2024
22,1%
77,9%
       Sumber: www.kpu.go.id
Kebijakan positif terhadap perempuan di dunia politik sebenarnya sudah mencapai tingkat yang cukup progresif. Pasca diundangkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 dan UU Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pemilu DPR, DPR, dan DPRD, partai politik peserta pemilu wajib menjamin keterwakilan perempuan minimal 30%. Kebijakan ini juga telah banyak mengalami penyempurnaan, seperti RUU Paket Politik Pemilu 2009 (UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan dan Penyelenggaraan Pemilu, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan UU No. 10. Tahun 2008 tentang Pemilu). DPR, DPD, dan DPRD).
Namun, meskipun kebijakan-kebijakan yang obyektif telah dilaksanakan dan disosialisasikan kepada masyarakat, kebijakan-kebijakan tersebut masih belum dapat mencapai rasio ideal minimum laki-laki/perempuan sebesar 70:30. Selain itu, partisipasi perempuan meningkat 100% dari tahun 1999 hingga 2014. Namun jika kita perhatikan. Jika dilihat dari jumlah wakil terpilih pada tahun 2014 dan 2019, persentase kursi yang diraih partai politik masih belum mencapai ideal. alasan. Tentu saja upaya peningkatan partisipasi perempuan juga dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang terus disempurnakan oleh lembaga legislatif. Kebijakan ini menunjukkan keseriusan dan mengkomunikasikan secara terbuka bahwa ideologi seksis dan rendahnya keterwakilan perempuan sebenarnya merupakan permasalahan yang ingin diselesaikan oleh DPR RI, bukan suatu nilai yang ingin dipertahankan pada tingkat sistemis, institusional, atau kemasyarakatan tingkat budaya
Terkait dengan beberapa permasalahan di atas, tantangan peningkatan kemampuan perempuan untuk terpilih menjadi anggota parlemen sangatlah kompleks dan dipengaruhi oleh banyak aspek. Untuk memahami tantangan dan permasalahan perempuan dalam politik, setidaknya ada empat hal yang bisa dikaji secara mendalam. Keempat unsur tersebut merupakan permasalahan yang tidak dapat dipisahkan, saling bergantung dan saling mempengaruhi. Empat permasalahan yang juga menjadi tantangan yang perlu diatasi melalui pendidikan politik bagi politisi kaukus perempuan adalah:
1. orientasi seksual penilaian yang salah kaprah dan subordinasi perempuan dalam isu-isu legislatif Isu-isu pelarangan Marjinalisasi sosial dan pengkhianatan sosial terus menerus menjadi tema yang menggelitik dalam setiap pemikiran dan keprihatinan. konsep-konsep masyarakat saat ini dan di masa depan. Hal ini sering kali terjadi ketika kelompok-kelompok perempuan bertemu. Sejarah tentang bentuk buruk ini juga telah memunculkan banyak hipotesis dan investigasi sosial yang masih berdampak pada susunan kerangka sosial dalam masyarakat, salah satunya adalah masalah bentuk buruk dalam hubungan seks, yang pada pergeseran normal. klaim-klaim yang direkam oleh para peneliti sosial.
Pada kenyataannya, perbedaan jenis kelamin tidak akan menjadi masalah seandainya tidak menimbulkan kesenjangan jenis kelamin, namun yang menjadi masalah adalah perbedaan jenis kelamin menimbulkan masalah yang kompleks dimana laki-laki dan perempuan menjadi korban dari kerangka kerja dan struktur yang tidak dapat dibenarkan. Bentuk ketidakadilan jenis kelamin ini muncul dalam berbagai bentuk, terutama dalam bentuk marjinalisasi/kemiskinan finansial, subordinasi atau anggapan bahwa perempuan tidak penting dalam pengambilan keputusan politik, pengaturan generalisasi atau penamaan negatif, kebiadaban, beban kerja yang semakin berat, dan sosialisasi ideologi. Tanda-tanda bentuk buruk ini tidak dapat dibedakan, melarang dan secara argumentatif saling mempengaruhi satu sama lain. Tidak ada ungkapan yang lebih penting atau lebih esensial. Sebagai ilustrasi, ada anggapan bahwa pemiskinan finansial wanita lebih penting dan krusial dan harus diperhatikan sejak awal. Ekspresi orientasi seksual menimbulkan ketergantungan pada wanita, terutama karena sifat alamiah wanita yang tidak dapat dicabut. Kecurigaan bahwa perempuan tidak masuk akal dan tidak berdaya menyebabkan mereka tidak dapat berkembang sebagai pionir, sehingga pada akhirnya perempuan jarang sekali dapat tampil di divisi terbuka dan menjadi anggota parlemen atau terlibat dalam posisi-posisi penting di partai politik atau isu-isu legislatif formal lainnya.
2. Posisi subordinat perempuan dalam politik berakar kuat pada budaya politik patriarki yang mempengaruhi proses politik itu sendiri. Konsep ini sejalan dengan pernyataan Muhaimin bahwa budaya politik sebagian besar berkisar pada imajinasi dan emosi individu, yang membentuk landasan bagi tindakan mereka. Dalam lanskap sosiokultural Indonesia yang beragam, sistem politik sangat dipengaruhi oleh kehadiran militer yang kuat, yang sering kali mewujudkan pendekatan maskulin yang merasuk ke dalam budaya dan etika politik formal. Paradigma sosial dan politik yang berlaku ini dicirikan oleh gaya hidup yang didominasi oleh laki-laki, di mana laki-laki menetapkan norma-norma politik berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip mereka sendiri.
Dinamika hubungan patron-klien semakin memperparah masalah ini, memperkuat dominasi laki-laki sekaligus meminggirkan peran perempuan dalam politik. Dalam struktur keluarga, misalnya, ayah biasanya menempati posisi yang paling berpengaruh, sementara ibu tidak memiliki otoritas yang signifikan dalam proses pengambilan keputusan. Pengangkatan status sosial para ayah sangat kontras dengan peran terbatas namun "sah" yang sering kali dimainkan oleh para ibu. Melalui dinamika sosial ini, hubungan kekeluargaan berfungsi sebagai fondasi sekaligus cerminan dari hubungan politik, seperti yang disoroti oleh Muhaimin (2008). Saling pengaruh antara faktor sosial dan politik ini pada akhirnya berkontribusi pada marjinalisasi perempuan yang terus berlanjut dalam arena politik.