Mohon tunggu...
Solihin Agyl
Solihin Agyl Mohon Tunggu... Editor - Penulis dan Peneliti Bahasa

Seorang Wordsmith, Reader, Interpreter, Teacher/Trainer, Explorer, dan Researcher di L-Pro Jember, Pembicara Seminar, dan Workshop Nasional-Internasional. Sering diminta melatih Academic Writing, Public Speaking, English Camp, TOEFL/IELTS Instructor, Teaching-Learning, dan PTK. HP. 081-336-4045-18 email : solihinagylemailpenting@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Memento Mori

16 Desember 2023   13:16 Diperbarui: 16 Desember 2023   13:57 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Bayangkan, 7 hari ke depan adalah hari terakhir kita di dunia ini, dan kematian akan segera menjemput. Artinya, hari--hari yang akan datang adalah perjalanan dari satu detik ke detik lainnya yang sungguh berarti dalam hidup kita. Perenungan serta diskusi personal (dialektika) seperti ini memang sudah selayaknya kita lakukan. Harapannya cuma satu: agar ibadah kita semakin bermakna (meaningful) dan berkualitas; seperti apapun itu bentuknya---baik itu ritual amal ibadah sesuai tuntunan agama ataupun perbuatan baik lainnya.

Maka, anggap saja tulisan ini sebagai nasihat buat diri kita sendiri, juga keluarga besar kita, serta kawan dan handai taulan. Bukankah kematian adalah nasihat yang terbaik? dan kita semua sudah sangat mafhum bahwa kematian adalah sepasti-pastinya fenomena alam yang (bakal) terjadi. Lalu, apa saja yang hendak Anda lakukan bila kematian Anda akan datang 7 hari dari sekarang?  

Tulisan ini adalah semacam Memento Mori: ajakan untuk mengingat hari kematian kita, baik itu yang datang secara alami maupun yang datang karena sebab lain. Dalam sejarah perjalanan hidup manusia, Memento Mori sangat bermanfaat mendorong setiap pribadi untuk menggunakan waktu yang dimiliki; di saat sekarang dan 7 hari ke depan sebaik mungkin yang bisa diupayakan sehingga semuanya menjadi sangat berkesan dan berarti.

Dengan Memento Mori, umumnya kita akan mengajukan pertanyaan yang amat jujur pada diri sendiri, misalnya: Apa yang paling berharga/bernilai dalam hidupku? Hidup seperti apa yang memuaskan bathinku atau membuat jiwaku tenang? Bagaimana aku bisa mencintai diri sendiri, keluarga, dan orang lain dengan lebih baik? Kebaikan apa yang bisa aku pikirkan, katakan, dan lakukan hari-hari ini? Pendek kata, hal-hal apa yang akan kita lakukan dalam 7 hari ini? Dengan demikian, kita pasti tidak akan menyia-nyiakan waktu yang dianugerahkan pada kita setiap hari.

Sebagai simulasi saja (mengacu pada sebuah strategi "berfokus" oleh Christina Bengtsson), bila kita memandang kematian sebagai momen/target untuk pikiran, perkataan, dan tindakan agar hidup kita bisa lebih bermakna, maka kita akan hanya memikirkan sesuatu yang paling penting dan paling substansial saja dalam sisa hidup ini.   

Dan, sejak hari ini, kita tidak akan lagi berjibaku dengan masalah yang remeh-temeh, misalnya: marah-marah saat disalip kendaraan lain dari sebelah kiri di jalan. Atau, tersinggung dengan kata-kata kotor netizen di medsos. Juga, mudah terbakar emosi dengan pasangan atau anak-anak karena perbedaan pendapat yang kecil saja.

Memento Mori memberi peringatan bahwa semua orang menjadi obyek yang sama di hadapan kematian: tak ada yang tahu kapan ajal menjemputnya. Tak seorang pun memahami siapa (akan) berumur berapa; tua, muda, miskin, kaya, terkenal atau bahkan orang yang terkucil di sudut bumi tak secuilpun memiliki info yang pasti tentang kematiannya.

Kembali pada strategi Christina Bengtsson tentang "fokus" itu, mari kita anggap kematian kita sebagai fokus/target kita. Berarti kematian dalam keadaan islam dan baik adalah "tujuan utama" kita. Selain itu, kita harus menjauhkan diri dari penghalang-penghalang yang memungkinkan kita mati dalam keadaan non-islam dan tidak baik (Na'udzubillahi Min Dzaalik). Dan, amalan-amalan baik yang akan memastikan kita mati dalam keadaan islam---dalam 7 hari ke depan---harus selalu kita lakukan dari detik ke detik. Apa saja itu?

Pertama, kita harus berpikir ulang bahwa tujuan hidup setiap orang justru mestinya dimulai dari momen kematiannya masing-masing. Maksudnya, momen kematian dan/atau kehidupan sesudah kematian dijadikan tolok ukur utama bagi manusia untuk merancang tujuan hidupnya. Bukankah tak ada yang lebih pasti dari pada kematian? Bahkan, orang yang tak percaya pada Tuhan dan agama pun amat yakin bahwa kematian pasti akan menjadi titik akhir dari kehidupan mereka.

Sialnya, banyak sekali manusia yang mendasarkan tujuan hidupnya pada sebuah keinginan saja. Padahal keinginan itu, betapa pun amat yakinnya seorang manusia pada pencapaiannya, belum pasti terjadi. Ambil contoh saja, misalnya, seseorang yang ingin menjadi pebisnis sukses. Ia memulai sebuah perencanaan bisnis yang matang: ia mulai dari menabung dan berhemat, bersekolah khusus di jurusan bisnis, selepas sekolah ia masih aktif mengikuti training dan workshop ini-itu, ia juga mencoba menjalankan bisnis kecil-kecilan dan bekerja sama dengan orang-orang yang ia percaya, kemudian ia merambah ke bisnis yang lebih besar dan serius. Apakah ia akhirnya pasti menjadi pebisnis yang sukses? Belum pasti.

Atau, bila seseorang memiliki cita-cita menjadi presiden, dan dia sudah merancang semua jalan-nya dengan penuh keyakinan untuk menuju ke cita-cita itu, apakah ia, pada akhirnya, pasti menjadi presiden? Tidak pasti juga. Apalagi, untuk menjadi seorang presiden, bukankah seseorang membutuhkan perolehan suara yang cukup dari para pemilihnya? Dan suara pemilih sama sekali tak bisa pasti ia kontrol.

Artinya, seseorang bisa saja sangat yakin dengan segala upaya untuk mencapai yang diinginkannya, tapi ia tak (pernah) menyadari bahwa dengan semua usahanya itu ia amat bergantung pada upaya orang lain untuk mewujudkannya. Belum lagi bila kita yakin bahwa semua upaya manusia akan menjadi nyata hasilnya atau bahkan tak terjadi karena ada takdir Tuhan yang ikut menentukan.

Tulisan ini bertujuan untuk mengingatkan saja bahwa setiap manusia akan menghadapi sebuah kepastian yang nyata: Kematian. Dan, mengajak untuk masing-masing merancang tujuan hidupnya justru dari titik yang paling pasti terjadi: Kematian.  

Dengan demikian, akan beda ceritanya bila kita mendasarkan tujuan hidup kita pada sesuatu yang sudah pasti terjadi. Ibarat melakukan sebuah perjalanan, kita sudah menentukan sebuah tempat tujuan yang pasti; Raja Ampat, misalnya. Maka, kita akan mempersiapkan perjalanan itu dengan sempurna: memastikan uang saku yang cukup, jadwal perjalanan yang jelas, pertimbangan yang matang atas cuaca yang mungkin buruk, perlengkapan baju yang cukup, tempat tinggal yang nyaman, dan sebagainya. Pendek kata, kita ingin memastikan bahwa perjalanan ke tempat tujuan itu aman, nyaman dan menyenangkan, bahkan bila sudah tiba di tempat tujuan itu, kita juga merasakan keamanan, kenyaman serta kesenangan yang sama, bahkan kalau perlu mendatangkan keuntungan.

Jadi, dengan kata lain, begitu kematian menjemput, kita sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita hanya bisa mengandalkan pada apa yang sudah kita lakukan sepanjang hidup kita. Sebagai manusia yang normal, tentu saja kita menginginkan untuk meninggalkan jejak yang berarti bagi anak cucu lebih lagi bagi masyarakat (umat manusia). Sepeninggal kita, tentu saja kita ingin dikenang sesuai yang kita inginkan. Maka, pada kematianlah sebenarnya kita mendasarkan harapan/cita-cita itu.

Karena kita ingin dikenang sebagaimana yang kita inginkan berarti tak ada lagi yang bisa kita lakukan selain membuat kenangan manis. Misalnya: menciptakan sebuah karya, prestasi, atau pencapaian tertentu sehingga kita bisa tersenyum saat kematian menjemput.

Bagi anak cucu kita, tentu saja karya, prestasi, dan pencapaian itu adalah sesuatu yang amat membanggakan, dan dengan begitu mereka sangat mungkin terdorong semangatnya untuk melakukan hal yang sama. Bagi masyarakat umum, mereka merasakan manfaat dari karya, prestasi, dan pencapaian kita itu secara terus-menerus bahkan sampai turun temurun. Dengan begitu, mereka akan terus mengenang jasa dan karya kita itu sepanjang masa.

Dengan demikian, kehidupan adalah sebenarnya momen emas bagi manusia untuk berlomba-lomba memacu diri masing-masing untuk menciptakan karya, jasa, atau pencapaian itu. Manusia mestinya menghimpun semangat dan energi untuk membuat anak cucunya bangga terhadap karya dan pencapaian yang diciptakannya itu. Manusia mestinya juga mengerahkan segala daya dan upayanya untuk membuat semua itu terwujud dan memberikan manfaat yang sebesar-besar bagi masyarakat (umat manusia).

Arnis Silvia memberi catatan manis tentang ini: "At the end of life, what really matters is not what we bought, but what we built; not what we got, but what we shared; not our competence, but our character; and not our success, but our significance. Live a life that matters. Live a life of love."

Dengan terjemahan bebas seperti berikut: "Pada akhirnya, yang benar-benar bernilai bukanlah apa yang kita beli, tapi apa yang kita bangun; bukan yang kita dapatkan, tapi apa yang kita bagi; bukan tentang kemampuan kita, tapi tentang karakter kita; bukan tentang kesuksesan kita, tapi tentang nilai kebermanfaatan kita. Jalani hidup yang benar-benar bernilai. Jalani hidup penuh cinta."

Kedua, kematian adalah sebenarnya titik awal dari sebuah perjalanan panjang pasca kematian itu sendiri. Setelah kematian, manusia masih akan mengalami sebuah pengalaman yang juga tak kalah pentingnya dari berbagai macam lika-liku kehidupan di dunia. Konon, pengalaman kali ini sama sekali tak melibatkan jasad kita. Ruh kita lah yang akan menjadi subyek. Tapi, di alam yang abstrak ini semua yang dilakukan oleh subyek fisik kita di dunia dituntut pertanggung-jawabannya.

Maka, pada hakikatnya, pengalaman dan kehidupan kita di alam dunia ini adalah sebenarnya ladang amal bagi kita. Jadi semua yang kita lakukan adalah sebenarnya proses kita menabung amal kita saja.

Jadi, baik kematian itu sebagai titik akhir dari sebuah kehidupan atau ia justru sebagai titik awal dari kehidupan berikutnya, semuanya adalah tantangan sekaligus memberi kesempatan pada kita untuk melakukan hal yang positif saja. Positif menciptakan karya, jasa, dan pencapaian yang memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar atau hal positif yang akan memastikan kita menikmati hak istimewa di surga karena kita sudah memiliki tabungan amal baik yang banyak.

Lebih lagi bila karya, jasa, dan pencapaian kita itu bisa mendorong/menginspirasi umat manusia untuk terus menerus melakukan hal yang baik bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakat pada umumnya. Dengan begitu, tentu saja, tabungan amal kita akan terus berjalan, berputar, dan bergulung-gulung  tak pernah berhenti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun