnis tidak jatuh lebih dalam.
Bahwa pajak tentu bisa hadir semata bukan cuma untuk tujuan mengumpulkan uang secara legal demi pundi-pundi negara yang cukup untuk mendanai jalannya kehidupan bernegara, melalui adanya pajak, justru pemerintah menunjukkan bentuk kehadirannya secara langsung dan berdampak.
Pandemi tentulah sebuah keadaan yang tidak diinginkan, tetapi juga di tengah keterbatasan pilihan dan keadaan, maka tidaklah keliru untuk menganggap bahwa pandemi COVID19 ini sebagai momentum edukasi betapa pentingnya pajak bagi masyarakat.
Kesadaran bersama akan urgensi pajak tentu akan membuat negara lebih kuat menghadapi ujian dengan karakter yang sama di masa mendatang. Sebab, kepatuhan pajak di negara kita yang selama ini belum optimal terbukti menjadi suatu kendala untuk bertahan dengan baik di masa pandemi.Â
Jika negara ini adalah suatu tubuh maka pajak adalah darah yang memberi makan banyak fungsi tubuh tersebut: mata, tangan, kaki, otak, sampai dengan sistem organ lainnya.Â
Kekuatan sistem organ tersebutlah yang membuat tubuh dapat bertahan menghadapi keadaan yang tidak baik. Dengan analogi yang sama, kekuatan aspek-aspek bernegaralah (ekonomi, sosial, keamanan, dll yang didanai oleh pajak lah) yang menjadi penentu daya tahan negara menghadapi pandemi COVID19.Â
Semakin tinggi kesadaran pajak di lingkungan masyaraka maka akan semakin kuat pula kontirbusi pajak dalam penerimaan negara, dan pada akhirnya akan semakin tangguh pula negara menjalankan fungsinya untuk memberikan perlindungan bagi rakyatnya.
Salam.
Gambar diambil dari sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H