Artinya, seseorang bisa saja sangat yakin dengan segala upaya untuk mencapai yang diinginkannya, tapi ia tak (pernah) menyadari bahwa dengan semua usahanya itu ia amat bergantung pada upaya orang lain untuk mewujudkannya. Belum lagi bila kita yakin bahwa semua upaya manusia akan menjadi nyata hasilnya atau bahkan tak terjadi karena ada takdir Tuhan yang ikut menentukan.
Tulisan ini bertujuan untuk mengingatkan saja bahwa setiap manusia akan menghadapi sebuah kepastian yang nyata: Kematian. Dan, mengajak untuk masing-masing merancang tujuan hidupnya justru dari titik yang paling pasti terjadi: Kematian. Â
Dengan demikian, akan beda ceritanya bila kita mendasarkan tujuan hidup kita pada sesuatu yang sudah pasti terjadi. Ibarat melakukan sebuah perjalanan, kita sudah menentukan sebuah tempat tujuan yang pasti; Raja Ampat, misalnya. Maka, kita akan mempersiapkan perjalanan itu dengan sempurna: memastikan uang saku yang cukup, jadwal perjalanan yang jelas, pertimbangan yang matang atas cuaca yang mungkin buruk, perlengkapan baju yang cukup, tempat tinggal yang nyaman, dan sebagainya. Pendek kata, kita ingin memastikan bahwa perjalanan ke tempat tujuan itu aman, nyaman dan menyenangkan, bahkan bila sudah tiba di tempat tujuan itu, kita juga merasakan keamanan, kenyaman serta kesenangan yang sama, bahkan kalau perlu mendatangkan keuntungan.
Jadi, dengan kata lain, begitu kematian menjemput, kita sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita hanya bisa mengandalkan pada apa yang sudah kita lakukan sepanjang hidup kita. Sebagai manusia yang normal, tentu saja kita menginginkan untuk meninggalkan jejak yang berarti bagi anak cucu lebih lagi bagi masyarakat (umat manusia). Sepeninggal kita, tentu saja kita ingin dikenang sesuai yang kita inginkan. Maka, pada kematianlah sebenarnya kita mendasarkan harapan/cita-cita itu.
Karena kita ingin dikenang sebagaimana yang kita inginkan berarti tak ada lagi yang bisa kita lakukan selain membuat kenangan manis. Misalnya: menciptakan sebuah karya, prestasi, atau pencapaian tertentu sehingga kita bisa tersenyum saat kematian menjemput.
Bagi anak cucu kita, tentu saja karya, prestasi, dan pencapaian itu adalah sesuatu yang amat membanggakan, dan dengan begitu mereka sangat mungkin terdorong semangatnya untuk melakukan hal yang sama. Bagi masyarakat umum, mereka merasakan manfaat dari karya, prestasi, dan pencapaian kita itu secara terus-menerus bahkan sampai turun temurun. Dengan begitu, mereka akan terus mengenang jasa dan karya kita itu sepanjang masa.
Dengan demikian, kehidupan adalah sebenarnya momen emas bagi manusia untuk berlomba-lomba memacu diri masing-masing untuk menciptakan karya, jasa, atau pencapaian itu. Manusia mestinya menghimpun semangat dan energi untuk membuat anak cucunya bangga terhadap karya dan pencapaian yang diciptakannya itu. Manusia mestinya juga mengerahkan segala daya dan upayanya untuk membuat semua itu terwujud dan memberikan manfaat yang sebesar-besar bagi masyarakat (umat manusia).
Arnis Silvia memberi catatan manis tentang ini: "At the end of life, what really matters is not what we bought, but what we built; not what we got, but what we shared; not our competence, but our character; and not our success, but our significance. Live a life that matters. Live a life of love."
Dengan terjemahan bebas seperti berikut: "Pada akhirnya, yang benar-benar bernilai bukanlah apa yang kita beli, tapi apa yang kita bangun; bukan yang kita dapatkan, tapi apa yang kita bagi; bukan tentang kemampuan kita, tapi tentang karakter kita; bukan tentang kesuksesan kita, tapi tentang nilai kebermanfaatan kita. Jalani hidup yang benar-benar bernilai. Jalani hidup penuh cinta."
Kedua, kematian adalah sebenarnya titik awal dari sebuah perjalanan panjang pasca kematian itu sendiri. Setelah kematian, manusia masih akan mengalami sebuah pengalaman yang juga tak kalah pentingnya dari berbagai macam lika-liku kehidupan di dunia. Konon, pengalaman kali ini sama sekali tak melibatkan jasad kita. Ruh kita lah yang akan menjadi subyek. Tapi, di alam yang abstrak ini semua yang dilakukan oleh subyek fisik kita di dunia dituntut pertanggung-jawabannya.
Maka, pada hakikatnya, pengalaman dan kehidupan kita di alam dunia ini adalah sebenarnya ladang amal bagi kita. Jadi semua yang kita lakukan adalah sebenarnya proses kita menabung amal kita saja.