Mohon tunggu...
Sofwan Rizky
Sofwan Rizky Mohon Tunggu... -

Masih muda, 14 tahun. Seorang pelajar dari SMPN 19 Jakarta yang ketagihan barisan aksara, senang berkelana dalam hutan penuh makna. Tubuhnya kecil, makanya bicara banyak. Salam kenal! :D\r\n\r\nBila ingin membaca kuliner sastra yang pernah saya buat, silahkan datangi : http://dapursampah.blogspot.com/\r\n\r\nDimohon kedatangannya. :)))

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jika Indonesia Bicara ...

23 September 2012   08:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:52 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Aku juga merasakan hal yang sama. Indonesia dulu dengan Indonesia sekarang memang berbeda. Aku jadi sedih, mengingat bagaimana aku memperjuangkannya dulu." Tutur Cut Dien hambar.

"Maksudnya, kau menyesal, begitu?" sergah Pattimura, dengan tekanan nada di setiap kata.

Cut Dien hanya menghela napas berat. Entah mengapa, saat 'Indonesia' berkelebat di benaknya, jemarinya mendadak kelu. Sulit untuk kembali mencium bibir mesin ketik. "Bukan begitu, Thomas. Aku hanya sedih, apakah ada manusia sekarang yang memperjuangkan Indonesia seperti kita dulu?"

"Zaman sudah berbeda. Kini, cuman segelintir orang yang menganggap Indonesia bukanlah hanya tempat berpijak. Tempat hidup. Mereka lebih memilih, memanfaatkan Indonesia untuk berbagai bisnis, merebut segala sumber daya yang tertanam. Dan itu benar-benar mengerikan. Mereka tidak tahu kalau Indonesia itu hidup. Indonesia itu ada. Ia melihat. Ia juga merasakan. Betapa sakitnya menahan cekikan warganya setiap hari. Bahkan, setiap menit."

Keheningan pun perlahan membungkus mereka menjadi satu. Hanya kolaborasi napas sendu yang berbaur, menggeliat masing-masing. Mereka tidak tahu harus berbuat apa. Nama mereka sudah terlanjur dikenang. Senjata bambu mereka sudah tumbang. Mereka hanya bisa berdoa. Bagaimana peperangan saudara terjadi kini.

Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka. Mereka semua terkesiap. Pattimura, bergegas berdiri. Ia menyipitkan mata. Dan dalam sedetik, sebuah senyuman terbit di bibirnya. "Bung Karno! Bung Hatta!"

Tinggallah Cut Dien yang terjebak penasaran. "Benarkah? Itu mereka?"

Kartini tahu, ada yang tak beres. Ia menyipitkan kedua bola matanya, meneliti sosok yang hadir di belakang punggung kedua tokoh proklamator itu. "Tunggu, siapa itu?" jemarinya menunjuk sosok yang masih menjadi bayang hitam.

Bung Karno dan Bung Hatta, dengan wajah lesu dan lemas, melangkah masuk, dan mereka menjawab dengan lirih. "Dia... Indonesia."

***

Pattimura membawa beberapa kursi, mempersilakan ketiga tamu itu untuk duduk. Saat ia mempersilakan Indonesia untuk duduk, entah mengapa hatinya serasa teriris pilu. Ngilu. Melihat bagaimana sosok Indonesia yang sudah tua, mau duduk saja begitu susah. Kulitnya yang sudah mengeriput, tampak lemah, tertindas oleh borok dan luka di mana-mana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun