Tujuan pertama kami adalah Saung Rangon. Perjalanan dari Stasiun Cikarang ke tempat wisata itu cukup jauh, hampir 45 menit. Menurut keterangan dari Bapak Taufik, Kompasioner yang begitu rajin memantau Google Map, jaraknya sekitar 10 Km. Para Kompasioner agak terkantuk-kantuk sepanjang perjalanan, sesekali ada yang terbangun akibat benturan angkot dengan jalanan yang berlubang-lubang di beberapa bagian jalan raya Cikarang. Sesekali ada yang terbangun akibat kepanasan karena mobil tak kunjung bergerak akibat beberapa titik banjir karena hujan yang tak kunjung berhenti dalam dalam beberapa hari ini di daerah tersebut.
Setelah perjalanan panjang, kami pun sampai di Saung rangon. Di pintu masuk sebelah kanan ada sebuah rumah makan sederhana lesehan yang menjual makanan khas Betawi. Kami pun segera memasuki gerbang Saung Rangon yang cornblock-nya di depannya agak licin akibat lumut yang tumbuh. Tak beberapa lama Ibu Sri Mulyani, kuncen Saung Rangon yang berusia 70 tahunan, datang menghampiri kami dan mengajak kami naik ke Saung Rangon, sebuah rumah panggung yang ukurannya tidak terlalu luas di atas ukuran tanah seluas 500m2. Sementara panjang bangunan itu sendiri adalah 7,6 meter dengan lebar 7,2 meter, dan tinggi 2,5 meter.
Rumah panggung terdiri dari dua bagian. Kami duduk di ruangan depan yang berlantai permadani dan gorden berwarna hijau. Sementara itu, ada satu ruang yang lebih kecil dengan satu tempat tidur berseprai putih, tempat menaruh barang pusaka. Sementara, di bawah tempat tidur ada berbagai peralatan sesaji. Di dinding ada gambar Walisongo dan Nyai Roro Kidul. Di sini biasanya para peziarah memanjatkan doa-doa lewat juru kunci.
Dari sana Sri Mulayati memulai cerita mengenai Saung Rangon yang dibangun pada abad ke-16 ketika masa pendudukan Belanda. Pada masa itu banyak orang pribumi menjadi buronan penjajah Belanda karena berbagai kasus. Orang-orang yang disebut sebagai leluhur warga kampung ini tiba di Kampung Cikedokan dalam keadaan menyamar. Dari sinilah asal-muasal nama Cikedokan, yang berasal dari dua suku kata, Ci yang berarti bening dan Kedok yang berarti penyamaran.
Rumah yang dibuat dari kayu ulin atau kayu besi ini dibangun oleh Pangeran Rangga yang merupakan putra dari Pangeran Jayakarta, tokoh Betawi yang berperan penting dalam perlawanan terhadap Belanda di Kawasan Jakarta dan Bekasi. Rumah ini dibangun untuk tempat menetap sekaligus persembunyiannya dari kejaran bangsa Belanda. Pada suatu saat tempat persembunyian tersebut diketahui Belanda dan terjadilah perang. Setelahnya Pangeran Rangga pergi dan tidak pernah kembali lagi ke rumah ini.
Rumah panggung ini kemudian dibiarkan kosong. Setelahnya datanglah Raden Abbas beserta dengan pengikutnya yang setia, yaitu Pak Bujang, Pak Bali, dan Pak Baja Taruna. Di rumah inilah para tokoh perjuangan dan agama sering berkumpul, dari Sunan Kali Jati hingga Raja Mataram, melakukan rapat untuk memutuskan suatu permasalahan yang terjadi. Jadi, tempat ini adalah saksi sejarah yang amat berharga, bukan hanya untuk warga Cikedong melainkan untuk Bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, untuk menjaga kelestariannya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Saung Rangon sebagai Cagar Budaya. Di sini tersimpan 25 keris serta senjata tradisional lainnya, seperti bendo, pedang panjang, hingga tombak yang ditaruh di atas tempat tidur berseprai putih. Selain itu, Saung Rangon juga memiliki telur ayam yang setiap bulannya mengeluarkan darah dan tidak membusuk.
Di sini setiap tanggal 15 setiap bulannya biasanya digelar berbagai kesenian. Meskipun dari waktu ke waktu, jenis keseniannya berubah-ubah, dari tari ronggeng, tari jaipong, dan kesenian topeng. Untuk kesenian topeng diberhentikan karena pernah suatu kali semua pemain dalam kesenian ini kesurupan. Kegiatan kesenian ini bukan hanya menarik bagi masyarakat Desa Cikedong, tetapi banyak orang dari desa lain bertandang menyaksikannya. Kegiatan kesenian kemudian digantikan dengan kegiatan ceramah. Kegiatan tersebut kemudian vakum akibat pandemi COVID-19.
Acara yang juga kerap dilakukan adalah perayaan Maulid. Biasanya kuncen akan melakukan tradisi mencuci benda-benda pusaka. Barulah setelahnya dilanjutkan dengan acara hiburan.
Bisa dibayangkan betapa ramainya Saung Raon dahulu kala, Setelah COVID-19 pengunjung yang datang bisa dihitung dengan jari untuk kepentingan ziarah, berdoa, dan ritual-ritual pribadi. Saat ini paling banyak hanya dua orang dalam sehari yang menginap di Saung Rangon, malahan terkadang ketika cuaca tidak bersahabat tak ada satu pun pengunjung yang datang. Â
Namun dari sebegitu panjangnya cerita menarik yang diberikan, terselip cerita yang kurang mengenakkan karena setelah 30 tahun Ibu Sri Mulayati menggantikan kakaknya, tak pernah satu kali pun dana bantuan yang diberikan untuk operasionalisasi  cagar budaya ini. Pengelola hanya berharap pada kebaikan hati para pengunjung.