Wisata bersama Click Kompasiana merupakan salah satu yang saya rindukan selama Pandemi COVID-19 ini. Mengapa demikian? Karena biasanya tujuan wisatanya yang out of the box atau tidak biasa. Bahkan mungkin saya tak akan pernah mengunjunginya jika tidak bersama dengan Click.
Seperti pada kunjungan kami pada tanggal 26 Februari 2023 ke dua tempat wisata di Cikarang, yaitu Saung Rawon dan Taman Budaya. Saung Rangon adalah sebuah cagar budaya tertua di Kabupaten Bekasi yang menyimpan berbagai catatan sejarah mengenai perjuangan Indonesia melawan Belanda dengan aroma mistis di dalamnya. Sementara itu, Taman Budaya adalah wisata satwa buaya air tawar dari Indonesia yang juga sama-sama memiliki nuansa mistis di dalamnya.
Perjalanan Naik Kereta
Sejujurnya ini perjalanan saya pertama kali naik kereta api ke Cikarang. Sudah terbayang betapa jauh dan sulitnya perjalanan dengan menggunakan kereta api ke daerah yang didominasi oleh kawasan industri ini. Dalam pemikiran saya selama ini jumlah kereta menuju Cikarang sangat terbatas. Jadi, ketika sudah terlewat, kita akan menunggu lama untuk naik kereta selanjutnya.
Oleh karena itu, saya berangkat lebih cepat, daripada ketinggalan, lebih baik menunggu. Ketika sampai di Stasiun Cakung, kereta Cikarang sudah sampai, padahal menurut informasi Mbak Muthia Alhansy, salah satu admin Click Kompasiana, kereta api yang akan kami tumpangi masih akan datang 15 menit lagi.
Agak bingung sebenarnya, ini memang benar kereta yang dimaksud atau tidak. Namun karena dalam pemikiran saya kalau sudah terlambat akan menunggu lama, saya pun bergegas naik kereta. Baru tahu beberapa menit kemudian kalau saya naik kereta lebih awal dari perjanjian. Para Kompasioner masih berada di Stasiun Manggarai sebagai titik kumpul perjalanan kami.
Dan saya baru tahu juga dari Mas Kamil, perwakilan Kompasiana yang ikut serta dalam perjalanan ini, bahwa kereta ke Cikarang sekarang jauh lebih banyak armadanya. Normalnya kereta dari Tanah Abang ke Cikarang akan tiba dalam waktu 15 menit. Salut juga ya dengan perkembangan kereta sekarang ini. Apalagi saya bisa duduk dengan nyaman di salah satu bangku prioritas, menikmati perjalanan ke Cikarang yang hanya memakan sekitar 20 menit.
Saung Rangon
Di stasiun Cikarang ternyata sudah ada Kompasioner yang telah menunggu. Setelah tidak bertemu lebih dari tiga tahun, para Kompasioner pun bertemu di Stasiun Cikarang. Kami agak lama berada di stasiun tersebut akibat Odong-odong yang akan menjadi alat transportasi tak kunjung datang. Namun dengan cekatannya admin Click Kompasiana dan juga Tuan Rumah Cikarang, Mas Taufik Irawan, mencari angkot sebagai penggantinya. Meskipun tidak dalam keadaaan prima, angkot hijau tersebut dapat membawa kami dengan selamat ke tujuan, tanpa kekurangan apa pun.
Tujuan pertama kami adalah Saung Rangon. Perjalanan dari Stasiun Cikarang ke tempat wisata itu cukup jauh, hampir 45 menit. Menurut keterangan dari Bapak Taufik, Kompasioner yang begitu rajin memantau Google Map, jaraknya sekitar 10 Km. Para Kompasioner agak terkantuk-kantuk sepanjang perjalanan, sesekali ada yang terbangun akibat benturan angkot dengan jalanan yang berlubang-lubang di beberapa bagian jalan raya Cikarang. Sesekali ada yang terbangun akibat kepanasan karena mobil tak kunjung bergerak akibat beberapa titik banjir karena hujan yang tak kunjung berhenti dalam dalam beberapa hari ini di daerah tersebut.
Setelah perjalanan panjang, kami pun sampai di Saung rangon. Di pintu masuk sebelah kanan ada sebuah rumah makan sederhana lesehan yang menjual makanan khas Betawi. Kami pun segera memasuki gerbang Saung Rangon yang cornblock-nya di depannya agak licin akibat lumut yang tumbuh. Tak beberapa lama Ibu Sri Mulyani, kuncen Saung Rangon yang berusia 70 tahunan, datang menghampiri kami dan mengajak kami naik ke Saung Rangon, sebuah rumah panggung yang ukurannya tidak terlalu luas di atas ukuran tanah seluas 500m2. Sementara panjang bangunan itu sendiri adalah 7,6 meter dengan lebar 7,2 meter, dan tinggi 2,5 meter.
Rumah panggung terdiri dari dua bagian. Kami duduk di ruangan depan yang berlantai permadani dan gorden berwarna hijau. Sementara itu, ada satu ruang yang lebih kecil dengan satu tempat tidur berseprai putih, tempat menaruh barang pusaka. Sementara, di bawah tempat tidur ada berbagai peralatan sesaji. Di dinding ada gambar Walisongo dan Nyai Roro Kidul. Di sini biasanya para peziarah memanjatkan doa-doa lewat juru kunci.
Dari sana Sri Mulayati memulai cerita mengenai Saung Rangon yang dibangun pada abad ke-16 ketika masa pendudukan Belanda. Pada masa itu banyak orang pribumi menjadi buronan penjajah Belanda karena berbagai kasus. Orang-orang yang disebut sebagai leluhur warga kampung ini tiba di Kampung Cikedokan dalam keadaan menyamar. Dari sinilah asal-muasal nama Cikedokan, yang berasal dari dua suku kata, Ci yang berarti bening dan Kedok yang berarti penyamaran.
Rumah yang dibuat dari kayu ulin atau kayu besi ini dibangun oleh Pangeran Rangga yang merupakan putra dari Pangeran Jayakarta, tokoh Betawi yang berperan penting dalam perlawanan terhadap Belanda di Kawasan Jakarta dan Bekasi. Rumah ini dibangun untuk tempat menetap sekaligus persembunyiannya dari kejaran bangsa Belanda. Pada suatu saat tempat persembunyian tersebut diketahui Belanda dan terjadilah perang. Setelahnya Pangeran Rangga pergi dan tidak pernah kembali lagi ke rumah ini.
Rumah panggung ini kemudian dibiarkan kosong. Setelahnya datanglah Raden Abbas beserta dengan pengikutnya yang setia, yaitu Pak Bujang, Pak Bali, dan Pak Baja Taruna. Di rumah inilah para tokoh perjuangan dan agama sering berkumpul, dari Sunan Kali Jati hingga Raja Mataram, melakukan rapat untuk memutuskan suatu permasalahan yang terjadi. Jadi, tempat ini adalah saksi sejarah yang amat berharga, bukan hanya untuk warga Cikedong melainkan untuk Bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, untuk menjaga kelestariannya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Saung Rangon sebagai Cagar Budaya. Di sini tersimpan 25 keris serta senjata tradisional lainnya, seperti bendo, pedang panjang, hingga tombak yang ditaruh di atas tempat tidur berseprai putih. Selain itu, Saung Rangon juga memiliki telur ayam yang setiap bulannya mengeluarkan darah dan tidak membusuk.
Di sini setiap tanggal 15 setiap bulannya biasanya digelar berbagai kesenian. Meskipun dari waktu ke waktu, jenis keseniannya berubah-ubah, dari tari ronggeng, tari jaipong, dan kesenian topeng. Untuk kesenian topeng diberhentikan karena pernah suatu kali semua pemain dalam kesenian ini kesurupan. Kegiatan kesenian ini bukan hanya menarik bagi masyarakat Desa Cikedong, tetapi banyak orang dari desa lain bertandang menyaksikannya. Kegiatan kesenian kemudian digantikan dengan kegiatan ceramah. Kegiatan tersebut kemudian vakum akibat pandemi COVID-19.
Acara yang juga kerap dilakukan adalah perayaan Maulid. Biasanya kuncen akan melakukan tradisi mencuci benda-benda pusaka. Barulah setelahnya dilanjutkan dengan acara hiburan.
Bisa dibayangkan betapa ramainya Saung Raon dahulu kala, Setelah COVID-19 pengunjung yang datang bisa dihitung dengan jari untuk kepentingan ziarah, berdoa, dan ritual-ritual pribadi. Saat ini paling banyak hanya dua orang dalam sehari yang menginap di Saung Rangon, malahan terkadang ketika cuaca tidak bersahabat tak ada satu pun pengunjung yang datang. Â
Namun dari sebegitu panjangnya cerita menarik yang diberikan, terselip cerita yang kurang mengenakkan karena setelah 30 tahun Ibu Sri Mulayati menggantikan kakaknya, tak pernah satu kali pun dana bantuan yang diberikan untuk operasionalisasi  cagar budaya ini. Pengelola hanya berharap pada kebaikan hati para pengunjung.
Â
Makan SiangÂ
Setelahnya beranjangsana di Saung Raon kami pun melanjutkan perjalanan menuju Taman Buaya. Perjalanannya sekitar 30 menitan dari Saung Raon. Karena perut sudah cukup lapar, para Kompasioner sepakat untuk makan siang di rumah makan padang pertama yang dijumpai.
Setelah perjalanan sekitar 15 menit akhirnya kami menemukan sebuah rumah makan padang pas di pengkolan jalan. Para Kompasioner segera memesan makanan. Kebanyakan memesan nasi dengan lauk pauk ayam bakar atau ayam goreng serta sayuran singkong rebus dan gulai nangka. Sambal hijau dan merah juga menambah penuh piring makan Kompasioner. Ada juga Kompasioner yang memesan jengkol balado ataupun telur dadar.
Semuanya tampak lahap. Harga makanannya cukup terjangkau dengan pelayanan yang baik dan ramah. Teh hangatnya diberikan secara gratis. Sekitar setengah jam kemudian kami melanjutkan ke Taman Buaya.
Â
Taman Buaya
Sebelum sampai di Taman Buaya, banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh Kompasioner mengenai taman wisata ini. Milik siapakah Taman Budaya ini? Apakah ini milik Pemda atau bukan? Apakah buaya ini ditangkar untuk diambil kulitnya? Mengingat betapa mahalnya tas yang terbuat dari kulit buaya.
Semua pertanyaan tersebut terjawab ketika bertemu Bapak Warsidi. Taman Buaya ini direlokasi ke Cikarang sejak tahun 1991. Sebelum mereka dipelihara di daerah Jakarta Barat. Dulunya jumlah buaya berkisar 500 ekor, tetapi sekarang jumlahnya sudah berkurang menjadi 320 buaya akibat kematian.
Menurut Pak Warsidi mayoritas penyebab kematian buaya adalah akibat buaya memakan botol kemasan minuman. Botol kemasan tidak bisa diurai di dalam tubuh, lalu lambat laun tubuh buaya akan menyusut sehingga menyebabkan kematian. Oleh karena itulah, di setiap kolam diberi peringatan agar para pengunjung tidak melempar botol ke arah kolam buaya. Buaya yang berada di enam kolam besar ini berusia sekitar 20-65 tahun dari jenis buaya air tawar dari Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Untuk buaya yang lebih muda ditangkar di daerah Tangerang.
Taman buaya ini milik perorangan. Pemilik awalnya sangat cinta pada buaya dan paham betul mengenai buaya. Jadi ketika buaya mati, kulit buaya akan diambil kemudian diproses menjadi tas misalnya. Namun beliau sudah meninggal dunia, dan diwariskan kepada anaknya. Namun karena tak ada yang bisa memproses kulit buaya tersebut, biasanya kulit dan tubuh buaya langsung dimakamkan.
Satu jam bersama Pak Warsidi membuat pengetahuan kami Kompasioner bertambah luas. Namun ketika seorang Kompasioner menanyakan tentang makanan para buaya. Kami sungguh terkesiap karena buaya tersebut hanya diberi makan seminggu dua kali, yaitu setiap hari Selasa dan Jumat. Itu pun kalau kebagian, sering kali buaya dipaksa puasa karena jumlah makanan tidak cukup untuk semua. Oleh karena itulah, buaya sering berkelahi untuk mendapatkan makanan. Idealnya satu ekor buaya membutuhkan sembilan ekor ayam.
Adapun uang untuk membeli makan diperoleh dari para pengunjung. Sayangnya sejak tahun 2000 jumlah pengunjung semakin menurun. Pandemi COVID-19 menyebabkan penurunanya semakin drastis. Saat ini ada saja warga yang berdonasi memberikan ayam tiren kepada buaya. Namun sayangnya, donasi pun belum mencukupi kebutuhan Taman Buaya.
Mungkin karena inilah Taman Buaya tidak tampak menarik sebagai kunjungan wisata. Sudut-sudutnya tampak kusam dan tak ada juga program promosi yang menarik para pengunjung untuk datang ke sini.
Minimnya Perhatian PemerintahÂ
Ada dua kesamaan dari Saung Rangon dan Taman Wisata. Keduanya menyimpan kekayaan budaya dan satwa Indonesia. Namun sayangnya, pengelolaannya masih kurang baik. Kedua wisata itu tidak begitu menarik bagi wisatawan.
Sebenarnya kita perlu mengapresiasi pemilik Taman Buaya yang sudah mau berupaya menangkar buaya, yang menurut Tempo populasinya sudah mulai menyusut akibat rusaknya habitat. Namun sayangnya, sampai saat ini, menurut Bapak Warsidi, belum ada dana bantuan yang diberikan oleh pemerintah. Seandainya pemerintah daerah bisa memperhatikan dan Taman Buaya bisa berbenah diri. Tentunya Taman buaya bisa menjadi salah satu kunjungan wisata. Apalagi dengan menjual atraksi buayanya yang ekstrem yang hanya dimainkan di hari-hari besar saja, seperti Lebaran, Natal, dan Tahun Baru.
Begitu juga dengan Saung Rangon, saat ini pengelola masih mengandalakan bantuan dari pengunjungnya. Semoga Cagar Budaya ini dapat segera menerima bantuan dari pemerintah setelah macet selama 30 tahun.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H