Di Indonesia, kecenderungan ini dapat terjadi di dalam sistem perpajakan yang memungkinkan terjadinya pemungutan PPN dan pemotongan PPh 21/23/22/26. Kedua sistem ini tidaklah buruk, justru baik demi mendukung tersedianya uang bagi negara dalam waktu cepat tanpa menunggu periode tertentu.
Namun tanpa didukung implementasi sistem yang ketat dan terintegrasi, celah penyimpangan yang membawa kerugian akan selalu menjadi kasus penyerta sampai ditemukannya mekanisme yang lebih baik. Mengenai integrasi data yang komprehensif ini, Amerika Serikat dapat menjadi salah satu negara rujukan.
Sistem perpajakan telah terinklusi dengan baik di banyak instansi/lembaga seperti universitas atau departemen-departemen pendukung lainnya. Penulis pernah menerima penghasilan dari beasiswa untuk tunjangan transportasi dan selang 24 jam kemudian tagihan pajak di student account telah muncul sebesar 14% dari nilai yang diterima.
Dari analisis dan penelurusan penulis, ini mungkin terjadi karena terkoneksinya data penulis sebagai pelajar antara pihak universitas, dinas transportasi, dinas dalam negeri, dan kantor imigrasi USA.
Indonesia sudah punya konsep yang jelas mengenai definisi praktik Pungut/Potong Tidak Setor seperti yang sudah dirumuskan dalam Pasal 39 Ayat 1 Huruf I UU Nomor 16/2009 (UU KUP). Tindakan tersebut dianggap sebagai tindak pidana di bidang perpajakan jika terbukti dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Sanksi yang diatur juga sudah lengkap, sehingga yang dibutuhkan disini adalah perumusan kembali daya dukung sistem yang lebih terintegrasi lengkap dengan peningkatan kapasitas teknis aparat pajak untuk menunjang pelaksanaan identifikasi praktik Pungut/Potong Tidak Setor.Â
Penekanan fokus pada upaya minimalisasi Pungut/Potong Tidak Setor dapat memberikan efek jera bagi sektor bisnis yang hendak berbuat serupa. Meski demikian, yang harus dipahami adalah bahwa penanganan ranah ini melibatkan penegakan hukum sehingga upaya yang efektif juga akan dapat dicapai dengan adanya dukungan Aparat Penegak Hukum selain Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan itu sendiri.
3. Rekayasa negatif atas beban pajak yang harus dibayar agar dapat dikondisikan sesuai dengan skema yang disusun atas informasi yang tidak benar.
Celah ini menggambarkan adanya praktik self assessment atau swanilai dalam sistem perpajakan yang rentan diciderai sektor bisnis dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Semua bermula dari kualitas kebenaran nilai materiil uang yang dilaporkan dalam Laporan Keuangan bisnis itu sendiri. Baik itu penghasilan atau biaya/ beban. Semakin masif area yang direkayasa, maka makin besar pula penyelewengan pajak yang diperoleh.
Akibatnya, korporasi yang menjalankan praktik ini tidak menyetorkan pajak sebagaimana seharusnya (fair-share). Secara akumulatif, ini adalah salah satu hal yang memicu tidak tercapainya target penerimaan pajak. Sektor bisnis menjalankan praktik ini dengan didasari prinsip ekonomi untuk menekan biaya sebesar-besarnya demi mencapai laba setinggi-tingginya.