Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Buntut Panjang Pemulangan Eks Kombatan ISIS Asal Indonesia

11 Februari 2020   22:58 Diperbarui: 11 Februari 2020   23:27 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wacana pemulangan eks kombatan isis yang kini merebak di media massa tak henti hentinya bergulir. Wacana ini tentunya sangat menarik simpati dan atensi dari masyarakat dari seluruh lapisan manapun untuk mendiskusikan gunjang-ganjing isu eks kombatan isis agar mereka dapat dipulangkan. 

Namun, pemerintah telah resmi memutuskan perkara ini. "Pemerintah tidak ada rencana memulangkan teroris. Tidak akan memulangkan FTF (foreign terrorist fighter) ke Indonesia," kata Menko Polhukam Mahfud Md di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/2/20) (dikutip dari laman detik.com).

Sumber foto (WNI eks-ISIS, di video unggahan akun twitter/@BBCIndonesia, Rabu (5/2/2020). Mereka menyesal dan ingin pulang ke Indonesia - Twitter/BBCIndonesia)

Permintaan mereka agar dapat dipulangkan rupa-rupanya malah memecah belah suara pejabat teras di istana negara. Bukan hanya di istana negara, beberapa politisi yang kini duduk DPR RI juga silang pendapat mengenai hal ini. Apakah sebaiknya mereka dipulangkan atau dibiarkan menghabiskan hayatnya disana.

Adalah menteri Agama, Fachrul Razi yang menyatakan agar pemulangan isis ini perlu dipertimbangkan. Tak jelas apa hal ihwal yang mendasari argumentasi beliau perihal pemulangan para pahlawan jihadis asal Indonesia ini. 

Sementara itu, beberapa politisi yang berasal dari partai oposisi pemerintahan Joko Widodo memanaskan suasana dengan menyetujui jika saja pemerintah memberikan klausul pemulangan para WNI yang ada di Siriah tersebut.

Di media massa, ada kelompok netizen yang pro dan ada juga yang kontra. Ini tentunya sebagai sebuah gambaran saja, bahwa para netizen ini juga turut serta mengawasi dan menunggu gerak-gerik pemerintah dalam memutuskan duduk perkara ini.

Beda hal dengan istana, dua gubernur yang kini sama sama menduduki basis masa suara yang banyak, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur pun juga saling bersebrangan jalan dalam melihat perkara ini. 

Ridwan Kamil yang menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat  setuju dan siap menerima jika pemerintah pusat memutuskan untuk memulangkan eks teroris asal sudah insaf dan bebas dari radikalisme sesuai ukuran BNPT. Sedangkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menolak mentah mentah gagasan pemulangan tersebut.

Setelah menteri, anggota DPR, dan gubernur, lantas bagaimana sikap Presiden Joko Widodo mengenai prahara ini?

Dalam media yang saya baca, presiden kita ini berkata bahwa: "Kalau sekarang, saya akan bilang tidak." Nah apa yang menarik dari ujaran beliau ini?

Dari perkataan beliau ini, kita dapat mendeskripsikan bahwa sebenarnya pak Jokowi enggan untuk memulangkan para ksatria timur tengah ini. Namun lanjut beliau, pemerintah masih menghitung untung rugi dan resiko jika mereka dipulangkan atau tidak. Namun yang pasti, sebagai masyarakat yang berharap kepada presiden, tidak seyogyanya keluar kata 'kalau" dari seorang presiden. 

Pak Jokowi sebagai presiden dan juga sebagai kepala negara dan pemerintahan harus tegas akan hal ini. Posisi beliau sebagai sentra pengambilan keputusan dan kebijakan harus mengeluarkan statetment yang arahnya jelas, khusunya bagi konstituen yann telah mendukung naikknya presiden. Jika keluar kata kalau itu artinya beliau pun juga masih ragu ragu atau terpecah belah dalam memutus perkara ini.

Perihal pemulangan eks kombatan isis ini memang perlu dikaji lebih dalam. Saya tidak ingin menyinggung masalah kewarganegaraan mereka apakah dicabut, gugur atau tidak sesuai peraturan perundang-undangan tentang kewarganegaraan. Namun yang pasti akan sangat bahaya jika pemerintah berani untuk memulangkan mereka.

Pekerjaan rumah Indonesia dalam menanggulangi dan memberantas aksi-aksi terorisme di negeri tentunya akan semakin berat. Di sinilah sikap dan kesetian pemerintah akan diuji. Apakah benar-benar konsisten untuk katakan TIDAK pada terorisme atau diam-diam masih memberikan ruang dan peluang bagi aksi aksi bengis mereka.

Kita tentunya tidak bisa menutup mata dan telinga akan aksi-aksi terorisme yang sudah menghantui dan memberika luka yang dalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Bagaimana rasa dan duka yang perih bagi mereka, yang sanak saudaranya dibumi-hanguskan dengan peledak berkuatan kuat. Dan dalam sekejap mata, ribuan nyawa berpulang dengan tubuh yang luka parah dan terbelah. Itu. Coba rasakan.

Jika mereka juga dipulangkan, cara mereduksi dogma dan dikte ideologi mereka yang tak mengenal kemanusian itu perlu kita pertanyakan. Tak ada ukuran yang layak dan benar benar teruji untuk menilai seseorang manusia apakah benar-benar berubah atau tidak. Paparan ini lebih berbahaya dari paparan virus corona. Virus mampu kita jinakkan dengan vaksin. Vaksin itu virus yang dilemahkan. Sehingga mampu menyembuhkan dan mencegah penyakit.

Sedangkan paparan radikalisme dan terorisme itu paparannya di otak dan ideologi. Mereduksi dan menggantinya susah. Ukurannya pun tak ada. Ada yang mengatakan untuk mencuci otak seseorang agar mau menjadi seorang teroris hanya butuh waktu 30 menit. Sedangkan untuk membumikan nilai-nilai pancasila butuh waktu hingga akhir hayat. Dari sini jelaskan bagaimana susah dan sulitnya berurusan dengan mantan terorisme.

Jadi untuk apa istana ribut-ribut memikirkan untuk memulangkan mereka atau tidak? Bukan kah 600 orang itu telah bersumpah setia kepada negara yang lain. Demi mereka, pemerintah malah gunjang-ganjing dalam dilema memulangkan atau tidak. 

Sementara ada 600 orang lebih jemaat gereja  katolik Tanjung Karimun, Batam yang taat pada Pancasila dan UUD45 memperjuangkan pembangunan gereja malah istana mingkem mingkem saja tak bereaksi. Yah ini memang bukan salah istana, namun istana harus berimbang dalam berperkara.

Penolakan rencana dan wacana pemulangan eks isis juga bukanlah sebuah islamofobia. Namun lebih menitikberatkan pada sendi-sendi bernegara yang benar-benar tidak hanya pada tunduk dan patuh pada konstitusi namun juga melindungi segenap hidup dan hajat orang banyak.

Jika ini juga erat kaitannya dengan pelanggaran HAM, bukankah mereka itu juga adalah pelanggar HAM? Memang benar bahwa amanat dari pancasila dan uud 1945 adalah melindungi segenap tumpah darah bangsa indonesia. Yang dalam hal ini adalah rakyatnya itu sendiri. 

Namun, mereka telah menggadaikannya demi bidadari surga kemudian menyuarakan ham dan meminta pulang. Ini adalah logica fallacy. Mental teroris dan liberalis seperti inilah akar dari masalah dilingkungan masyarakat.

Mereka yang berangkat dan berproses menjadi terorisme disana telah berkhianat kepada negara. Sejak saat itulah, mereka tidak dapat lagi menjadi bagian dan tanggungan negara. Memang benar ada lembaga negara  penjamin dan pembina korban dari cuci otak terorisme. 

Tetapi negara juga harus adil dan jernih melihat  bahwa mereka telah berkhianat kepada negara. Dampak ke depannya akan seperti apa tak ada yang tahu. Upaya-upaya deradikalisasi oleh pemerintah saat ini saja masih bisa kita pertanyakan kualitasnya.

Perspektif lain yang bisa dijadikan dalil dan dalih adalah perbedaan terorisme yang tetap bertempat tinggal di Indonesia sedang dalam kurungan penjara apakah bisa disembuhkan dan mereka yang terorisme mantan ISIS?

Lalu mau dikemanakan mereka? Semoga saja istana cepat dan tepat dalam bersuara. Secara pibadi saya juga menolak. Walaupun secara emosional kita iba karena mereka adalah saudara sebangsa dan setanah air tetapi kita tidak boleh larut akan hal itu. Kita harus menjadi rasional saat bernegara. Potensi dan ancaman terorisme akan semakin terbuka, masyarakat menjadi takut dan akhirnya pemerintah akan kecolongan lagi dengan bom-bom yang akan meledak entah kapan dan di mana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun