"Aku juga merasakan hal yang sama. Indonesia dulu dengan Indonesia sekarang memang berbeda. Aku jadi sedih, mengingat bagaimana aku memperjuangkannya dulu." Tutur Cut Dien hambar.
"Maksudnya, kau menyesal, begitu?" sergah Pattimura, dengan tekanan nada di setiap kata.
Cut Dien hanya menghela napas berat. Entah mengapa, saat 'Indonesia' berkelebat di benaknya, jemarinya mendadak kelu. Sulit untuk kembali mencium bibir mesin ketik. "Bukan begitu, Thomas. Aku hanya sedih, apakah ada manusia sekarang yang memperjuangkan Indonesia seperti kita dulu?"
"Zaman sudah berbeda. Kini, cuman segelintir orang yang menganggap Indonesia bukanlah hanya tempat berpijak. Tempat hidup. Mereka lebih memilih, memanfaatkan Indonesia untuk berbagai bisnis, merebut segala sumber daya yang tertanam. Dan itu benar-benar mengerikan. Mereka tidak tahu kalau Indonesia itu hidup. Indonesia itu ada. Ia melihat. Ia juga merasakan. Betapa sakitnya menahan cekikan warganya setiap hari. Bahkan, setiap menit."
Keheningan pun perlahan membungkus mereka menjadi satu. Hanya kolaborasi napas sendu yang berbaur, menggeliat masing-masing. Mereka tidak tahu harus berbuat apa. Nama mereka sudah terlanjur dikenang. Senjata bambu mereka sudah tumbang. Mereka hanya bisa berdoa. Bagaimana peperangan saudara terjadi kini.
Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka. Mereka semua terkesiap. Pattimura, bergegas berdiri. Ia menyipitkan mata. Dan dalam sedetik, sebuah senyuman terbit di bibirnya. "Bung Karno! Bung Hatta!"
Tinggallah Cut Dien yang terjebak penasaran. "Benarkah? Itu mereka?"
Kartini tahu, ada yang tak beres. Ia menyipitkan kedua bola matanya, meneliti sosok yang hadir di belakang punggung kedua tokoh proklamator itu. "Tunggu, siapa itu?" jemarinya menunjuk sosok yang masih menjadi bayang hitam.
Bung Karno dan Bung Hatta, dengan wajah lesu dan lemas, melangkah masuk, dan mereka menjawab dengan lirih. "Dia... Indonesia."
***
Pattimura membawa beberapa kursi, mempersilakan ketiga tamu itu untuk duduk. Saat ia mempersilakan Indonesia untuk duduk, entah mengapa hatinya serasa teriris pilu. Ngilu. Melihat bagaimana sosok Indonesia yang sudah tua, mau duduk saja begitu susah. Kulitnya yang sudah mengeriput, tampak lemah, tertindas oleh borok dan luka di mana-mana.