Mohon tunggu...
Sona Adiansyah
Sona Adiansyah Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

IQRO'

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jalan Berliku Aktivis Sosial

6 September 2022   22:33 Diperbarui: 9 Februari 2024   22:49 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Pengalaman Seru Tak Terlupakan di UMY (Sona Adiansyah,  ALUMNI/2010) - Apa yang terbayang olehmu, bicara soal mengenai aktivis sosial ? Seputar kampus, mahasiswa, gerakan, advokasi, kerja nyata, pendampingan, pengabdian, solidaritas, relawan, volunteer dan kegiatan positif lainnya dilakukan secara individu maupun kelompok.

Demi, terwujudnya keinginan cita-cita bersama-sama. Selain itu, objek vitalitasnya mencakupi di lingkungan masyarakat, kemanusiaan, penelitian, pengetahuan, pengalaman, praktek dan lain sebagainya.  Mungkin, jika di sederhanakan; “Teori tanpa aksi onani, aksi tanpa teori anarki.”

Alhasil, disimpulkan bahwa tidak akan pernah ada pengalaman tanpa pernah mengalaminya secara langsung, terjun lapangan dan terlibat aktif.

Singkat cerita, disini penulis akan bercerita tentang jalan berliku menjadi aktivis sosial. Semasa, menyandang status mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Berawal, memiliki keinginan besar menjadi seorang sarjana. Siapa sangka, di tempa dengan berbagai komunitas ternyata telah mampu mengantarkan bernalar kritis untuk diri saya secara pribadi. Karena tahunya kuliah itu hanya ke kampus. Tanpa, disadari akan ditempa berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya.

Berbekalkan, modal semangat dari desa kelahiran tercinta. Serta, motivasi ingin menjadi seorang sarjana. Demi, papa dan mama orang pedalaman yang katanya tidak mengerti apa-apa.

Beranggapan, dulunya berfikir seorang sarjana itu suatu saat berperan penting dalam Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia.

Singkatnya, seorang sarjana tidak akan mungkin kapabilitas dan kualitasnya tidak teruji dalam bicara soal kemaslahatan suatu bangsa. Pengecualian, jika seorang sarjana tersebut cacat dalam sebuah identitas; moral, etika, perilaku, watak dan lain-lain (Wallahu a’lam bish-shawab).

Menggunakan tas ransel yang sudah lapuk, berisi beberapa pakaian ganti beserta uang saku yang telah disiapkan oleh mama. Kisarannya, berjumlah Rp 3.000.000,- (Tiga Juta Rupiah) pada masa itu.

Singkat cerita, esok paginya berusaha pesan tiket untuk pra keberangkatan. Paska, setelah diskusi hebat dengan kedua orang tua. Dikarenakan, mereka tidak merestui atas apa yang saya impikan.

Alasannya, kehidupan yang pas-pasan kadang-kadang makan dan terkadang tidak. Sepintas, saya teringat ungkapan mama di saat itu; “Kamu sanggup nak, merasa sulit di kota besar ?“ Jawabku; “Apapun yang terjadi, Tuhan akan menyertai perjuanganku ma.”

Alhasil, tetesan air mata langsung tidak terbendung menetes di wajahnya. Serta, saya berusaha sigap mengusap-usap dengan menggunakan tisu. Bertujuan, menenangkan keadaan dan situasi sekaligus meyakinkan keadaan saya akan baik-baik saja dimana dan kapanpun.

Singkat cerita, tiketnya sudah terbeli via marina dari Pulau Burung (Ridar) ke Pulau Batam (Kepri) masih berkisar Rp 175.000,- (Seratus Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah) untuk satu kali bepergian.

Sembari, menikmati kepergian yang ditemani keindahan laut lepas di perjalanan. Serta, menyusuri beberapa pulau yang ada di provinsi Kepulauan Riau.

Bagi saya, itu sudah cukup menghilangkan sedikit kecemasan untuk pertama-kalinya pergi merantau. Plus, di tengah-tengah perjalanan terlihat keindahan Pulau Sugi sisi kejauhan. Semua orang juga tahu, telunas resort cukup terkenal di Mancanegara dan itu yang membuat perasaan saya menjadi senang tanpa di rundung rasa takut dan kesusahan.

To the point, orang kampung dengan memiliki berbagai jenis keterbatasan itu saya. Serta, menyatakan ingin keluar ke kota besar baru pertama-kalinya alias perdana pada waktu itu berkeinginan kuliah di Jogjakarta.

Singkat cerita, dari Bandara Internasional Hang Nadim langsung terbang ke Bandara Adi Sucipto yang sekarang sudah berganti status menjadi YIA; Yogyakarta International Airport (Kulonprogo).

Setibanya, tanyaku terhadap diri sendiri; “Dimana tas ranselnya, kok bisa hilang,” sembari bengong dan gelisah. Entahlah, hampir putus asa mencarinya.

Akhirnya, saya mencoba menelpon ke salah-satu senior. “Halo, Assalamu’alaikum kang ?” Jawabnya; “iya son, wa’alaikumsalam ada apa ? Kamu udah mendaratkah (Kang Fathur).” Jawabku; “Iya nih kang, udah mendarat. Tapi, tas ransel saya belum ditemukan.” 

Singkat waktu, langsung kaget. “Kok bisa tas ranselmu hilang, bukannya pengamanan di tiap-tiap bandara super ketat son. Apalagi, bandara Hang Nadim tarafnya Internasional. Ah, kamu ada-ada aja.” Jawabku, “Iya beneran kang, tas ransel yang saya bawa beneran hilang.” 

Alhasil, “Sekarang begini saja deh, coba kamu ingat-ingat kembali. Dimana tas ranselnya tadi di titipkan.” Jawabku, “Tadi itu, ketika saya baru masuk di pintu utama bandara. Tas ranselnya, saya titipkan pada conveyor yang bergeraknya satu arah. Tepatnya, di lantai dasar bandara itu. Nah, setelah itu saya di rekomendasikan ke ruang tunggu. Tepatnya, di lantai 3 (tiga). Saya mencoba menunggu kedatangannya, tapi anehnya tas ransel itu tidak ada muncul di hadapan saya. Mau, bertanya ke petugas, saya kurang percaya diri alias malu kang.”

Awalnya, bernuansa serius. Akan tetapi, setelah itu. “Hahahahahahahaha, kamu nih malu-maluin orang Pulau Burung son.” Serta, berikutnya dengan perilaku sama. “Hahahahahahahaha, sekarang begini saja deh. Coba, kamu cari lagi conveyor yang bergerak mirip dengan conveyor kamu lihat sebelumnya.”

Singkat cerita, sayapun berusaha mencari tas ransel itu. Akhirnya, sesuai prediksi tas ranselnya tidak hilang. Akan tetapi, betapa bodohnya aku alias orang kampung baru pertama naik pesawat. Iya, begitu sungguh terlalu.

Saya pertegas, tas ranselnya tidak hilang. Akan tetapi, orang yang bawa tas ranselnya yang memang berwatak stupid alias oon.

Suasana, hujan gerimis tepatnya di Jalan Timoho Yogyakarta. Sembari, berjalan linglung sebagai mahasiswa baru. Tentu, perihal yang paling utama di cari yaitu sebuah kos.

Sebut, saja mas Joko mahasiswa fakultas tekhnik mesin. Serta, sekaligus senior saya di sebuah kampus.

Beliau orang yang pertama kali memperkenalkan saya, terhadap salah-satu komunitas gerakan mahasiswa. Karena tanpa di sadari oleh saya sebelumnya, kost-kostan yang baru saja di tempati ternyata merupakan sebuah kontrakan berbasis sekre.

Yakni, sekre atau biasa di sebut wadah organisasi kemahasiswaan yang berbasis dunia gerakan dalam berkumpul dan melaksanakan aktivitas.

Alhasil, disana pertama kali saya menempa diri. Pada akhirnya, bisa berproses dari semester 1 (satu) sampai bisa lulus di wisuda.

Selama, beraktivitas sebagai aktivis mahasiswa rasa pahit maupun manis. Sekiranya, diantara semua telah menjadi benalu dalam diri.

Suatu pagi, tatkala detik-detik ingin baru melakukan aksi demontrasi. Dayoma, “Son, kamu bawa toa ini iya ?,” Jawabku; “Perutku, lapar Aish”. Jawabnya; “Heleh, alasannya saja itu.” Jawabku lagi; “Beneran aish, perutku lapar sekali ini. Hahahahahahahahaha,”

 Singkat cerita, ungkapannya; “Ah, kamu baru gitu aja udah merasa lapar. Noh, jutaan rakyat di pinggiran sana banyak yang kelaparan. Bahkan, tidak memiliki tanah, rumah, pekerjaan dan hidupnya luntang-lantung dalam jurang kemiskinan. Apapun, alasannya kamu tidak boleh begitu. Kamu itu mahasiswa, kelak peranmu akan di pertanggung-jawabkan di hadapan jutaan rakyat Indonesia.”

Setelah berkomentar panjang lebar, intinya fikiran saya mulai mumet mendengarnya. Selanjutnya, “Okelah, mana toanya. Biar, saya yang bawa”. Setelah itu iyapun langsung terdiam.

Suatu hari, kita baru ingin memulai sebuah aksi dan ingin melakukan sebuah orasi. Tetiba, ada tendangan dari belakang, depan, kiri maupun kanan singkatnya kita dihajar satu-persatu. Kemudian, setelah itu saya berlari sekencang-kencangnya menuju pagar sebuah kampus.

Alhasil, nasib berkata lain saya sendiri terjatuh. Endingnya, pukulan demi pukulan menyerobot dengan cepat dalam siklus pengeroyokan. Serta, akibatnya berujung sebuah kemalangan yang hampir saja mematikan.

Pada masa itu, masih terngiang-ngiang dalam ingatan. Berkisar, sekitar berjumlah 10 orang massa tanpa dikenal identitasnya.

Membawa pentungan, balok kayu dan senjata lainnya yang cukup membahayakan. “Dar, dur, dar, dur, dar, dur.”

Dampaknya, tubuh saya pada waktu itu langsung terjerembab ke tanah. Menyisakan, luka memar di kepala dan pelipis pipi kiri maupun kanan mulai membiru di ikuti darah pada saat yang sama mulai mengucur deras.

Alhasil, berselang beberapa jam kemudian saya dilarikan ke kos-kosan oleh seorang kawan. Setelah itu, di bawa ke rumah sakit.

Apa efeknya setelah itu ? Hampir sebulan penuh, saya tidak bisa menjalani aktivitas perkuliahan normal seperti mahasiswa lainnya. Beristirahat panjang di kos, sembari merenungi nasib. Mengapalah, saya bisa seperti ini ? Singkatnya, itu semua pilihan atas resiko yang harus diterima ketika menjadi aktivis sosial.

Selanjutnya, di waktu yang sama kita sempat melaporkan kejadian diskriminatif ini ke Polda DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta). Namun, fikiran tetap saja ingin berasumsi perbesar hati nurani dan kebaikan.

Menimbang dan mengingat pelaku pemukulan memiliki anak maupun istri alias keluarganya. Pada akhirnya, kami bersepakat mengurungkan niatnya menuntut keadilan atas kejadian diskriminatif tersebut.

Melalui, menarik kembali laporan BAP yang diadukan di Polda DIY. Pertimbangannya, berdamai itu lebih baik nan indah. Asalkan, apapun jenis suara aspirasi jangan di bungkam. Serta, bila pola-fikir kritis berkeluh-kesah ? Sekiranya, segera di dengar dan dipertimbangkan.

Alhasil, atas beberapa rentetan peristiwa mulai memantik saya untuk menjadi aktivis yang utuh dalam gerakan mahasiswa. Meski, pernah beberapa kali mengalami pendarahan hebat, koma dan trauma.

Selanjutnya, berbagai rentetan persoalan juga pernah saya dampingi bersama kawan-kawan lainnya di komunitas tersebut. Bermula mengadvokasi petani, anak-anak marjinal, pekerja pabrik dan persoalan lainnya.

Prinsipnya, pendampingan masyarakat merupakan perihal prioritas ketika saya memilih jalan berliku menjadi aktivis sosial. Puncaknya, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) beberapa tahun lalu (2012) di Istana Merdeka (Jakarta).

Saya, bersama kawan 53 (Lima Puluh Tiga) Mahasiswa lainnya tergabung dalam Konsolidasi Mahasiswa Nasional Indonesia (KONAMI). Berinisiatif, untuk melakukan aksi demontrasi. Namun, nasib berkata malang semuanya di tahan selama 3 (tiga) hari sel tahanan sementara. Meskipun, hanya sebatas tersangka tapi tidak sampai ke tahap narapidana.

Akhir cerita, tepatnya 28 Mei 2016 saya dinyatakan lulus tanpa syarat dari kampus. Serta, di bulan berikutnya sesuai harapan toga dan wisuda bukan sebuah mimpi. Setelah, bekerja cukup lama menyelesaikan istilah skripsi nuansanya kedaulatan rakyat; “Perubahan Sosial dan Konflik Komunitas Agama di Kabupaten Kulonprogo (Studi Kasus Komunitas Agama di Kecamatan Temon).”

Akhir perjalanan, saya sebagai aktivis mahasiswa bukan berarti menyatakan berhenti menjadi aktivis sosial.

Singkat cerita, di suatu pagi. “Mas, izin pamit.” Ucapku, “Mau kemana son ?” Sahut, mas agus. “Iya, mau pulang ke sumatera di Riau rumahku.” Jawabku, “Kok, secepat itu kamu ingin pulang ke kampung halaman,” Pertanyaan, mas agus. “Rindu, masakan mama mas.”

Akhir, kalimat di sebuah paragraf. Pengalaman, itulah aku dan faktanya tulus ikhlas melakukan hal-hal positif untuk bangsa maupun negara. Berawal mulai membaca, mencoba menganalisa dan menulisnya dalam berbagai bentuk cerita.

Sedikit catatan bagi kawan tersebar di seluruh negeri. Semoga, konco sedulur kabeh di anugerahi sehat walafiat. Mengabadikan diri terhadap apa yang pernah menjadi tunjuk ajar, bumi manusia Indonesia bagiku jalan berliku.

Bukankah, menjadi aktivis sosial sesuatu pekerjaan berat dilakukan ? Berkat, kegigihan penempaan cukup lama dalam realitas sosial. Alhasil, beberapa diantara kawan telah mampu dengan cermat melewati fase itu.

Selanjutnya, bermetamorfosa suatu bahtera kehidupan lebih baik. Ada yang menjadi seorang jaksa, pengacara, pengusaha, karyawan swasta, abdi negara dan bestatus pejabat lainnya.

Kesimpulannya, jalan berliku menjadi aktivis sosial bukan sesuatu yang menakutkan teruntuk mahasiswa kekinian. Melainkan, jalan wajib di tempuh pondasi pribadi estafet sebuah bangsa dalam memiliki identitas kejujuran yang kuat, keberanian berkata cinta seadil-adilnya dan kesetiaan teruji versi tatanan sosial.

Renungan sebuah kantor, “Tur, apa motivasimu bisa duduk di sebuah kursi bagiku terkadang terlihat dingin. Akan tetapi, ada masanya bersifat aura panas.” Tanyaku, saat kita bertemu. Jawabnya, “Bukankah, gerombolan semut bergotong-royong dalam mempertahankan hidup. Sebaliknya, kita bicara soal mempertahankan bangsa ini harus tetap hidup sembari menyelam dan meneguk air. Tapi, ingat eks aktivis sosial. Jangan, pernah bermain-main dalam sebuah mandat (UUD 1945, Kedaulatan Rakyat).”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun