Entah apa yang merasuki Gareth Southgate sehingga ia dengan berani mengubah komposisi pemain, dan taktik pola permainan yang telah terbukti mengantarkan Inggris ke Final Euro untuk pertama kalinya.
Apakah Southgate ingin mengejutkan Italia, atau Southgate ingin mengulang taktik yang ia terapkan saat bertemu dengan Der Panzer Jerman, namun kali ini taktik dan kecerdikan Southgate gagal membuahkan gelar Juara bagi Inggris.
Gareth Southgate melakukan perjudian dalam komposisi pemain yang ia turunkan untuk menghadapi Italia. The Winning Team yang membawa Inggris menang atas Denmark ia ubah.Â
Pola permainan yang biasa ia pakai 4-2-3-1 diubahnya di laga Final menjadi 3-4-2-1. Bukayo Saka yang bermain bagus saat bertemu Denmark, karena ia berhasil mengkreasi salah satu gol bunuh diri Denmark. Namun dikesempatan final ini, Southgate menempatkan Saka dibangku cadangan dan digantikan oleh Kieran Trippier.
Perubahan taktik ini, nampaknya Southgate lakukan untuk mengimbangi lini tengah Italia yang tampil mengesankan selama Euro 2020, bisa dikata lini tengah Italia mempunyai keseimbangan paling moncer, diantara tim peserta lainnya. Tak salah jika Italia menampilkan permainan paling menarik di Euro 2020 ini.
Sedangkan Roberto Mancini tidak melakukan perubahan taktik apapun, pola permainan dan komposisi pemain yang ia turunkan saat meladeni Spanyol di babak semifinal, tetap Mancini pertahankan.
Sejak wasit Bjorn Kuipers, asal Belanda meniup peluit tanda pertandingan dimulai, kedua tim langsung bermain secara terbuka. Italia dan Inggris langsung melancarkan jual beli serangan.
Hasilnya di menit ke-2, Luke Shaw berhasil mencetak gol cepat melalui tendangan first time, memanfaatkan umpan Kieran Trippier yang gagal diantisipasi oleh lini pertahanan Italia.
Kecerdikan taktik Southgate yang gagal diantisipasi oleh Mancini berujung gol cepat untuk Inggris. Southgate mencoba bermain cepat, karena tim Inggris mempunyai pemain-pemain yang memiliki kecepatan, seperti Sterling dan Kane.
Southgate nampaknya lebih tahu, cara untuk menghentikan laju Italia, yaitu dengan cara mengajak para pemain Italia terus berlari cepat. Menang dalam hal rataan usia pemain, tidak menjadi masalah bagi skuad muda Inggris yang nampak masih bugar fisiknya.
Di babak pertama Italia terus mencari gol penyama kedudukan dan mencoba menguasai jalannya pertandingan. Kedisiplinan pemain Inggris dalam menjaga area pertahanan membuat Italia kesulitan menembusnya. Inggris tampil sangat disiplin, dan melancarkan serangan balik cepat.
Perubahan taktik yang Southgate lakukan di babak pertama, sepertinya berhasil. Tim Inggris  berhasil mencuri gol, dan membuat tim asuhan Mancini kesulitan mengembangkan permainan. Karena di babak pertama catenaccio milik Inggris, susah ditembus oleh trio lini depan Italia Federico Chiesa, Ciro Immobile dan Lorenzo Insigne
Mancini tahu apa yang harus ia lakukan, agar Italia tidak terpeleset di laga penentuan. Mancini bergerak cepat, dengan melakukan perubahan strategi yang ia lakukan di babak kedua, dengan memasukkan Domenico Berardi dan Bryan Cristante merubah wajah baru penampilan Italia yang lebih segar.
Hasilnya tidak lama kemudian di menit ke-67, dua pemain yang baru masuk inilah, yang mempunyai peran terjadinya gol bagi Italia yang dicetak oleh Bonucci. Berardi mengambil tendangan pojok, kemudian Crystante berusaha menyundul bola dan berhasil membuat kemelut di depan gawang Inggris. Verratti berusaha mencetak gol lewat sundulan, namun usahanya digagalkan oleh Pickford.
Bonucci berhasil menyamakan kedudukan, memanfaatkan kemelut di depan gawang Inggris. Dengan sangat cepat Bonucci menyambar bola rebound yang tidak dapat diantisipasi dengan sempurna oleh Pickford.
Setelah gol Bonucci terjadi, kedua tim bermain lebih terbuka. Namun Italia, lebih banyak menguasai jalannya pertandingan dan Inggris hanya menunggu untuk melancarkan serangan balik.
Italia tampak lebih nyaman, dalam melakukan serangan ke lini pertahanan Inggris. Tidak ada gol yang terjadi lagi, sehingga laga Italia dan Inggris harus dituntaskan melalui babak perpanjangan waktu. Kekurangan dari laga final ini, hanyalah tidak adanya gol yang tercipta setelah skor menjadi imbang 1-1, padahal kedua tim bermain terbuka untuk mencari gol kemenagan.
Di babak perpanjangan waktu inilah, Southgate terlihat bodoh. Jordan Henderson yang masuk menggantikan Declan Rice di menit ke-74, harus digantikan lagi perannya oleh Marcus Rashford di menit ke-120. Henderson yang tak mengubah permainan Inggris, namun sebenarnya tenaganya dibutuhkan saat adu penalti.
Untuk menambah algojo penendang penalti, Southgate juga memasukkan Jadon Sancho di menit ke-120 menggantikan Kyle Walker. Kesalahan awal sebelumnya adalah dengan mencadangkan Bukayo Saka, karena sebagai pemain pengganti Saka tidak dapat memberikan konstribusi apa-apa. Berbeda ketika Saka, tampil sebagai starter terlebih dahulu ia tampak lebih trengginas dan cepat.
Saat drama tos-tosan adu penalti dimulai, sebenarnya tak ada yang salah dengan taktik dan strategi Southgate tidak salah. Karena penendang penalti Italia, Andrea Belotti sempat gagal mencetak gol penalti. Hal Ini membawa angin segar bagi Inggris.
Namun kegagalan tiga penendang Inggris selanjutnya, yang merupakan pemain pengganti yang sudah dipersiapkan secara matang oleh Southgate sebagai eksekutor, gagal menjalankan tugasnya dengan baik.
Tendangan Marcus Rashford menerpa mistar gawang, serta dua penendang penalti Jadon Sancho dan Bukayo Saka berhasil ditepis oleh Donnarumma. Pecahlah euforia kegembiraan para pemain Italia dan suporter yang hadir langsung di Stadion Wembley.
Mancini, memenangi adu taktiknya melawan Southgate. Southgate melakukan kesalahan dalam pemilihan taktik, komposisi pemain, pergantian pemain dan pemilihan pemain saat adu penalti.Â
Kaki-kaki pemain Inggris yang belum panas, dipaksa dipilih oleh Southgate. Sancho dan Rashford belum merasakan panasnya rumput hijau Stadion Wembley, sehingga mereka gagal melakukan tendangan penalti. Kemudian pemilihan Bukayo Saka sebagai penendang kelima, pemain muda milik Arsenal, yang baru berusia 19 tahun tentu belum siap harus menanggung beban berat sebagai penendang penentu bagi skuad Inggris dalam adu penalti.Â
Gelar ini sangat penting bagi Mancini, karena membuktikan kapasitas ia sebagai pelatih yang berhasil membawa Italia Juara Piala Eropa, apalagi saat sebagai pemain ia gagal mempersembahkan gelar mayor bagi Italia. Dan ini juga menjadi gelar Juara Piala Eropa kedua bagi Italia, setelah sebelumnya mereka pernah Juara di tahun 1968.
Selamat buat Italia, sayang sekali lagu Football is coming home batal dinyanyikan oleh fans Inggris di Stadion Wembley, karena Inggris gagal menjadi juara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H