Padahal lingkungan adalah faktor penting dalam mendukung kesejahteraan masyarakat. Keberadaan Sungai Cikantor sangat penting dalam menunjang kehidupan khususnya ketersediaan sumber daya air bagi masyarakat sekitar.
Keadaan tersebut menjadi landasan merevitalisasi keberadaan sanksi pidana terhadap penjahat lingkungan hidup. Fungsi penjatuhan sanksi pidana yang antara lain yakni, sebagai pembalasan, prevensi khusus, dan prevensi khusus merupakan langkah paling efektif dalam menindak penjahat lingkungan. Keberadaan pemidanaan menjadi langkah terakhir (ultimum remedium) melindungi masyarakat dari ketidakberdayaan pemerintah terkait dalam melaksanakan wewenang hukum administrasinya.
Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan penegakan hukum yaitu faktor perundang-undangannya sendiri (substansi hukum), faktor penegak hukum termasuk kelembagaannya (struktur hukum) dan faktor kesadaran hukum masyarakat (kultur hukum).
Tindak Pidana Kejahatan Lingkungan telah diatur dengan komprehensif di UUPPLH. Namun apabila tidak ditindaklanjuti dengan upaya penegakan hukum, maka sanksi pidana yang tercantum dalam UUPPLH hanyalah sia-sia belaka. Akibatnya, UUPPLH sebagai dokumen kertas biasa tidak akan mampu berdaya guna dalam mewujudkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi masyarakat.
Ketika dugaan terjadinya Tindak Pidana Kejahatan Lingkungan pencemaran sungai Cikantor semakin kuat, maka aparat penegak hukum telah dapat mendayagunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan sebagaimana yang diatur dalam UUPPLH serta PUU lainnya (Acara Pidana).
Persoalannya adalah, seberapa jauh tugas pemeriksaan perkara dilaksanakan seperti harapan banyak pihak ditujukan terhadap bekerjanya aparatur penegak hukum, mampu atau tidak memberikan perlindungan terhadap masyarakat, karena kecenderungan yang selama ini muncul adalah bahwa peradilan pidana lebih bersifat formal administratif/birokratis.
Keyataanya, sampai saat ini hasil penelitian yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terkait mengenai kondisi air Sungai Cikantor belum membuahkan hasil. Akibatnya, jangankan proses penyidikan diiringi penetapan tersangka penyebab pencemaran, aparat terkait cenderung berputar-putar mengenai ada tidaknya keberadaan unsur pidana dalam peristiwa tersebut.
Lambatnya kinerja aparat penegak hukum terkait patut dipertanyakan profesionalismenya. Padahal dengan kemampuan dan kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum terkait, tentunya tidaklah sulit untuk membuktikan, : Apakah telah terjadi pencemaran yang telah melewati baku mutu air Sungai Cikantor?.
Aparat penegak hukum, baik kepolisian serta KLH dan Bapedalda harus didorong dan diawasi agar menyelesaikan proses penegakan hukum pidana lingkungan Sungai Cikantor dengan professional, transparan, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan. Keberadaan kesadaran hukum masyarakat Lampung pada khususnya diharapkan mampu mencermati, mengawasi, dan menilai kinerja penegakan hukum kasus pencemaran sungai Cikantor.
Dengan begitu maka kecurangan dan atau tindakan "main mata" dalam panggung penegakan hukum dapat teridentifikasi serta ditindak. Kesadaran hukum seluruh stakeholders sebagaimana dimaksud, adalah jaminan agar peristiwa Cikantor yang menimbulkan korban keracunan serta kerugian serius terhadap lingkungan tidak terjadi kembali.
Perlu diingatkan bahwa, dalam kasus kejahatan lingkungan sebagaimana diatur UUPPLH (Pencemaran Sungai Cikantor) maka upaya administrasi dan/ atau adanya penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidaklah dapat meniadakan tanggung jawab aparat terkait untuk menegakkan ketentuan hukum pidana Lingkungan.