Mohon tunggu...
Erikson Wijaya
Erikson Wijaya Mohon Tunggu... Administrasi - ASN Ditjen Pajak- Kementerian Keuangan. Awardee LPDP PK-160. A Graduate Student of Business Taxation at The University of Minnesota, USA (Fall 2020).

Be strong for life is short. Be patient for life is good. Be bold for life is challenging.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Potret Buram Kondisi Perpajakan Indonesia

21 Juli 2016   00:21 Diperbarui: 21 Juli 2016   12:08 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: bclub.co.in

Tidak ada yang salah dengan memberikan insentif pajak namun harus secara konservatif dan mematuhi prinsip ekonomi yang berlaku. Ini penting agar Indonesia tidak semakin jauh dari upaya untuk merealisasikan target penerimaan pajak ditengah daya dukung organisasi yang belum memadai sebagaimana sudah disinggung disubbahasan sebelumnya. 

Insentif pajak pun juga harus diperhitungkan eksternalitasnya bagi perekonomian selain dampak berupa tax base erosionantara lain yakni terganggunya alokasi sumber daya ekonomi dan potensi munculnya praktik perburuan rente (rent-seeking­) yang merugikan serta mengurangi manfaat investasi itu sendiri. Pemerintah harus cermat menganalisis urgensi dan membaca tanda-tanda yang dibawa oleh keadaan makro ekonomi terkini sebagai tolak ukur pemberian insentif pajak. Insentif pajak diberikan berdasarkan analisis fakta dan harus bebas dari intervensi faktor diluar itu.

Daya Tarik Tax Havens

Sependek yang penulis pahami, Tax Havenstidak semata-mata dimaknai sebagai negara dengan bebas pajak. Tax Havensatau surga pajak adalah negara dengan tarif pajak yang lebih rendah dari tarif pajak negara asal investor. Baru- baru ini Singapura telah memproklamirkan secara langsung sebagai Tax Havensdengan menerapkan tarif 0% (sebelumnya lebih rendah dari Indonesia) atas pajak atas aset Warga Negara Indonesia yang disimpan disana.

Selain Singapura, negara lain yang dikenal sebagai Tax Havenssebagaimana dirilis oleh OECD antara lain: British Virgin Islands, Panama, Aruba, Bahama, Vanuatu, Liberia, Grenada, Dominica, Tonga, Belize, Niue, Nauru, Monaco, Barbados, Andorra, Liechtenstein, St Vincent and the Grenadines, Samoa, Seychelles, Gibraltar, Montserrat, Antigua and Barbuda, Cook Islands, Netherlands Antilles, Maldives, Anguilla, Turks and Caicos Islands, US Virgin Islands, St Kitts and Nevis, Netherlands Antilles, Guernsey, dan Isle of Man.

Menurut Mark P Hampton dan John Christensen (2002), ada dua kelompok utama entitas yang mengalihkan kekayaannya ke negara-negara surga pajak yakni perusahaan trans nasional atau trans-national corporations (TNCs) dan orang pribadi yang amat kaya (world’s wealthiest individuals).

Hubungan antara keberadaan Tax Havensdengan potret kebijakan perpajakan di Indonesia tercermin dari realita banyaknya Wajib Pajak yang memindahkan atau menyimpan kekayaanya di negara-negara surga pajak tersebut. Pilihan sikap ini menunjukkan ada suatu hal yang lebih membuat mereka tertarik untuk berinvestasi dan berbisnis disana daripada mengelolanya di dalam negeri. Biasanya daya tariknya ada pada kebijakan tarif yang rendah dan kemudahan prosedur dalam proses investasi. 

Terdapat beberapa rilis estimasi tentang besaran aset atau kekayaan Wajib Pajak (WNI) diluar negeri antara lain sebagaimana dirilis oleh McKinsey & Company yang mengestimasi bahwa terdapat sekitar USD 250 Miliar aset WNI di luar negeri atau McData Credit Suisse Global Wealth Report dan Allianz Global Wealth Report (diolah) yang menunjukan bahwa aset WNI di luar negeri sekitar Rp 11.125 Triliun.

Bank Indonesia juga memperkirakan jumlah illicit funds Indonesia di luar negeri sebesar Rp 3.147 Triliun (Kar and Spanjers (2015), Tax Justice Network (2010) dan Global Financial Integrity (2015)). Terakhir berdasarkan data primer, Kementerian Keuangan mengestimasi total aset WNI yang berada di luar negeri minimal sebesar Rp 11.000 Triliun.

Keberadaan Tax Havenssulit dinegasikan. Ia adalah bagian dalam small island economies (SIEs) yang menggantungkan ekonomi negaranya dari aliran dana masuk warga negara lain yang sengaja menghindar dari ketentuan perpajakan di negara asalnya. Longgarnya beban pajak dan kemudahan fasilitas investasi di negara surga pajak menjadi gula-gula yang mendorong banyak investor berminat memindahkan kekayaanya kesana. Makin banyak warga negara yang memindahkan kekayaannya ke negara surga pajak maka makin kuat adanya indikasi bahwa perekonomian di negara asalnya bermasalah atau minimal tidak bersahabat. 

Skandal Panama Papers yang membocorkan ribuan nama WNI yang berinvestasi di sejumlah negara surga pajak mengkonfirmasikan bahwa ada suatu kondisi yang perlu diperbaiki dalam perekonomian di Indonesia. Sebab jika tidak maka WNI tersebut tentu lebih suka berinvestasi di Indonesia. Hal ini juga menunjukkan rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak WNI. Namun dititik ini sebaiknya dimaknai bahwa tingkat kepatuhan adalah buah dari tingkat pemahaman terhadap perpajakan. Makin rendah maka makin tinggi tingkat penghindarannya dan makin menarik pula keberadaan negara surga pajak dimata mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun