Dalam megahnya ruang persidangan, dimana rakyat menyandarkan keadilannya pada palu hakim dan jubah jaksa, KPK saat itu nyatanya tak berani memanggil Ibas. Padahal nama ibas berapa kali disebut dalam kasus Hambalang serta kasus lainnya. Lantas apakah hal ini akan terulang pada kasus Gibran dan Kaesang?
Dua putra kesayangan Jokowi yaitu Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep saat ini sedang dalam bayang-bayang KPK. Beberapa hari yang lalu, keduanya  telah dilaporkan ke lembaga antirasuah oleh Ubedillah Badrun. Seorang dosen  di Universitas Negeri Jakarta dan juga mantan aktivis 1998.
.Â
Kasus ini sampai kemeja KPK atas dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucuian uang yang dilakukan oleh Gibran dan Kaesang. Disebutkan bahwa keduanya berpotensi ikut serta dalam sindikat KKN dengan salah satu grup bisnis yang diduga terlibat pembakaran hutan.
Ubedillah Badrun meyakini bahwa kedua putra presiden Jokowi memberikan sebuah spesial efek kepada perusahaan yang telah dinyatakan bersalah. Perusahaan tersebut harus membayar ganti rugi kepada negara. Namun ketika dua putra Jokowi ini bekerja sama dengan perusahaan tersebut, sanksi malah juga ikut berubah. Ubedillah meyakini, mungkin ada kedipan mata diantara keduanya.
Letak permasalahan lainnya adalah total harta kekayaan Gibran dan Kaesang ikut naik setelah bergabung dengan perusahaan yang dimaksud. Atas dua delik laporan ini, majulah Ubedillah untuk mengajukan keberatannya kepada KPK.
Sebelum Gibran dan Kaesang diadukan ke KPK, dua nama seniornya di panggung politik yaitu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Ganjar Pranowo sudah lebih dulu masuk daftar aduan di KPK. Ahok dilaporkan dengan 7 kasus salah satunya pembelian lahan Yayasan Rs. Sumber Waras sedangkan Ganjar diadukan atas dugaan korupsi kasus E-KTP.
Bedanya, Ahok dan Ganjar dilaporkan oleh Presidium PNPK, Adhie Massardi sedangkan Gibran dan Kaesang dilaporkan oleh Ubedillah yang berlatar belakang sebagai dosen. Walau berbeda latar belakang, kedua pelapor tersebut sama-sama mantan aktivis 1998.
Dari 3 kasus pelaporan ini, konteksnya sama-sama mengarah ke publik opinion alias pembentukan opini publik. Apakah ini benar-benar murni pelaporan dari whistel blower atau tidak, saya tidak yakin itu. Namun khusus untuk kedua anak presiden ini, saya rasa patut untuk kita apresiasi keberanian sang pelapor.
Gibran dan Kaesang merupakan anak dari orang nomor satu di republik ini. Pelapor tentu harusnya sadar bahwa yang coba ia sentuh memiliki jangkauan kaki yang panjang serta tangan yang terbilang sangat kuat. Baik itu menendaang apalagi hanya untuk sekedar tutup sana-sini.
Bukan hanya karena Gibran dan Kaesang adalah anak presiden, tapi keduanya juga adalah pengusaha tulen. Diberitakan bahwa dua kakak adik ini memiliki relasi bisnis yang terbilang cukup luas. Apalagi mereka adalah pebisnis muda. Dan belakangan, siapa yang tak mengenal mereka.
Citra sebagai anak presiden memang istimewa. Megawati misalnya. Ia sampai saat ini mampu memimpin partai pemenang Pemilu PDI-Perjuangan hingga puluhan tahun. Sampai tulisan ini diketik, Â simpatisan partai menyebut tak ada figur yang layak untuk menggantikan dirinya ditampuk kekuasaaan.
Lalu ada Puan Maharani, sang cucu presiden Soekarno, anak dari mantan Presiden Megawati. Ia kini duduk sebagai ketua DPR RI. Privelege yang ia terima sungguh membuat orang sama-sama paham. Itu belum lagi dengan anak-anak presiden yang lain.
Yang teranyar misalnya Agus Yudhoyono. Anak dari presiden SBY. Mundur dari pangkat mayor, lalu mencalonkan sebagai Gubernur DKI. Walaupun gagal ke Balai Kota, Agus kini menjadi ketua umum Partai Demokrat.
Walau KPK sudah menegasikan bahwa tak pandang bulu dengan latar belakang dari orang yang diperiksa (terperiksa), kita tentu  harus mengawal kasus ini dengan sergapan mata yang melek. Pasalnya, KPK bukan hanya sekali ini beririsan dengan anak presiden, tetapi sudah berulang kali.
Bila kita berkaca dengan kasus yang lalu, KPK sempat dibuat mati kutu dengan embel-embel  trah keluarga presiden. Silahkan kalian periksa, ketika sebuah kasus mega korupsi sedang berjalan, nama dari Ibas Yudhoyono ikut terseret-seret.
Dalam megahnya ruang persidangan, dimana rakyat menyandarkan keadilannya pada palu hakim dan jubah jaksa, KPK saat itu nyatanya tak berani memanggil Ibas. Padahal nama ibas berapa kali disebut dalam kasus Hambalang serta kasus lainnya. Lantas apakah hal ini akan terulang pada kasus Gibran dan Kaesang?
Melansir dari berbagai media, saat itu penyidik KPK memang sudah mengsulkaan agar Ibas dipanggil ke KPK. Namun rencana itu gagal karena alasan yang tidak jelas. Mungkin karena KPK takut, mungkin juga KPK telah dibegal ditengah jalan atau bisa saja pimpinan KPK saat itu sudah diwanti-wanti pihak istana.
Padahal pada saat itu, KPK yang dinahkodai Abraham Samad terkenal sangar dan tajam. Abraham dkk dinilai berbagai pihak telah berhasil menjerat koruptor-koruptor kelas kakap selama kurang lebih 3 tahun memimpin KPK. Mulai dari Menteri, Jenderal Polisi bahkan Ketua Umum partai pemenang Pemilu juga dipaksa harus mendekap di hotel prodeo oleh lembaga anti rasuah ini karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Persamaan dari kasus ini adalah reaksi diantara keduanya. Ibas pada saat itu menyatakan siap bila ingin diperiksa KPK. Demikian juga dengan Gibran. Dalam keterangannya, Gibran mengaku siap menjalani proses hukum jika terbukti melakukan pelanggaran.
Sebagai warga negara yang baik, dan sebagai putra mahkota, sikap keduanya menurut saya ibarat makanan basi. Tak ada yang beda, tak ada yang mengesankan. Seharusnya keduanya melakukan fight back, sehormat-hormatnya sebaik-baiknya.
Tanpa tunggu dipanggil KPK atau tidak, sebagai seorang ksatria keduanya bisa langsung menyambangi KPK. Menjawab tuduhan dengan membawa bukti, serta yang paling penting adalah pembuktian terbalik harta kekayaan melalui LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara).
Gibran dan Kaesang bisa berkaca  ke seniornya, Basuki Tjahaja Purnama. Ahok adalah tokoh politik dan pejabat publik yang paling aktif melaporkan LHKPN. Dengan LHKPN maka itu adalah bukti fisik kuat bahwa harta anda bertambah banyak, bukan karena KKN namun karena kerja keras dan usaha.
Namun kembali lagi, pertanyaannya adalah beranikah dua pemuda solo ini untuk membela nama baiknya? Apalagi kasus yang sedang menimpa kedua pemuda ini, memberikan spesial efect kepada sang ayah, Presiden Jokowi. Â
Laporan yang telah diserahkan oleh Ubedillah, tentu membuat dua anak Jokowi dalam bayang-bayang KPK. Keduanya bisa lepas asal mampu melakukan strategi yang apik. Kaesang selaku manajer dalam PSIS Solo tentu diharapkan bisa main cantik. Tetapi bukan dengan kompromi apalagi senyam senyum.
Ujian berat sedang dihadapi KPK. Firli dkk harus bisa menjawab kegelisahan publik. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada KPK lagi-lagi sedang dipertaruhkan. Batu ujinya adalah dua anak presiden, Komut Pertamina, hingga Gubernur Jateng. Dan kita berterimakasih kepada Ubedillah maupun Adhie cs.
Kesempatan ini harus dimanfaatkan Firli dkk. Lembaga antirasuah ini harus membuktikkan kepada publik bahwa KPK tidak sedang dilemahkan apalagi sampai tidak baik-baik saja. KPK harus berdiri teguh tanpa takut diintervensi istana. Sekali lagi, KPK ini waktunyaaa.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H