Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Buku Pelajaran dan Senjata Harapan

10 Februari 2021   12:04 Diperbarui: 10 Februari 2021   12:19 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di suatu kelas yang syahdu, para murid telah duduk rapi. Mereka nampak bersiap untuk menerima materi. Ada buku materi pelajaran agama, buku catatan dan pena yang menghiasi meja belajar para siswa. Dari koridor kelas, nampak seorang lelaki tua melangkah pasti dengan membawa buku tebal dan mistar, lengkap dengan kacamata lensa bening menggantung diatas hidung, didepan mata.

Khas dengan sibakan rambut kekanan, orang yang disapa Pak Anies ini memasuki ruang kelas. Khofifah yang merupakan ketua kelas langsung memberikan abah-abah kepada teman-temannya, tanda memberikan salam untuk sang guru.

"Berdiri...", Siswa berdiri,

"Beri Salam...",  "Selamat Pagi Pak Guru",

"Duduk...",  Siswa pun ikut duduk.

Setelah duduk, Pak Anies melempar senyum seraya menjawab salam dari anak-anak didiknya. Tanpa basa-basi, pak anies langsung memulai proses belajar mengajar dengan meminta kepada para siswa untuk mengerjakan latihan soal ujian.

"Oke anak-anak, hari ini kita akan mengerjakan latihan soal-soal ujian. Silahkan buka buku pelajaran Agama Islamnya, halaman ke sekian."

Anak-anak langsung merespon permintaan pak anies dan membuka halaman buku yang sudah dipinta sebelumnya. Para siswa pun langsung mengerjakan latihan soal-soal yang dimaksud. Namun, seorang siswa, sebut saja namanya Mega langsung tunjuk tangan.

"Yah kenapa Mega?", sahut Pak Anies,

"Maaf pak, soal nomor sembilan ini, jawabannya apa yah?", jawab Mega

"Mana. Oh soal nomor 7 yah. Coba kamu baca agar kita sama-sama diskusikan."

"Meskipun sudah mendapat rezeki yang banyak, Pak Ganjar tidak pernah bersyukur. Sebagai orang islam ia pun tidak pernah melaksanakan salat. Pak Ganjar termasuk orang yang :

a. beruntung; b. beriman; c. bangkrut; d. rugi ."

Mendengar pembacaan dari Mega, Pak Anies pun langsung kelabakan. Ia kemudian lari meninggalkan ruang kelas dan membawa buku pelajaran itu ke Kepala Sekolah. Cerita selesai. 

Fenomena diatas merupakan hal yang biasa saja. Namun menjadi tak biasa tatkala buku pelajaran mengandung unsur insinuatif. Apalagi bila dimasukkan dalam proses belajar mengajar yang melibati siswa dan guru. 

Buku pelajaran sekarang memang telah berevolusi  semakin luas. Dulu pada zaman saya SD, kala itu hanya ada satu nama yang sering dicantumkan dalam buku pelajaran. Kalian tentu tahu dia?

Yah siapa lagi kalau bukan Budi.  Dari buku TK hingga SMA, lagi-lagi Budi. Budi ini namanya ada dimana-mana, entah itu di buku pelajaran Bahasa Indonesia, PPKN, hingga pelajaran agama. Alhasil banyak orang tua yang menamai anaknya Budi agar lebih muda dikenal sebab sudah lebih dulu terkenal.

Ini Ibu Budi, Ini Kakak Budi, Ini Adik Budi, dan seterusnya. Sampai-sampai teman saya itu hafal dengan kutipan teks tersebut. Namun sayangnya, ditimur itu tidak ada nama Budi, jadi kami pikir-pikir lagi Budi ini manusia kah atau semacam boneka.

Karena status budi ini tidak jelas, mari kita tinggalkan. Bagaimana bila nama-nama dalam buku pelajaran kita ganti dengan Jokowi, Ahok, Mega, Anies atau Ganjar? Bukankah akan lebih menarik? Yah tentu saja menarik. Tetapi perlu dipertimbangkan kembali masak-masak.

Nama-nama seperti Jokowi, Ahok dan tokoh-tokoh diatas adalah seorang pejabat publik. Mereka adalah pemimpin dan pernah menjabat sebagai seorang pemimpin dinegara ini. Bila dimasukkan dalam buku pelajaran, maka akan memberikan efek yang bisa negatif dan bisa positif tergantung redaksi kalimat soalnya.

Contoh pada kasus yang sempat viral baru-baru ini.  Ganjar disebutkan tak pernah solat dan bersyukur. Konotasi negatif pada soal walaupun hanya sekedar contoh untuk dijadikan materi pembelajaran, maka akan menimbulkan persepsi yang negatif dikalangan luas.

Pak Ganjar yang notabene adalah seorang gubernur Jawa Tengah tentu akan ikut tertarik dalam pusaran ini. Yang lebih parah lagi para siswa dan guru yang membaca soal tersebut didalam kelas. Mereka kemudian kebingungan, lah ini Ganjar yang mana yah, Ganjar Gubernur atau Ganjaran?

Pada kasus lain yang tak kalah viral misalnya, yang terjadi pada Pak Anies dan Bu Megawati pada penghujung tahun 2020. Ada dua soal yang ditemukan. Soal yang pertama berbunyi :

"Pak Anies adalah seorang Gubernur hasil pemilihan Gubernur yahun 2017. Ia tidak menyalahgunakan jabatan yang dimilikinya untuk memperkaya diri dan keluarga. Sebaliknya, ia gunakan jabatannya untuk menolong rakyat yang mengalami kesusahan. Perilaku pak Anies adalah contoh sikap...

a. Jujur; b. Amanah; c. Istiqomah"

Lalu pada soal yang kedua disebutkan bahwa Anies kerap diejek Mega, namun Anies tak pernah marah. Wah-wah, bu mega ini berarti tukang ejek dan pak anies ini orangnya maha sabar yah.

Pemaknaan bunyi dari soal-soal mata pelajaran diatas tentu akan berbahaya bila dibiarkan berlarut-larut. Menyisipkan nama-nama pejabat dalam buku pelajaran akan bermakna ganda serta akan menguntungkan atau merugikan salah satu pihak. Walaupun dengan dalih untuk membentuk kompentesi dibidang karakter dan  perilaku, tentu tak bisa dibenarkan.

Seharusnya bila ingin mencatut nama tokoh-tokoh pejabat, harus sesuai dengan konteks mata pelajarannya. Nama ganjar, anies dan mega ada dibuku mata pelajaran agama itu ngawur. Sebaiknya nama mereka masuk kedalam buku sejarah bukan materi pelajaran yang lain.

"Siapakah nama presiden Indonesia ke tiga?, "  "Kapan Anies Baswedan menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta?"  "Ganjar Pranowo adalah Gubernur Jawa Tengah yang menjabat pada tahun?".

Bila redaksi soalnya demikian maka tidak akan menimbulkan masalah dan persepsi yang liar. Apalagi bila nama-nama mereka disesuaikan dengan fakta dilapangan. Tentu akan semakin masuk akal dan sejujurnya sesuai dengan konteks.

Buku pelajaran yang mencatut nama tokoh publik dengan konotasi negatif nampaknya akan menjadi senjata harapan dibidang politik. Bila hari ini Pak Ganjar Pranowo disangkut pautkan dengan soal diatas, mungkin besok atau didaerah lain akan terjadi hal yang serupa.

Kementerian Pendidikan  dan Dinas Pendidikan harus turun tangan dalam membersihkan praktik-praktik yang seperti ini. Pendidikan kita bercita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan jadi arena saling sindir dan senjata membangun persepsi miring. Harus ada tindak tegas dan pengawalan yang ketat sebelum buku pelajaran didistribusikan kesekolah dan sampai ditangan para guru dan siswa.

Orang yang bernama Pak Ganjar mungkin banyak, pun Anies, Mega dan lain-lain. Tetapi identitas tiap orang itu melekat dan  berbeda satu sama lain. Bila soal pelajaran dijadikan sebagai ajang menjatuhkan lawan politik ataupun pejabat publik, maka itu juga sudah menciderai proses pendidikan dibangsa ini.

Bila demikian adanya, adalah lebik baik tak usah menggunakan nama mereka lagi. Nama Budi mungkin adalah yang paling tepat. Kalau boleh usul tambahkan nama Marten atau Markus, karena di Indonesia Timur tidak ada yang bernama Budi.

Tabik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun