Yah benar. Ibu pertiwi kita saat ini sedang berduka. Bencana yang tak pernah kita minta dari sang kuasa. Kini harus membuat negeri kita bertabur air mata, keluh kesah, saling salah menyalahkan, kemudian disusul dengan penyemprotan disinfektan dimana-mana.
Sedari dulu, sains itu adalah ilmu pasti yang bisa kita uji kebenaran dan keakuratannnya. Pun dengan ilmu medis. Masih ingat bagaimana para penemu itu dikira gila dan hampir kehilangan nyawa karena sesamanya menganggap mereka seperti sampah?
Nyatanya, karya besar mereka sampai saat ini masih relevan, dikagumi dan bermanfaat bagi umat manusia.
Atau kita ambil contoh besar bagaimana Tokoh Besar seperti habibie dihargai di Jerman, dipermalukan dinegeri sendiri. Jerman dapat Ilmu dan karyanya. Lalu kita dapat apanya? Kita hanya mendapat antrian panjang nonton filmnya. Begitu kata abdur, komika suci 4.
Pun sama seperti wabah corona. Banyak orang berdalih dimedia massa bahwa tak perlu mencari siapa yang salah dalam musibah ini. Namun mari bergotong royong bersama-sama menghadapi dan mengatasinya agar kasus covid-19 segera teratasi.
Kalau soal kekompakan, kebersamaan dan saling berbagi dalam bencana, siapa yang mampu menyaingi bangsa kita? Bukankah karena persamaan nasib dan tekad, kemerdekaan kita pada tanggal 17 agustus 1945 bisa kita rengkuh? Dunia pun mengakuinya.
Semua orang dibangsa ini tentu memiliki rasa cinta yang melekat kuat pada dirinya. Namun perlu saya jelaskan bahwa pandemi covid 19 bukanlah persoalan sikap kita dalam kekompakkan menghadapi masalah ini,  tetapi tentang keberpihakan pemerintah  yang tidak mengedapankan keselamatan seluruh tumpah darah bangsa.
Rekaman perjalanan virus korona sedari dulu telah dianjurkan oleh seorang tenaga medis dari China, dr. Li Wenliang. Namun yang terjadi, orang-orang disana malah menganggapnya sedang menyebar berita hoaks dan akhirnya ia harus masuk bui.
Tak menunggu waktu yang lama, China pun harus mengakui bahwa mereka telah abai dari salah satu anjuran warganya tentang virus berbahaya. Ratusan orang meninggal tak terelakan.
Apa kabar dengan bangsa kita, Indonesia?
Setelah mengetahui bahwa di Wuhan sedang ada wabah pandemi karena virus yang tergolong baru. Kita langsung bergerak cepat untuk menjemput Warga Negara Indonesia (WNI) yang sedang berada disana. Kemudian mereka dikarantina selama beberapa hari, sembuh dan akhirnya bisa pulang kerumah. Terimakasih pemerintah.
Lalu apa langkah kita selanjutnya?
Tak jauh beda dengan China, pemerintah malah berdalih bahwa Indonesia kebal dari virus corona. Tidak sampai disitu, guyonan-guyonan lain terus susul menyusul dari pejabat istana ketika ditanyai tentang virus corona. Eskalasi kebijakan yang dikeluarkan pun juga sangat kontra dengan keadaan saat itu.
Misalnya saja pemerintah berniat untuk menyewa influencer asing dengan menyiapkan anggaran 72 M. Namun setelah korona dinyatakan positif, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio menyatakan anggaran promosi wisata, termasuk untuk para influencer, sebesar Rp 72 miliar resmi ditunda (5/3)
Alhasil hari ini korona telah merenggut nyawa  orang tak berdosa. Tenaga medis yang merawat dan sudah berusaha sebaik mungkin menyelematkan para pasien positif korona juga harus berakhir didalam tanah. Â
Melansir laman kompas.com, update perkembangan kasus corona (24/3) sudah berjumlah 686 orang. 30 orang berhasil sembuh dan 55 dinyatakan meninggal dunia.
Sungguh angka yang fantastis. Perkembangan virus ini begitu cepat dan masif. Menular sana sini dan kita tak tahu apakah diri kita sendiri sudah tertular atau belum. Yang saat ini bisa  kita lakukan adalah disiplin mengkarantina diri sendiri dan keluarga tercinta dengan tetap dirumah.
Namun biar bagaimanapun, nyawa yang sudah berkalang tanah itu perlu kita bela haknya dan teruskan perjuangannya untuk keluar dari pandemi ini. Mereka sebagai warga negara tentunya tak ingin mati konyol karena virus yang bukan keinginannya.
Begitu pula tenaga medis. Mereka sudah berjuang untuk menyembuhkan rakyat yang tekena corona. Namun mereka juga manusia yang punya batas. Sedari dulu, bukankah mereka juga berkata bahwa kesehatan adalah harta yang terutama.
Kelalaian pemerintah dalam melaksanakan pepatah MENCEGAH LEBIH BAIK DARI PADA MENGOBATI menyebabkan jatuhnya korban dimana-dimana. Dalam konteks ini saya tidak sedang menyatakan bahwa pemerintah tidak berbuat apa-apa untuk proses pencegahan mulai dari masuknya virus korona ke Indonesia hingga menuju keperkembangannya saat ini.
Namun hingga ke tahap penularannya, pemerintah tidak cukup kuat untuk benar-benar serius menjalankan perannya sebagai pedang yang mampu disegani rakyatnya.
Misalnya saja soal karantina. Saat ini proses karantina kita masih berjalan setengah-setengah. Himbauan pemerintah agar masyarakat untuk mau  tetap tinggal dirumah nyatanya tidak semua mampu  melakukan.
Yah alasannya sederhana, ada rakyat yang jika duduk, diam, mingkem dirumah anak-anaknya tidak bisa makan, beli susu, dan pusing memikirkan biaya cicilan serta utang yang sudah ditagih oleh debt collector.
Atau jika melihat fenomena pekerja yang sudah diliburkan selama dua pekan, malah diisi dengan mudik dan bersuah dengan saudara serta dikeluarga dikampung halaman. Padahal.kita tidak tahu apakah orang-orang yang dari kota kembali ke kampung benar-benar dalam keadaan sehat atau diam-diam mungkin saja mereka tertular. Akhirnya korona masuk Desa.
Lewat tulisan ini, saya ingin sekali mengingatkan pemerintah tentang petuah yang menjadi judul artikel saya diatas. Teori Mencegah lebih baik daripada mengobati itu buktinya telah nyata. Dan teori ini lahir dari proses panjang perkembangan dunia kesehatan.
Dengan mencegah sebenarnya kita sedang memberikan ruang gerak yang sempit kepada virus korona untuk mencari korbannya. Opsi karantina yang ketat adalah langkah utama yang perlu diambil pemerintah untuk benar-benar mengunci warganya agar tidak keluar daerah dalam beberapa waktu.
Jika mereka berhasil keluar daerah tanpa melalui serangkain tes terlebih dahulu. Maka yang akan terjadi virus ini akan semakin menyebar kemana ia suka.
Dengan semakin banyak jatuhnya korban maka pengobatan yang dilakukan pun jumlahnya akan ikut naik. Sedangkan dari sisi ketenagaan dan perlengkapan medis kita masih kekurangan banyak. Apalagi sudah berapa tenaga medis kita yang gugur ketika merawat pasien kasus positif korona. Itu seperti menepuk air didulang, terpercik muka sendiri.
Mengandalkan pengobatan saja tidak cukup adekuat untuk menghentikan penyebaran virus ini. Pemerintah harus lebih cepat dua langkah untuk memutus mata rantai penyebaran virus korona.
Jika kita tidak mencegah, maka yang akan terjadi adalah seperti sekarang ini. Korban akan semakin bertambah banyak. Tentu kita tidak ingin lagi mendengar adanya korban yang jatuh dari mulut pemerintah.
Mendisiplinkan rakyat dengan menjalankan undang-undang dan membuat masyarakat sadar dengan hati nurani untuk tetap dirumah adalah pekerjaan serius yang harus kita kebut. Mari bergotong royong untuk mengeliminasi pandemi covid-19.
Kita tak bisa melawan virus ini dengan bambu runcing persis ketika kita mengusir para penjajah. Mahluk ini kecil dan bisa menular kemana saja. Penawarnya belum ada. Kita bisa melawannya dengan saling jaga dan menghindari keramaian.
Dengan tetap dirumah, maka kamu sedang berbuat lebih banyak daripada politisi yang sedang sibuk mencari panggung dan para buzzerRp yang sibuk bertarung saling tunjuk hidung.
Dan itu adalah langkah kecil pencegahan virus korona yang bisa kamu lakukan agar ia tidak semakin merajalela. Tetap dirumah!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H