Mohon tunggu...
Al Haura Millani
Al Haura Millani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Seorang mahasiswi di prodi hukum tata negara, menyukai isu isu hukum dalam masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gender dan Politik : Analisis Hambatan Perempuan dalam Partisipasi Politik Indonesia

16 Desember 2024   12:15 Diperbarui: 16 Desember 2024   12:46 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penulis : Al Haura Millani dan Fahmi Hardiyanti

Dosen : Dr. Beni Ahmad Saebani, M.Si.

Mahasiswa Hukum Tata Negara, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Teori Gender

Teori gender adalah studi tentang perilaku maskulin, feminin, dan queer dalam konteks tertentu. Gender adalah sifat dan perilaku yang dikonstruksi secara sosial dan budaya yang melekat pada laki-laki dan perempuan. Gender dapat berbeda-beda antara kelompok masyarakat dan dapat berubah seiring waktu. Terbentuknya perbedaan gender dapat disebabkan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, bahkan dikontruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan ataupun negara. Sedangkan seks merupakan pemberian Tuhan sejak manusia lahir, ini berkaitan dengan aspek biologis.

Setiadi dan Kolip menyoroti bahwa gender didefinisikan oleh perbedaan budaya yang memberikan nilai yang berbeda pada peran laki-laki dan perempuan. Dalam kerangka ini, laki-laki biasanya memiliki posisi yang lebih terhormat, sementara perempuan sering kali ditempatkan pada status yang lebih rendah, yang menggambarkan adanya diskriminasi gender. Mereka berpendapat bahwa di Indonesia, dinamika gender dibentuk oleh faktor-faktor kontekstual yang spesifik, termasuk dimensi spasial dan temporal serta praktik-praktik budaya yang berlaku di berbagai daerah.

Lebih lanjut, Nugroho menegaskan bahwa diskriminasi gender tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang, tetapi juga merupakan masalah yang signifikan di negara-negara maju. Ia mengutip analisis Veanello tentang konteks Eropa, yang menggarisbawahi pandangan masyarakat yang telah mengakar tentang perbedaan gender dan nilai-nilai hirarkis yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan. Veanello mengamati bahwa mempertahankan perspektif yang terbagi berdasarkan gender melanggengkan ketidaksetaraan, yang sering kali menggambarkan perempuan sebagai sosok yang emosional dan mengayomi, sementara laki-laki digambarkan sebagai sosok yang rasional dan kuat.

Meskipun perbedaan gender itu sendiri mungkin tidak bermasalah, namun sering kali hal ini menyebabkan ketidaksetaraan substansial yang berdampak buruk pada kedua jenis kelamin. Perbedaan dalam bagaimana pria dan wanita dipandang dan dihargai di dalam masyarakat terus menimbulkan tantangan yang membutuhkan pemeriksaan dan tindakan kritis.

Pengertian Kesetaraan dan Keadilan Gender

Kesetaraan gender berarti kaum perempuan dan laki-laki diberikan dan mendapatkan kesamaan hak-hak kehidupann yang sama, tanpa diskriminasi. Baik perempuan dan laki-laki dapat berkecimpung dalam berbagai bidang dan kegiatan dalam kehidupan, seperti  berpartisipasi dalam politik, pemerintahan, hukum, mendapat pendidikan, ekonomi, sosial pertahanan, keamanan dan sebagainya. Kesetaraan gender juga mengatur bahwa diantara kedua gender ini tidak dibenarkan adanya diskriminasi dalam hal apapun.

Keadilan gender mencakup memastikan perlakuan yang adil dan layak bagi individu dari semua jenis kelamin, yang bertujuan untuk menghilangkan norma-norma masyarakat yang memaksakan peran yang kaku. Keadilan gender berusaha untuk menghapus beban ganda yang sering dihadapi oleh individu dan memerangi subordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan terhadap siapa pun, tanpa memandang jenis kelamin. Mencapai kesetaraan gender berarti menciptakan lanskap masyarakat yang bebas dari diskriminasi, ketidakadilan, dan perlakuan yang tidak setara berdasarkan gender. Baik laki-laki maupun perempuan harus menikmati hak dan kesempatan yang sama, yang memungkinkan mereka untuk terlibat secara penuh dan setara dalam semua aspek kehidupan sosial, politik, dan ekonomi.

Patriarki adalah sebuah konsep yang mengacu pada sistem di mana laki-laki memegang dominasi atas perempuan. Dalam definisi yang lebih luas, patriarki diartikan sebagai pelembagaan dominasi laki-laki dalam masyarakat, yang beroperasi melalui berbagai mekanisme sosial dan ideologis.

Teori Politik

Aristoteles memandang politik sebagai upaya mendasar bagi warga negara untuk mencari kebaikan bersama, yang secara intrinsik terkait dengan kebahagiaan atau eudaimonia. Ia menganggapnya sebagai bentuk pengetahuan tertinggi karena berkaitan dengan tujuan akhir keberadaan manusia (DeMarco et al., 2021). Sebaliknya, Carl Schmitt mendefinisikan politik melalui lensa konflik, dengan menekankan dikotomi antara kawan dan lawan. Ia berpendapat bahwa hubungan politik ditentukan oleh aliansi dan persaingan (Mustanir et al., 2023).

Perspektif keilmuan yang berbeda ini menggambarkan bahwa politik adalah konsep yang kompleks dan berlapis, mencakup dinamika kekuasaan, struktur otoritas, distribusi sumber daya, proses pengambilan keputusan, dan keterlibatan masyarakat. Meskipun setiap ahli teori memberikan sudut pandang yang berbeda, mereka secara kolektif menggarisbawahi pentingnya politik sebagai aspek integral dari kehidupan sosial, yang membentuk interaksi dan hubungan baik dalam konteks masyarakat maupun nasional.

Memahami berbagai interpretasi ini memperdalam pemahaman kita tentang lanskap politik, meningkatkan kerangka kerja analitis kita untuk memeriksa peristiwa-peristiwa politik dalam berbagai situasi. Pemahaman tentang sifat politik yang rumit ini memungkinkan pendekatan yang lebih bernuansa terhadap fenomena politik saat ini dan masa lalu.

Peran Perempuan dalam Politik Masa Rasulullah SAW dan Khulafa' Urasyidin

Kesamaan dan kesetaraan merupakan salah satu prinsip utama dalam Islam. Diutusnya Nabi Muhammad SAW salah satu tujuannya adalah untuk mengangkat derajat kaum perempuan. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah masa jahiliyah, mereka menganggap perempuan adalah makhluk lemah sehingga kelahiran mereka merupakan aib, konsekuensinya adalah mereka akan segera mengubur anak-anak perempuannya dalam keadaan hidup. Ini merupakan kebiasaan kaum Arab yang sangat jahiliyah. Lalu Nabi Muhammad datang dan membawa nilai-nilai serta ajaran untuk memuliakan kaum perempuan. Islam mengajarkan persamaan dan kesetaraan bagi kaum laki-laki dan perempuan, antara bangsa satu dengan lainnya, ras, suku dan sebagainya. Bahkan Islam pun menghapus sistem perbudakan. Sehingga tidak ada manusia yang boleh merendahkan atau meninggikan satu sama lain, sebab yang membuat seseorang berbeda di mata Allah hanyalah iman dan ketaqwaanya.

Dalam surat al hujurat ayat 13 Allah SWT berfirman :

Artinya : "Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti"

Dalam buku Women in Islam: A Discourse in Rights and Obligations, Fatima Umar Nasif membagi hak-hak perempuan menjadi empat bagian, yaitu: 1) hak-hak sosial, 2) hak-hak keagamaan, 3) hak-hak politik, dan 4) hak-hak ekonomi.  Dalam bidang sosial, kaum perempuan dapat melakukan peran mereka dengan leluasa. Yang dimaksud hak-hak sosial di sini adalah hak-hak kaum perempuan untuk melaksanakan berbagai aktivitas, pekerjaan, dan profesi yang bermanfaat bagi masyarakatnya, baik dalam aspek duniawi maupun ukhrawi . Dengan begitu, Islam memperbolehkan perempuan untuk terlibat dalam politik seperti memberikan hak suara dan menyampaikan pendapat. Islam tidak pernah melarang perempuan untuk aktif dalam bidang politik. Karena itu, pada masa Nabi Saw. kaum perempuan juga ikut terlibat dalam berbagai aktivitas publik atau politik. Di antara aktivitas politik yang dilakukan perempuan pada masa Nabi Saw. Diantara peran-peran perempuan dalam aktifitas politik seperti yang diceritakan dalam hadis di antaranya adalah: 1) ikut berhijrah ke Habasyah bersama Nabi dan kaum laki-laki, 2) ikut hijrah ke Madinah bersama Nabi dan kaum laki-laki, 3) berbaiat dengan Nabi Saw. seperti yang ditegaskan dalam QS. al-Mumtahanah ayat 12, 4) ikut peduli terhadap masa depan politik negara yang menganut sistem kekhalifahan, dan 5) ikut menghadapi kezaliman salah seorang penguasa.

Lalu pada masa khulafa'urasyidin perempuan juga turut mengambil peran, salah satunya dalam perang Riddah (perang untuk memerangi orang-orang murtad). Diantaraya adalah membasmi Nabi palsu, salah satu tokoh terkenalnya adalah Musailamah al Kazzab, perempuan-perempuan yang ikut andil dalam aksi memberangus Musailamah adalah Ummu Amarah, Nusaibah binti Ka'ab, perempuan yang berangkat ke Yamamah bersama kaum Muslimin. Kemudian dalam sejarah perjalanan politik masa khulafa'urasyidin, para ummahatul muslimin juga terjun dalam kebijakan-kebijakan politis, salah satu yang banyak disebut dalam sejarah adalah Siti Aisyah RA.

Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa perempuan sudah banyak berkontribusi dan berperan dalam politik dan urusan keagamaan sejak masa Rasulullah SAW. Perempuan-perempuan pada masa itu mengajarkan pada kita untuk peka dan perhatian terhadap masalah-masalah di sekitar kita, terutama masalah agama dan negara. Kaum perempuan seharusnya tidak bersifat apatis dan turur serta menyuarakan dan memperjuangkan kebenaran. Seperti kita ketahui saat ini, sudah ada banyak sekali tokoh-tokoh perempuan yang berjuang dan kemudian jasa-jasanya memberikan banyak sekali dampak pada kehidupan sosial kita saat ini. Melihat kondisi Indonesia saat ini yang dipenuhi fenomena dan masalah-masalah yang sangat beragam dan dinamis, dan banyak permasalahan-permasalahan mengenai perempuan yang belum mendapatkan hak dan keadilannya. Dengan ini dirasa perlulah pengembalian semangat dan kontribusi kaum perempuan seperti pada masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafa'Urrasyidin.

Pembahasan

Partisipasi perempuan Indonesia di Parlemen masih sangat rendah. Menurut data Bank Dunia 2019, Indonesia menduduki peringkat ketujuh di Asia Tenggara dalam hal keterwakilan perempuan di Parlemen. Rendahnya keterwakilan perempuan di Parlemen telah mempengaruhi kebijakan kesetaraan gender dan gagal mengatasi permasalahan utama yang dihadapi perempuan. Membahas peran perempuan dalam politik juga penting untuk mengidentifikasi dan mengatasi ketidaksetaraan gender yang masih ada. Meskipun ada kemajuan, partisipasi perempuan dalam politik Indonesia masih di bawah 30%, jauh dari target kuota 30% yang ditetapkan oleh pemerintah. Ini menunjukkan adanya hambatan struktural dan budaya yang perlu diatasi untuk mencapai kesetaraan. Dalam uraian ini, penulis akan mengeksplorasi berbagai bentuk partisipasi politik yang dapat dilakukan perempuan selama ini, sulitnya mencapai keterwakilan perempuan di ranah politik, serta tantangan perempuan dalam ranah politik.

Berikut ini ini adalah tabel yang menunjukkan data mengenai presentase keterlibatan laki-laki dan perempuan dalam politik di Indonesia selama ini.

Tahun

% Perempuan

% Laki-laki

1999

9%

91%

2004

11,09%

88,9%

2009

18,03%

81,97%

2014

17,3%

82,7%

2019

20,5%

79,5%

2024

22,1%

77,9%

              Sumber: www.kpu.go.id

Kebijakan positif terhadap perempuan di dunia politik sebenarnya sudah mencapai tingkat yang cukup progresif. Pasca diundangkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 dan UU Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pemilu DPR, DPR, dan DPRD, partai politik peserta pemilu wajib menjamin keterwakilan perempuan minimal 30%. Kebijakan ini juga telah banyak mengalami penyempurnaan, seperti RUU Paket Politik Pemilu 2009 (UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan dan Penyelenggaraan Pemilu, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan UU No. 10. Tahun 2008 tentang Pemilu). DPR, DPD, dan DPRD).

Namun, meskipun kebijakan-kebijakan yang obyektif telah dilaksanakan dan disosialisasikan kepada masyarakat, kebijakan-kebijakan tersebut masih belum dapat mencapai rasio ideal minimum laki-laki/perempuan sebesar 70:30. Selain itu, partisipasi perempuan meningkat 100% dari tahun 1999 hingga 2014. Namun jika kita perhatikan. Jika dilihat dari jumlah wakil terpilih pada tahun 2014 dan 2019, persentase kursi yang diraih partai politik masih belum mencapai ideal. alasan. Tentu saja upaya peningkatan partisipasi perempuan juga dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang terus disempurnakan oleh lembaga legislatif. Kebijakan ini menunjukkan keseriusan dan mengkomunikasikan secara terbuka bahwa ideologi seksis dan rendahnya keterwakilan perempuan sebenarnya merupakan permasalahan yang ingin diselesaikan oleh DPR RI, bukan suatu nilai yang ingin dipertahankan pada tingkat sistemis, institusional, atau kemasyarakatan tingkat budaya

Terkait dengan beberapa permasalahan di atas, tantangan peningkatan kemampuan perempuan untuk terpilih menjadi anggota parlemen sangatlah kompleks dan dipengaruhi oleh banyak aspek. Untuk memahami tantangan dan permasalahan perempuan dalam politik, setidaknya ada empat hal yang bisa dikaji secara mendalam. Keempat unsur tersebut merupakan permasalahan yang tidak dapat dipisahkan, saling bergantung dan saling mempengaruhi. Empat permasalahan yang juga menjadi tantangan yang perlu diatasi melalui pendidikan politik bagi politisi kaukus perempuan adalah:

1. orientasi seksual penilaian yang salah kaprah dan subordinasi perempuan dalam isu-isu legislatif Isu-isu pelarangan Marjinalisasi sosial dan pengkhianatan sosial terus menerus menjadi tema yang menggelitik dalam setiap pemikiran dan keprihatinan. konsep-konsep masyarakat saat ini dan di masa depan. Hal ini sering kali terjadi ketika kelompok-kelompok perempuan bertemu. Sejarah tentang bentuk buruk ini juga telah memunculkan banyak hipotesis dan investigasi sosial yang masih berdampak pada susunan kerangka sosial dalam masyarakat, salah satunya adalah masalah bentuk buruk dalam hubungan seks, yang pada pergeseran normal. klaim-klaim yang direkam oleh para peneliti sosial.

Pada kenyataannya, perbedaan jenis kelamin tidak akan menjadi masalah seandainya tidak menimbulkan kesenjangan jenis kelamin, namun yang menjadi masalah adalah perbedaan jenis kelamin menimbulkan masalah yang kompleks dimana laki-laki dan perempuan menjadi korban dari kerangka kerja dan struktur yang tidak dapat dibenarkan. Bentuk ketidakadilan jenis kelamin ini muncul dalam berbagai bentuk, terutama dalam bentuk marjinalisasi/kemiskinan finansial, subordinasi atau anggapan bahwa perempuan tidak penting dalam pengambilan keputusan politik, pengaturan generalisasi atau penamaan negatif, kebiadaban, beban kerja yang semakin berat, dan sosialisasi ideologi. Tanda-tanda bentuk buruk ini tidak dapat dibedakan, melarang dan secara argumentatif saling mempengaruhi satu sama lain. Tidak ada ungkapan yang lebih penting atau lebih esensial. Sebagai ilustrasi, ada anggapan bahwa pemiskinan finansial wanita lebih penting dan krusial dan harus diperhatikan sejak awal. Ekspresi orientasi seksual menimbulkan ketergantungan pada wanita, terutama karena sifat alamiah wanita yang tidak dapat dicabut. Kecurigaan bahwa perempuan tidak masuk akal dan tidak berdaya menyebabkan mereka tidak dapat berkembang sebagai pionir, sehingga pada akhirnya perempuan jarang sekali dapat tampil di divisi terbuka dan menjadi anggota parlemen atau terlibat dalam posisi-posisi penting di partai politik atau isu-isu legislatif formal lainnya.

2. Posisi subordinat perempuan dalam politik berakar kuat pada budaya politik patriarki yang mempengaruhi proses politik itu sendiri. Konsep ini sejalan dengan pernyataan Muhaimin bahwa budaya politik sebagian besar berkisar pada imajinasi dan emosi individu, yang membentuk landasan bagi tindakan mereka. Dalam lanskap sosiokultural Indonesia yang beragam, sistem politik sangat dipengaruhi oleh kehadiran militer yang kuat, yang sering kali mewujudkan pendekatan maskulin yang merasuk ke dalam budaya dan etika politik formal. Paradigma sosial dan politik yang berlaku ini dicirikan oleh gaya hidup yang didominasi oleh laki-laki, di mana laki-laki menetapkan norma-norma politik berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip mereka sendiri.

Dinamika hubungan patron-klien semakin memperparah masalah ini, memperkuat dominasi laki-laki sekaligus meminggirkan peran perempuan dalam politik. Dalam struktur keluarga, misalnya, ayah biasanya menempati posisi yang paling berpengaruh, sementara ibu tidak memiliki otoritas yang signifikan dalam proses pengambilan keputusan. Pengangkatan status sosial para ayah sangat kontras dengan peran terbatas namun "sah" yang sering kali dimainkan oleh para ibu. Melalui dinamika sosial ini, hubungan kekeluargaan berfungsi sebagai fondasi sekaligus cerminan dari hubungan politik, seperti yang disoroti oleh Muhaimin (2008). Saling pengaruh antara faktor sosial dan politik ini pada akhirnya berkontribusi pada marjinalisasi perempuan yang terus berlanjut dalam arena politik.

3. Hambatan yang bersifat individual. Sejak awal, perempuan dibesarkan dan dikondisikan untuk merasa tidak percaya diri dan canggung dalam isu-isu legislatif. Hal ini membuat perempuan merasa tidak yakin dan tidak tertarik dengan isu-isu legislatif. Perhitungan lainnya adalah tingkat pendidikan perempuan yang rendah dan kebutuhan perempuan untuk mendapatkan data dan inovasi, termasuk pemahaman tentang kerangka kerja politik.

4. Peraturan dan Batasan Dasar Sikap jantan dalam kerangka kerja politik kita, dengan hak pilih yang tidak adil dan aktivitas positif tanpa arahan atau sanksi khusus gender, menekan dukungan dinamis perempuan dalam isu-isu legislatif dan lingkaran terbuka. Biasanya merupakan batasan untuk bekerja sama. Sebagai contoh, kerangka kerja pengajaran nasional tidak memberikan data yang cukup tentang pengajaran yang setara gender, sebagaimana dibuktikan dengan banyaknya jumlah bacaan khusus gender yang dapat diakses oleh anak-anak sekolah. Kerangka kerja pengaturan kemajuan yang bias gender dari atas ke bawah dan perlunya pemahaman tentang masalah orientasi seksual oleh otoritas pemerintah dan para pembuat pendekatan di tingkat pusat dan lingkungan. Memajukan kualitas pemerintahan yang demokratis membutuhkan peningkatan perwakilan perempuan dalam majelis untuk membentuk pendekatan yang lebih berpusat pada kesepakatan dan kesetaraan jenis kelamin.

Pelaksanaan UU No. 8/2012 masih menimbulkan masalah di beberapa tingkatan; pertama-tama, pada tingkat substansi, undang-undang ini tidak secara tegas mengatakan adanya sanksi bagi partai politik yang tidak memenuhi kuota 30% perempuan dalam daftar calegnya, yang seolah-olah mengesahkan adalah pemuatan partai politik yang gagal memenuhi standar di media massa. Namun, dikhawatirkan sanksi ini tidak akan mampu membentuk dampak penghalang ketika pemungutan suara terbuka tidak menganggap kekecewaan tersebut sebagai masalah. Di sisi lain, pengesahan ini tidak berdampak pada penguatan komitmen partai politik untuk memenuhi porsi 30%. Selain itu, di tingkat partai masih banyak partai politik yang kesulitan untuk memenuhi standar 30% perempuan dalam daftar calon anggota legislatif (caleg), setidaknya ada 10 partai yang mampu memenuhi 27%. Partai politik lainnya melakukan pelanggaran dengan membuat daftar caleg yang tidak sesuai dengan sistem zipper yang disyaratkan oleh UU Pemilu. Ketiga, di tingkat perempuan, masih banyak kandidat perempuan yang tidak layak terkait dengan persyaratan peraturan, banyak perempuan yang tidak memiliki dukungan massa, kemampuan terkait uang, dan pertemuan politik yang kurang (UNDP, 2010).

Selain beberapa hambatan yang telah disebutkan di atas, ada hal penting juga yang sebenarnya dapat menjadi alasan perempuan tidak ingin atau tidak dapat berkecimpung dalam politik, yakni persepsi masyarakat terhadap pemimpin perempuan. Persepsi ini tentunya dibentuk dan dipengaruhi oleh sosial budaya juga psikologis masyarakat. Berdasarkan penelitian ditunjukan bahwa pandangan masyarakat terutama kaum laki-laki seringkali disetir oleh stereotip tradisional, norma sosial serta pengalaman pribadi.

Stereotip tradisional menggambarkan perempuan sebagai makhluk lemah, kurang kompeten, emosional sehingga tidak memiliki jiwa kepemimpinan seperti laki-laki. Perempuan dinilai tidak bisa mengutamakan akal dibanding perasaan dalam mengambil keputusan. Kemudian oleh norma sosial masyarakat, tertanam bahwa sejatinya pemimpin itu adalah laki-laki. Sehingga perempuan yang memiliki ambisi untuk berpolitik menjadi khawatir dan ragu akan penolakan dari masyarakat.

Terdapat juga bias yang terselubung, penelitian menunjukkan bahwa penilaian masyarakat terhadap politisi atau pemimpin perempuan lebih kritis dari pada terhadap pemimpin laki-laki. Meskipun mereka memiliki kualifikasi yang sama, masyarakat akan lebih mudah mengkritik kebijakan-kebijakan dan perbuatan pemimpin perempuan, bias ini juga dapat terlihat dalam aspek penampilan, gaya kepemimpinan dan sebagainya. Ini juga relevan dengan persepsi masyarakat mengenai bagaimana pemimpin harus berperilaku, dalam konteks kepemimpinan seperti sikap tegas, agresivitas dan keberanian bagi laki-laki akan terlihat positif namaun untuk perempuan seringkali dilabeli sebagai "tidak feminin" atau agresif sehingga memengaruhi reputasi mereka.

Beberapa faktor ini menambah alasan bagi kaum perempuan untuk unjuk diri dan terjun terjun dalam aktivitas politik. Strategi yang sangat harus diusahakan adalah strategi advokasi pada masyarakat umum. Advokasi bagaimana sebenarnya secara hak, perempuan telah merdeka untuk melakukan apaun yang mereka inginkan. Strategi advokat untuk mendukung dan menyuarakan kepemimpinan perempuan. Mengadakan kampanye untuk mengenalkan pada masyarakat mengenai persamaan hak, kesetaraan kesempatan, kemudian mengenalkan masyarakat pada tokoh-tokoh perempuan dalam politik yang kepemimpinannya membawa jasa yang bermakna dan bernilai bagi masyarakat sekitarnya. Dengan begitu harapannya masyarakat seminimalnya tidak menolak atau memandang rendah pada perempuan-perempuan hebat yang ingin menjadi perwakilan masyarakat dan ingin memimpin untuk membawa masyarakat pada keadaan yang lebih baik.

Faktor-Faktor Pendorong Peningkatan Partisipasi Politik peremuan diantaranya yaitu :

  • Pendekatan Positif: Pelaksanaan pengaturan pembagian jenis kelamin di partai politik dan parlemen dapat menjadi tokoh utama dalam memperluas minat politik perempuan di Indonesia. Pengaturan ini memberikan kesempatan bagi perempuan untuk mengambil bagian dalam isu-isu legislatif dan mencapai posisi yang lebih tinggi. Pendidikan Seks dan Kesadaran Seks: Peningkatan pendidikan politik dan kesadaran seks di dalam masyarakat juga merupakan faktor pendorong. Program-program pendidikan yang menekankan pentingnya korespondensi seks dan peran perempuan dalam isu-isu legislatif dapat memberikan landasan yang lebih kuat bagi kepentingan politik perempuan.
  • Kembali ke Lembaga Swadaya Masyarakat: Banyak organisasi non-pemerintah yang berpusat pada penguatan perempuan dan mendukung dukungan politik perempuan. Organisasi-organisasi ini mendukung penguatan perempuan dalam isu-isu legislatif melalui persiapan, dukungan, dan pendampingan, serta memberikan tahapan-tahapan pada keinginan-keinginan tertentu.
  • Perubahan Sosial dan Sosial: Perubahan sosial dan kemasyarakatan yang lebih luas juga merupakan pendorong. Kampanye kesadaran orientasi seksual dan instruksi terbuka dapat mengubah sikap dan pandangan masyarakat terhadap perempuan dalam isu-isu legislatif dan menawarkan bantuan untuk mengatasi standar-standar patriarkis yang menghindarkan perempuan untuk mengambil bagian dalam isu-isu legislatif.
  • Pengorganisasian dan Pendampingan: Sistem dukungan yang solid dan program pendampingan menawarkan bantuan kepada para perempuan untuk saling mendukung dan mengembangkan bakat politik mereka. Memberikan nasihat dan dukungan kepada perempuan yang menghadapi pertemuan politik dapat menawarkan bantuan agar mereka merasa lebih yakin dan terdorong untuk mengambil bagian dalam isu-isu legislatif. Memperluas dukungan politik perempuan di Indonesia membutuhkan prosedur yang berhasil yang dapat dihubungkan dengan berbagai situasi politik. Langkah utamanya adalah memajukan pendidikan politik dan kesadaran politik. Perempuan harus mendapatkan pendidikan politik yang komprehensif yang mencakup informasi tentang kerangka kerja politik, hak-hak politik, dan kemampuan untuk maju. Kampanye kesadaran juga harus dilakukan untuk memperluas pemahaman tentang pentingnya kepentingan politik perempuan di kalangan masyarakat umum, termasuk di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Instruksi politik yang baik merencanakan perempuan untuk mendapatkannya dan mengawasi elemen-elemen politik dan memperkuat kepastian mereka untuk mengambil bagian. Langkah saat ini adalah bagi para perempuan untuk membuat sistem pendukung di antara rekan-rekan yang dinamis secara politis dan berbagi pertemuan, sumber daya, dan strategi. Dalam perluasan, kita juga dapat memperkuat posisi perempuan dalam isu-isu legislatif dengan bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat yang berpusat pada penguatan perempuan dan dukungan politik. Sistem dan aliansi ini sangat penting bukan hanya untuk memberikan dukungan etis dan praktis, tetapi juga untuk memberikan akses pada celah dan data yang relevan. 

Dalam melakukan ekspansi, perempuan harus memanfaatkan inovasi dan media sosial dengan baik. Media sosial dapat digunakan untuk menyebarkan data, mengumpulkan kembali, dan mengadvokasi isu-isu penting yang mempengaruhi perempuan. Media sosial juga dapat digunakan untuk mengorganisir kampanye dan mengamati perkembangan politik secara real-time. Dengan melaksanakan langkah-langkah penting ini, perempuan Indonesia dapat memperkuat partisipasi politik mereka, mengatasi batasan-batasan yang ada, dan menciptakan lingkungan politik yang lebih komprehensif dan adil. Upaya bersama ini tidak hanya akan meningkatkan keterwakilan perempuan dalam isu-isu legislatif, tetapi juga menawarkan bantuan untuk membangun pemerintahan yang lebih bermanfaat dan responsif terhadap kebutuhan semua warga negara. Memperluas dukungan politik perempuan akan membawa sudut pandang yang tidak terpakai dan pengaturan yang inventif ke dalam pembuatan kebijakan, yang pada akhirnya akan memajukan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Memperluas dukungan politik perempuan akan membawa sudut pandang modern dan inovasi dalam pembuatan kebijakan. Upaya bersama ini tidak hanya akan meningkatkan keterwakilan perempuan dalam isu-isu legislatif, tetapi juga menawarkan bantuan untuk membangun pemerintahan rakyat yang lebih bermanfaat dan responsif terhadap kebutuhan semua warga negara. Memperluas dukungan politik perempuan akan membawa sudut pandang yang tidak terpakai dan pengaturan yang inventif ke dalam pembuatan kebijakan, yang pada akhirnya akan memajukan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Referensi
Candraningrum, Dewi. 2013. Ekofeminisme; Dalam Tafsir Agama, Pendidikan, Ekonomi dan Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.

Creswell, John W. Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. California: Sage publications, 2007.

DeMarco, Tom, Peter Hruschka, Tim Lister, Steve McMenamin, James Robertson, and Suzanne Robertson. 2021. "Politik" Happy to Work Here I (2): 86--86. https://doi.org/10.3139/9783446468733.010.

Dewi, Siti Malaiha. 2009. "Orientasi Politik Perempuan Marginal." http://repository.iainkudus.ac.id/4864/1/orientasi politik perempuan marginal.pdf.

Beni Ahmad Saebani. 2007. Pengantar Ilmu Politik Islam. Bandung : Pustaka Setia.

Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Hardjaloka, L. (2012). Potret Keterwakilan Perempuan dalam Wajah Politik Indonesia Perspektif. Jurnal Konstitusi, 9(2), 404--430. https://doi.org/10.31078/jk928

Khaerunisah, Iis, M. Japar, and Suhadi Suhadi. 2018. "Budaya Politik Perempuan Pesisir: Studi Perilaku Politik Perempuan Di Kabupaten Indramayu." Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi 17 (2): 134--54. https://doi.org/10.21009/jimd.v17i2.9089.

Malaka, Mashur. 2013. "Perempuan Dalam Kancah Politik." Al-'Adl 6 (1): 60--73

Muhaimin. Menuju Kemandirian Politik Perempuan (Upaya Mengakhiri Depolitisasi Perempuan Di Indonesia). Yogyakarta: Kibar Press, 2008.

Mustanir, Ahmad, Universitas Muhammadiyah, Sidenreng Rappang, and Andi Asari. 2023. Ilmu Politik

Nugroho, Riant D. (2008). Gender dan Pengaruh Utamanya di Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Permatasari, M. (2022, July 19). Jalan Panjang Keterwakilan Perempuan dalam Politik. Https://Theyudhoyonoinstitute.Org/Jalan-Panjang-Keterwakilan-Perempuan-DalamPolitik/.

Rahmah, Syarifah. 2021. "Pendidikan Politik Bagi Perempuan." Saree: Research in Gender Studies 3 (1): 79--100. https://doi.org/10.47766/saree.v3i1.633

Setiadi, Elly M. dan Kolip, Usman. (2015). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Prenada Media.

UNDP. Partisipasi Perempuan Dalam Politik dan Pemerintahan. Jakarta: UNDP, 2010.

Yaya Mulyana Aziz dan Syarief Hidayat. 2016. Dinamika Sistem Politik Indonesia. Bandung : Pustaka Setia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun