Sambil menyenandungkan kalimat takbir bersama keluarganya, saya duduk bersandar didepan teras. Menghayali nasib demi nasib perjalanan hidupku yang telah kulalui.
Tak terasa, Ramadhan sudah habis lagi, dan lebaran besok adalah ujung pertemuan bulan yang serba tak biasa ini. Sungguh terasa bedanya. Apalagi jika sedang jauh dari kampung halaman dan keluarga.
Sebagai seorang anak rantau, hidup jauh dari orang tua adalah hal wajib yang mesti dirasakan. Semua anak tentu ingin rejekinya tak jauh dari halaman rumah. Yah kalau bisa sebatas rumah tetanggalah, agar jarak tak bisa memisahkan kita dengan orang tua dan seluruh keluarga.
Namun siapa sangka, beberapa orang bernasib beda. Rejekinya tak bisa seperti demikian. Tanah rantau adalah jalan ninjaku untuk mengais sebagian kecil rejeki yang Tuhan jatuhkan dari langit Indonesia. Mungkin kamu juga demikian.
Sebelum merayakan Hari Kemenangan ini, ada sebulan penuh proses meraihnya. Mulai dari menahan tak makan minum selama 12 jam hingga mampu mengelola etika dan tingkah yang tidak menyakiti sesama.
Tidak hanya itu, ada tantangan baru yang benar-benar baru kita hadapi. Apa itu? Pandemi virus corona.
Virus corona adalah musuh tambahan dalam ibadah puasa kita. Kita tentu bisa lihat dan rasakan, bagaimana semua itu memutus setiap sendi-sendi interaksi yang konon telah mendarah daging dikehidupan sosial kita.
Tatkala kita berpuasa ditemani dengan berbagai aktivitas sosial dan tradisi budaya, tahun ini malah sudah tidak melakukannya sama sekali. Yang tersisa hanya sepotong kenangan yang kita tatap melalui foto dan hanya kita bahas lewat obrolan WAG dan video call grup.
Cerita akhirnya adalah banyak orang tak bisa mudik di hari raya. Mungkin kali ini lah pertama mudik tak bisa diselenggarakan karena pandemi virus corona.
Lalu lintas orang dari pusat-pusat pencari nafkah kini terpenjara dengan serbuan corona. Banyak yang berdiam dirumah dan saling tatap-tatapan dengan sebangsa perantau yang tak bisa kekampung halaman.