Â
Makan SiangÂ
Setelahnya beranjangsana di Saung Raon kami pun melanjutkan perjalanan menuju Taman Buaya. Perjalanannya sekitar 30 menitan dari Saung Raon. Karena perut sudah cukup lapar, para Kompasioner sepakat untuk makan siang di rumah makan padang pertama yang dijumpai.
Setelah perjalanan sekitar 15 menit akhirnya kami menemukan sebuah rumah makan padang pas di pengkolan jalan. Para Kompasioner segera memesan makanan. Kebanyakan memesan nasi dengan lauk pauk ayam bakar atau ayam goreng serta sayuran singkong rebus dan gulai nangka. Sambal hijau dan merah juga menambah penuh piring makan Kompasioner. Ada juga Kompasioner yang memesan jengkol balado ataupun telur dadar.
Semuanya tampak lahap. Harga makanannya cukup terjangkau dengan pelayanan yang baik dan ramah. Teh hangatnya diberikan secara gratis. Sekitar setengah jam kemudian kami melanjutkan ke Taman Buaya.
Â
Taman Buaya
Sebelum sampai di Taman Buaya, banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh Kompasioner mengenai taman wisata ini. Milik siapakah Taman Budaya ini? Apakah ini milik Pemda atau bukan? Apakah buaya ini ditangkar untuk diambil kulitnya? Mengingat betapa mahalnya tas yang terbuat dari kulit buaya.
Semua pertanyaan tersebut terjawab ketika bertemu Bapak Warsidi. Taman Buaya ini direlokasi ke Cikarang sejak tahun 1991. Sebelum mereka dipelihara di daerah Jakarta Barat. Dulunya jumlah buaya berkisar 500 ekor, tetapi sekarang jumlahnya sudah berkurang menjadi 320 buaya akibat kematian.
Menurut Pak Warsidi mayoritas penyebab kematian buaya adalah akibat buaya memakan botol kemasan minuman. Botol kemasan tidak bisa diurai di dalam tubuh, lalu lambat laun tubuh buaya akan menyusut sehingga menyebabkan kematian. Oleh karena itulah, di setiap kolam diberi peringatan agar para pengunjung tidak melempar botol ke arah kolam buaya. Buaya yang berada di enam kolam besar ini berusia sekitar 20-65 tahun dari jenis buaya air tawar dari Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Untuk buaya yang lebih muda ditangkar di daerah Tangerang.