Mohon tunggu...
Sony Hartono
Sony Hartono Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Pria Yang Hobi Menulis

Kutulis apa yang membuncah di pikiranku

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Jangan Sampai Indonesia Ketinggalan Gerbong Era Pajak Tarif Rendah

21 Oktober 2018   00:11 Diperbarui: 21 Oktober 2018   11:45 1223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Asas ini jelas menentang tarif pajak tinggi yang banyak berlaku saat ini. Mengapa sekecil-kecilnya? Ya, agar masyarakat tidak terlalu merasa terbebani oleh pajak, dan tentunya jika tidak merasa terbebani maka mereka akan melakukan kewajiban perpajakannya dengan penuh kesadaran. Namun, berapa sih besaran tarif pajak yang dianggap membebani itu, bukankah tidak ada patokannya? 

Memang tidak ada, tapi bisa dirasakan oleh masyarakat. Kalau di Perancis tarif PPh tertingginya saat ini sebesar 75%, itu termasuk tinggi atau tidak? Kalau di Rusia tarif PPh-nya saat ini flat 13%, itu termasuk tinggi atau tidak? 

Pasti hampir semua orang beranggapan bahwa tarif PPh di Perancis sangat tinggi, dan di Rusia cukup rendah, karena tentunya masyarakat menggunakan benchmark dengan tarif tertinggi PPh di negara-negara  lain yang rata-rata lebih rendah daripada Perancis dan lebih tinggi daripada Rusia.

Persepsi masyarakat terhadap pajak sendiri adalah unik. Selama ini banyak diberitakan bahwa masih banyak penduduk Indonesia yang tidak melakukan kewajiban perpajakannya dengan baik. 

Namun, sebagian besar masyarakat Indonesia jika ditanya apakah sudah melaksakan kewajiban perpajakannya? Pasti sebagian besar mengatakan sudah. Lho kok bisa berbeda. Hal ini dikarenakan masyarakat menganggap mereka sudah patuh pajak jika sudah membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dengan tepat waktu setiap tahunnya, membayar pajak kendaraan bermotor (PKB) tepat waktu. 

Masyarakat banyak yang belum paham bahwa penghasilan juga dikenakan pajak, dan tentunya berbeda dengan PBB dan PKB yang mereka bayarkan ke pemerintah daerah. 

Hal ini jelas menunjukkan bahwa kesadaran bahkan pengetahuan masyarakat terhadap kewajiban perpajakan khususnya pajak penghasilan (PPh) masih rendah, padahal PPh Orang Pribadi di Indonesia merupakan potensi yang luar biasa untuk ketahanan dan kontinyuitas penerimaan pajak.

Kalau kita ingat dengan Kurva Laffer yang menggambarkan hubungan antara besaran tarif pajak dan penerimaan pajak, bahwa semakin tinggi tarif pajak akan semakin besar pula penerimaan pajaknya, sampai titik tertentu penerimaan pajak akan semakin menurun seiring kenaikan tarifnya. 

Dalam hal ini berarti ada titik optimal dalam penentuan tarif pajak, karena kalau semakin tinggi melampaui titik optimal tentunya akan menjadi disinsentif kegiatan perekonomian yang pada akhirnya penerimaan pajak pun akan semakin turun.

Arthur Laffer, salah satu anggota tim ekonomi Presiden Ronald Reagen yang mempopulerkan Kurva Laffer, menyatakan bahwa tarif PPH orang pribadi di Amerika Serikat saat itu sangat tinggi, jauh di atas titik optimal, sehingga perlu diturunkan agar penerimaan pajak menjadi naik. 

Namun, setelah diaplikasikan dalam bentuk kebijakan pajak dengan tarif baru yang jauh lebih rendah, yang terjadi malah sebaliknya, penerimaan pajak penghasilan orang pribadi di Amerika turun drastis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun