Mohon tunggu...
Erikson Wijaya
Erikson Wijaya Mohon Tunggu... Administrasi - ASN Ditjen Pajak- Kementerian Keuangan. Awardee LPDP PK-160. A Graduate Student of Business Taxation at The University of Minnesota, USA (Fall 2020).

Be strong for life is short. Be patient for life is good. Be bold for life is challenging.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Potret Buram Kondisi Perpajakan Indonesia

21 Juli 2016   00:21 Diperbarui: 21 Juli 2016   12:08 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: bclub.co.in

Realitanya, potential lossmemang tidak dapat dihindari sebagai bentuk pengorbanan untuk keuntungan yang lebih besar pada masa mendatang. Konsep trade offsemacam ini sesuai jika insentif diluncurkan ketika secara nyata dan meyakinkan kondisi bisnis/pasar sedang lesu. Ini sejalan dengan hasil penelitian Howel H. Zee, Janet G. Stotsky, dan Eduardo Ley melalui kesimpulannya bahwa: “the justification for the use of tax incentives should be limited to the rectification of market failures”.

Untuk menyokong pasar yang sedang lesu dibutuhkan sumber ekonomi baru yaitu investasi. Disinilah peran insentif pajak dapat dioptimalkan karena investasi dapat ditarik masuk dengan iming-iming insentif pajak. Adapun ragam bentuk insentif pajak yang dikenal sebagaimana disebutkan oleh R. Eisner dalam artikelnya berjudul Tax Incentives for Investment (1973) adalah: tax credits, tax deduction, exclusions from gross income, exemptions from tax, reduced tax rates,dan specially taxed organizations.Bentuk insentif pajak yang paling diinginkan investor adalah insentif yang dapat memulihkan biaya investasi secepatnya. 

Namun demikian, apapun bentuknya, insentif pajak selalu menyebabkan terjadinya tax base erosion. Sehingga ini menimbulkan masalah manakala negara yang bersangkutan memiliki keterbatasan basis pemajakan. Sebagai kompensasinya, tax base erosionmenyebabkan kekhawatiran meningkatnya tarif pajak sebagai upaya untuk mencapai jumlah penerimaan pajak yang sama dalam waktu dekat. Sebab prinsipnya adalah: broaden the base lower the rate.Sehingga ketika tarif dipangkas tetapi basis tidak meluas, tarif objek lainnya harus dinaikkan.

Indonesia kini berada dalam naungan dilema itu. Basis pemajakan masih begitu rendah sementara semangat untuk mengakomodir kepentingan bisnis demikian kental walaupun kondisi ekonomi masih terbilang baik. Rendahnya basis pemajakan itu misalnya tercermin dari fakta yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa hingga tahun 2013, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja mencapai 93,72 juta orang namun jika disandingkan dengan data dari situs DJP diketahui bahwa yang terdaftar sebagai Wajib Pajak baru mencapai 27.571.471 orang atau hanya setara dengan 29,74% saja. 

Ironisnya dari jumlah tersebut hanya 16.975.024 orang Wajib Pajak yang termasuk dalam kategori Wajib Pajak dengan penghasilan diatas ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Itupun yang melaporkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2015 hanya 10.269.162. dan dari angka ini hanya 794.418 saja yang status SPT Tahunan PPh nya Kurang Bayar. Jumlah yang sangat tidak signifikan dibandingkan dengan basis pemajakan atas individu yang bekerja dan menerima penghasilan.

Dari sisi Wajib Pajak badan, kondisinya juga tidak kalah memprihatinkan. Masih dari BPS, diketahui bahwa hingga tahun 2013 terdapat 23.941 perusahaan industri besar sedang dan 531.351 perusahaan industri kecil serta 2.887.015 perusahaan industri mikro. Namun perusahaan yang terdaftar sebagai Wajib Pajak hingga akhir tahun 2015 hanya 2.472.632. Dari angka tersebut tercatat dari data yang dirilis pada situs DJP bahwa hanya 676.405 Wajib Pajak badan yang melaporkan SPT Tahunan PPh Badan dan hanya 375.569 saja yang melakukan pembayaran. 

Angka yang sangat kecil jika dibandingkan dengan kenyataan bahwa terdapat 3.442.307 perusahaan di Indonesia. Kondisi basis pemajakan yang rendah semacam ini telah berlangsung ditengah perekonomian yang masih aman dari krisis bahkan telah melalui krisis tahun 2008- 2009 dimana banyak negara lain mengalami kegagalan. Ini menunjukkan bahwa fokus yang diterapkan seharusnya mengarah kepada perluasan basis pemajakan terlebih dahulu mengingat ada begitu banyak sisa potensi yang bisa dikejar sebelum melakukan pemberian insentif berupa pemangkasan tarif atau insentif yang berbasis pengurangan biaya.

Namun demikian, melihat apa yang terjadi beberapa waktu belakangan. Insentif pajak begitu royal dibagikan kepada dunia usaha seakan tidak menghitung forgone revenuedan tax base erosion. Misalnya pada kebijakan untuk menaikkan PTKP. Kebijakan ini memang meningkatkan daya beli masyarakat dan pada jangka panjang menyumbang peningkatan penerimaan pajak dari sisi konsumsi. Tetapi in the long run we are all dead.Begitu kata kaum Keynesian. 

Lagipula ketergantungan penerimaan pajak dari sektor pajak konsumsi semisal PPN/ VAT yang sifatnya indirect taxjuga membutuhkan basis pemajakan yang luas dan tingkat kepatuhan yang baik sebagaimana diamini pula oleh Chun-Yan Kuo 16 tahun silam dalam penelitiannya yang berjudul: “A VAT Revenue Simulation Model for Tax Reform in Developing Countries” bahwa: If a government of a developing country wants to rely more on the VAT over time, it must move aggressively to broaden the base and enhance compliance.”. Jadi ada semacam inkonsistensi dan sesat pikir yang terjadi dalam kebijakan ini. Seharusnya PTKP tidak diganggu sebagai instrumen partisipasi fiskal Wajib Pajak Orang Pribadi kepada negara.

Hilangnya basis pemajakan dengan risiko bawaan juga muncul dari insentif Reinventing Policy dan Pengampunan Pajak. Mattielo (2005) menyatakan bahwa risiko bawaan yang melekat dari kebijakan Pengampunan Pajak, apapun nama dan bentuknya, adalah  turunnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak yakni jika tidak diiringi komitmen kuat untuk tidak berulang dalam waktu dekat. Idealnya kebijakan penghapusan beban pajak termasuk sanksi administrasinya berlangsung cukup satu kali dalam satu generasi. 

Sebab selain mengganggu kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, kebijakan ini disertai isu ketidakadilan yang dirasakan oleh Wajib Pajak patuh yang selama ini sudah berusaha memenuhi kewajiban perpajakannya meski tanpa apresiasi yang diterima. Sejujurnya insentif pajak dari kebijakan Reinventing Policy dan Pengampunan Pajak membawa efek negatif berupa forgone revenuedan potential loss.Dikatakan demikian karena kebijakan ini menghapuskan penerimaan pajak dari sanksi administrasi perpajakan yang sudah sah menjadi milik negara (forgone revenue) dan potensi penerimaan negara yang tergantikan oleh mekanisme pembayaran uang tebusan (potential loss).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun