"Aya naon ieu, beut meni rarame?," ungkap Bapaknya dengan nada santai.Â
"Lah biasa budak hayoh be hayang meuli kaulinan, puguh ker hararese." Jawab Ibu dengan nada kecewa.Â
"Oh... Sugan kunaon," Tandas Bapak.Â
Hal ini memang sering terjadi bagi anak yang kebetulan kondisi ekonomi Orang Tua nya belum stabil. Terlebih memang Doleh anak sulung dan itu menjadi bagian dari konsekuensinya.Â
Doleh yang terlahir dari kedua orang tua sebagai petani, nasib Bapaknya yang lulusan Sekolah Guru Olah Raga (SGO) ini memang tidak semulus temanya. Yang lain memang sudah menjadi PNS namun Ayah Doleh masih menjadi guru honor yang gaji hanya 150 ribu perbulan, tentunya itu tidak cukup hanya untuk memenuhi kebutuhan dapur.Â
Ayah PNS memang menjadi sebuah harapan besar bagi Doleh, karena ia tidak mau keinginan dalam hidupnya tersendat karena tidak punya uang. Apalagi jika temanya punya sesuatu yang diinginkan, dan ia hanya bisa melihat tanpa bisa memiliki.Â
Ia seringkali jajan ke Sekolah saja hanya 500 rupiah di tahun 2000 dimana yang lain sudah sampai 2 ribu rupiah per hari. Bukan hanya itu, tas sekolahpun harus menunggu pemberian dari kerabatnya yang sudah tidak terpakai karena bosan namun masih bisa digunakan.Â
Dianggap Ngendog Karena Tas
Saat usia menjelang tujuh tahun, ia sudah masuk syarat untuk masuk di Sekolah Dasar. Karena sebelum umur tersebut anak disarankan untuk kembali sekolah di tingkatan TK.Â
Doleh senang karena ia masuk SD dan bisa menggunakan baju putih merah layaknya anak sekolah. Belajar lebih serius dengan materi yang disampaikan oleh guru kelas dengan Pekerjaan rumah bukan hanya menggambar dan mewarnai.Â
Namun, membeli tas baru menjadi sulit karena biaya, dengan berat hati ia menggunakan tas bekasnya di TK. Lebih miris lagi tasnya bertuliskan taman kanak-kanak yang menjadi identitas bahwa anak ini masih sekolah di tingkatan TK.Â