Dari perkataan beliau ini, kita dapat mendeskripsikan bahwa sebenarnya pak Jokowi enggan untuk memulangkan para ksatria timur tengah ini. Namun lanjut beliau, pemerintah masih menghitung untung rugi dan resiko jika mereka dipulangkan atau tidak. Namun yang pasti, sebagai masyarakat yang berharap kepada presiden, tidak seyogyanya keluar kata 'kalau" dari seorang presiden.Â
Pak Jokowi sebagai presiden dan juga sebagai kepala negara dan pemerintahan harus tegas akan hal ini. Posisi beliau sebagai sentra pengambilan keputusan dan kebijakan harus mengeluarkan statetment yang arahnya jelas, khusunya bagi konstituen yann telah mendukung naikknya presiden. Jika keluar kata kalau itu artinya beliau pun juga masih ragu ragu atau terpecah belah dalam memutus perkara ini.
Perihal pemulangan eks kombatan isis ini memang perlu dikaji lebih dalam. Saya tidak ingin menyinggung masalah kewarganegaraan mereka apakah dicabut, gugur atau tidak sesuai peraturan perundang-undangan tentang kewarganegaraan. Namun yang pasti akan sangat bahaya jika pemerintah berani untuk memulangkan mereka.
Pekerjaan rumah Indonesia dalam menanggulangi dan memberantas aksi-aksi terorisme di negeri tentunya akan semakin berat. Di sinilah sikap dan kesetian pemerintah akan diuji. Apakah benar-benar konsisten untuk katakan TIDAK pada terorisme atau diam-diam masih memberikan ruang dan peluang bagi aksi aksi bengis mereka.
Kita tentunya tidak bisa menutup mata dan telinga akan aksi-aksi terorisme yang sudah menghantui dan memberika luka yang dalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Bagaimana rasa dan duka yang perih bagi mereka, yang sanak saudaranya dibumi-hanguskan dengan peledak berkuatan kuat. Dan dalam sekejap mata, ribuan nyawa berpulang dengan tubuh yang luka parah dan terbelah. Itu. Coba rasakan.
Jika mereka juga dipulangkan, cara mereduksi dogma dan dikte ideologi mereka yang tak mengenal kemanusian itu perlu kita pertanyakan. Tak ada ukuran yang layak dan benar benar teruji untuk menilai seseorang manusia apakah benar-benar berubah atau tidak. Paparan ini lebih berbahaya dari paparan virus corona. Virus mampu kita jinakkan dengan vaksin. Vaksin itu virus yang dilemahkan. Sehingga mampu menyembuhkan dan mencegah penyakit.
Sedangkan paparan radikalisme dan terorisme itu paparannya di otak dan ideologi. Mereduksi dan menggantinya susah. Ukurannya pun tak ada. Ada yang mengatakan untuk mencuci otak seseorang agar mau menjadi seorang teroris hanya butuh waktu 30 menit. Sedangkan untuk membumikan nilai-nilai pancasila butuh waktu hingga akhir hayat. Dari sini jelaskan bagaimana susah dan sulitnya berurusan dengan mantan terorisme.
Jadi untuk apa istana ribut-ribut memikirkan untuk memulangkan mereka atau tidak? Bukan kah 600 orang itu telah bersumpah setia kepada negara yang lain. Demi mereka, pemerintah malah gunjang-ganjing dalam dilema memulangkan atau tidak.Â
Sementara ada 600 orang lebih jemaat gereja  katolik Tanjung Karimun, Batam yang taat pada Pancasila dan UUD45 memperjuangkan pembangunan gereja malah istana mingkem mingkem saja tak bereaksi. Yah ini memang bukan salah istana, namun istana harus berimbang dalam berperkara.
Penolakan rencana dan wacana pemulangan eks isis juga bukanlah sebuah islamofobia. Namun lebih menitikberatkan pada sendi-sendi bernegara yang benar-benar tidak hanya pada tunduk dan patuh pada konstitusi namun juga melindungi segenap hidup dan hajat orang banyak.
Jika ini juga erat kaitannya dengan pelanggaran HAM, bukankah mereka itu juga adalah pelanggar HAM? Memang benar bahwa amanat dari pancasila dan uud 1945 adalah melindungi segenap tumpah darah bangsa indonesia. Yang dalam hal ini adalah rakyatnya itu sendiri.Â