Apabila peristiwa pencemaran sungai cikantor yang telah melewati ambang batas baku mutu air tersebut terbukti, maka dapatlah dikategorikan sebagai Tindak Pidana Kejahatan Lingkungan.
Lebih lanjut, apabila perbuatan tersebut dilakukan "dengan sengaja" (bukan kelalaian) serta mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dan/ atau bahkan menimbulkan korban jiwa maka ancaman pidana yang dijatuhkan akan lebih berat.
Alternatif lain untuk dapat mengidentifikasikan terjadi tindak pidana kejahatan lingkungan adalah melalui ketentuan kewajiban pengelolaan limbah B3. Ketentuan ini didasarkan adanya dugaan bahwa, penyebab pencemaran adalah limbah Sianida.
Konvensi Basel (1992) yang telah diratifikasi oleh sekitar 155 negara, termasuk Indonesia (Kepres 61/1993), mengkategorikan Sianida (organic sianid) sebagai limbah yang membahayakan kesehatan dan kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lainnya.
Lazimnya, Sianida digunakan di pertambangan. Sianida berfungsi untuk memisahkan kandungan emas dari material lainnya, sehingga unsur emas murni di dapatkan. Ironisnya, pada beberapa kasus pencemaran, limbah Sianida inilah yang langsung dibuang ke lingkungan hidup tanpa proses pengolahan dan nantinya membahayakan bagi manusia serta mahluk hidup lainnya.
Apabila aparat penegak hukum tidak mampu memastikan terlewatinya baku mutu air Sungai Cikantor, maka alternatif lain untuk mengidentifikasi terjadinya tindak pidana kejahatan lingkungan dapat didasarkan pada ketentuan pelanggaran pengelolaan limbah B3 (sianida).
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 59 dan Pasal 103 UUPPLH, yang dapat diartikan bahwa, "Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan Limbah B3 sesuai ketentuan Peraturan Perundang-Undangan (PUU) yang berlaku, ... diancam Pidana".
Unsur yang harus dibuktikan adalah : apakah terjadi pembuangan limbah B3 yang tidak sesuai ketentuan PUU, baik berbentuk cair maupun padat (karung-karung pasir), di sekitar daerah aliran Sungai Cikantor?
Penegakan Hukum Pidana Lingkungan
Meningkatnya kesadaran lingkungan hidup di Indonesia ternyata belum mampu membuat seluruh stake holders terkait bertindak ramah lingkungan. Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa penjahat lingkungan bertindak semakin profesional, terorganisir, dan lebih mengutamakan kepentingan ekonomi sehingga berdampak sangat buruk terhadap kelestarian lingkungan hidup di Indonesia.
Ketidakmampuan, keengganan, dan/ atau bahkan keturut-sertaan pemerintah terkait dalam melaksanakan wewenang administrasi yang dimiliki, semakin melanggengkan langkah penjahat lingkungan untuk mengeruk keuntungan pribadi dengan mengorbankan kepentingan lingkungan.