Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pedoman Memahami RUU Ketahanan Keluarga

22 Februari 2020   00:17 Diperbarui: 22 Februari 2020   23:33 2559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi keluarga. (sumber: Thinkstockphotos via kompas.com)

Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga baru-baru ini digulirkan. Terpopuler selama sepekan, RUU Ketahanan Keluarga disorot sebagai sebuah draf yang sangat menyentuh ranah privat dan terlalu mengatur kawasan pribadi manusia.

Selain RUU Cilaka Ombinus Law, kritikan keras datang untuk menghadang RUU Ketahanan Keluarga. Berbagai opini ramai menghiasi jagad maya. Khususnya para aktivis perempuan yang mana bagi mereka peran perempuan dilemahkan dan dinilai terlalu mendomestikasi perempuan .

Domestikasi ini tentunya sangat mendasar. Menilik draf RUU pasal demi pasal, kelihatan sangat kental unsur-unsur yang saling bertolak belakang dengan fungsi dan peran perempuan khusunya istri dalam sebuah keluarga. 

RUU Ketahanan Keluarga ini juga bertentangan dengan agenda pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) yang telah dicanangkan pemerintah sejak tahun 2000. Logika hak dan kewajiban dalam RUU ini adalah dua hal yang saling dibentur-benturkan. Wajar bila reaksi keras banyak yang mencuat kepermukaan.

Definisi ketahanan keluarga yang dicantumkan dalam RUU tersebut adalah "kondisi dinamik keluarga dalam mengelola sumber daya fisik maupun non-fisik dan mengelola masalah yang dihadapi, untuk mencapai tujuan yaitu keluarga berkualitas dan tangguh sebagai pondasi utama dalam mewujudkan Ketahanan Nasional."  

Mengurai pasal demi pasal dalam draf RUU ini akan butuh waktu yang agak lama. Namun saya akan menggarisbawahi pasal pasal yang perlu ditebalkan dan dijelaskan maksudnya. Berikut ulasannya.

Pasal 24 ayat 2, disebutkan bahwa suami-istri adalah pasangan yang terikat sah dalam pernikahan wajib saling mencintai, menghormati, menjaga kehormatan, setia, serta memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain. Unsur unsur ini termasuk sebagai sumber daya non fisik yang akan liar jika ditafsirkan.

Saya rasa ini adalah hal yang wajar dan perlu. Hubungan tanpa didasari cinta, hormat dan setia akan sulit untuk dijalani. Namun, kembali lagi bahwa ini adalah ranah privasi yang tidak boleh diatur oleh negara. 

Perasaan cinta dan perasaan lainnya adalah hak setiap individu, entah ia mencintai pasangannya atau tidak, itu adalah hak setiap orang yang tidak bisa digugat atau diatur oleh negara. 

Perasaan adalah bagian relatif yang kapan dan dimana saja bisa berubah, pun kesetiaan. Hal hal ini sangat bergantung pada sifat emosionalitas. Akhirnya operasionalisasinya akan bermalasah dilapangan.

Kemudian pada pasal 25 mengenai kewajiban suami dan istri. Terdapat ketidakseimbangan kewajiban antara suami dan istri yang ditulis dalam RUU tersebut, misalnya bahwa istri harus mengurus rumah tangga, sedangkan suami mencari nafkah.

Pembagian tugas seperti ini adalah teori yang sangat usang dan kampungan bagi saya. Kita tahu sekarang bahwa revolusi perempuan ala R.A Kartini ingin agar menempatkan perempuan memiliki peran yang setara dan ruang yang luas demi keterbelakangan mental laki-laki dalam menerjemahkan perempuan tidak ada lagi.

R.A Kartini ingin agar dirinya juga bisa berjuang dan menjadi militan bagi kemerdekaan ibu pertiwi. Namun sayangnya, kodratisasi wanita pada zaman itu, belum bisa membuat ia mendapatkan panggung yang luas.

Kini, era modern seperti ini sudah seharusnya peran wanita jangan ditutupi. Walaupun memang wanita adalah pengasuh yang paling baik dan dekat dengan anak. Namun kesempatan untuk mengembangkan diri jangan dihalangi. Nafkah itu bisa dicari sembari mengurusi keluarga. 

Soal apakah pengasuhan yang diberikan oleh perempuan kepada anak dan keluarganya tidak bisa maksimal, bisa diselesaikan dan dibicarakan dengan baik oleh keluarga masing-masing. Bukan malah membegal eksistensi dari isteri sebagai perempuan.

Ilustrasi foto (icfmakati.org)
Ilustrasi foto (icfmakati.org)

Langkah pemerintah seharusnya adalah memfasilitasi kemajuan perempuan khususnya bagi mereka yang sudah berumah tangga. Misalnya saja menambah cuti melahirkan bagi perempuan dari 3 bulan menjadi 6 bulan. Atau misalnya tidak hanya istri saja yang mendapatkan cuti melahirkan. 

Sang ayah juga pun seharusnya diberikan waktu cuti yang setara. Karena siapa yang akan mendampingi sang istri dalam menghadpai morning sickness, panic attack atau baby blues pasca melahirkan. 

Kehadiran sosok laki-laki sebagai suami dan kepala rumah tangga akan sangat menguatkan sang istri. Dengan hal seperti ini seharusnya ketahanan keluarga perlu diterapkan.

Selanjutnya Pasal 31 dan Pasal 32 diatur bahwa setiap warga negara dilarang menjualbelikan sperma atau ovum, memberikan atau menerima donor sperma atau ovum secara sukarela, serta dilarang melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan. 

Dari pasal ini saja kita sudah bisa tahu bagaimana negara ingin menjadi malaikat yang sok tahu mengatur kebebasan individu dan keluarga. Perihal di atas adalah hal yang dilakukan dalam dunia kesehatan.

Hal tersebut didasari bukan karena sekedar mencari duit atau tahta, namun lebih kepada membantu pasangan rumah tangga yang ingin mendapatkan keturunan namun tebentur dengan masalah kesehatan reproduksi.

Hasrat untuk memiliki keturunan ini kemudian dilarang. Tentunya ini bertolak belakang dengan semangat dari RUU ini. 

Seharusnya negara membentuk sebuah otoritas khusus dalam rangka mengurus dan memfasilitasi keluarga yang tak bisa memiliki anak karena alasan kesehatan sebagai bentuk support dan perlindungan kepada pasangan yang kesulitan mendapatkan anak atau keturunan.

Dan yang terakhir akan saya ulas adalah Pasal 33 ayat 2 diatur mengenai pemisahan kamar yang berbeda antara anak laki-laki dan anak perempuan. Pengajuan pasal ini tentunya sangat buta akan keadaan ekonomi saat sekarang.

Tidak semua keluarga mampu menyediakan kamar bagi anak-anaknya, walaupun mungkin tujuannya baik, namun standar keuangan setiap rumah tangga berbeda beda. Logika penyusun dan pengusulnya perlu dipertanyakan lagi.

Seharusnya jika RUU ini menghendaki hal demikian, bisa dengan menekan pemerintah agar menyiapkan rumah layak huni bagi pasangan keluarga yang tidak mampu membeli rumah. 

Menerapkan standar rumah layak huni bagi keluarga adalah peran pemerintah yang divokalkan dan dilaksanakan bukan malah menekan kalangan dibawah. Keseimbangan ini akan tercapai bila pemerintah bersedia untuk memfasiltasi bukan hanya sekedar memberi instruksi. 

Rumah adalah istana yang akan merawat keluarga. Jika rumah saja, banyak keluarga yang masih tinggal dikontrakan minim, kos-kossan sederhana, apakah mereka nanti bisa bertahan dengan harapan dari RUU ini. Tentu sebuah kemustahilan.

Secara komprehnsif, RUU ini belum menyasar hal hal dasar tentang keluarga. Isu-isu seperti kemiskinan, pengasuhan anak, pendidikan, kekerasan dalam keluarga, penculikan, bahaya teknologi, pemberdayaan keluarga, kesehatan seperti kesehatan reproduksi, disabilitas dan gangguan tubuh yang lainnya kurang mendapat perhatian seperti yang diharapkan oleh masyarkat.

Alih-alih ingin membangun ketahanan keluarga, draft RUU ini hanya membatasi ruang privat manusia. Dinamisasi dalam sebuah keluarga tak bisa dispekulasikan.

Hal yang terjadi antara keluarga satu dan keluarga lainnya berbeda sehingga hal-hal yang mendasar seperti ini seyogyanya tidak menjadi urusan negara. Itu adalah satu point pertama yang paling hakiki untuk dijadikan landasan berpikir kedepannya.

Agenda tentang RUU ini juga sangat kental dengan bungkusan praktik-praktik agama yang terselubung. Seperti yang sudah kita tahu, dua di antara lima pengusul RUU Ketahanan Keluarga adalah legislator dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai yang vokal akan legalisasi dan formalisasi syariah di tanah air. Aroma ini tentunya sebagai asumsi yang perlu ditelusur lebih dalam.

Arus kemajuan manusia baik laki-laki maupun perempuan sedang berkembang sangat pesat. Kalau dulu perempuan hanya mengurusi kasur, sumur dan dapur dalam pandangan tradisionalis Jawa, kini mereka juga mampu unjuk gigi disemua sektor yang bisa dikerjakan oleh laki-laki termasuk sebagai anggota legislatif.

Paradigma kemanusian yang saat ini ada harusnya tidak memberangus hak asasi setiap manusia tanpa memandang gender.

Ini adalah sebuah pertanyaan besar dalam praktik kehidupan kontemporer dan modernitas. Lalu kemudian apakah ruang-ruang privat keluarga dan individu akan terjungkal dengan hadirnya RUU ini? Semoga saja tidak.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun