"T-terimakasih, Thomas." Indonesia mendongakkan kepalanya, menunjukkan wajah reotnya, tetapi masih sanggup-sanggupnya ia memancarkan senyum kehangatan. Dan senyum itu membuat Pattimura bergidik. Pundaknya melemas. Ia tak kuat bila terus-terusan berdiri.
"Ehem, ya. Ternyata, kalian sudah berkumpul lebih dulu. Baguslah, kalau kalian masih berinisiatif. Merasa terpanggil, ya?" ujar Bung Karno, menyudutkan sedikit tawa, walau itu terasa begitu pahit. "Oh, ya. Kami membawa Indonesia ke sini. Dia sedang berulang tahun hari ini. Karena katanya, dia kangen. Dia rindu orang-orang seperti kalian."
Kartini tersedak. Dia segera menutup matanya, menampung butir air matanya yang menandak rontok. Ia terisak sesak. Tubuhnya tergoncang goyah. Dia tak kuat. Dia tak sanggup. Setelah sekian lama ia tak bertemu dengan Indonesia, dan saat waktu mempertemukan mereka, ia mendadak... iba. Bagaimana ia melihat tubuh Indonesia yang semakin kurus, hanya kulit tipis seperti selembar tisu yang membekap tulang, luka-luka bersebaran di mana-mana, pundak yang bobrok, wajah yang seperti meleleh, semuanya. Kartini tak sanggup melanjutkannya lagi.
"...Ya, mungkin kalian kaget. Mungkin kalian sedih. Tetapi, begitulah keadaan Indonesia kini. Begitulah yang Indonesia bendung selama ini. Tubuhnya yang kecil, semakin ringkih menampung kejahatan-kejahatan yang tercipta. Kejahatan-kejahatan yang memuncak tinggi, sehingga tubuh mungil Indonesia pun sudah tak sanggup mencegahnya lagi," jelas Bung Karno.
Pattimura mengambil napas panjang, menjadikan kumpulan oksigen itu seperti sebuah kompensasi yang mengiringi matanya. Matanya menangkap pemandangan yang begitu miris. Indonesia benar-benar tampak menderita. "Ehm, ya, Indonesia. Sudah lama, ya, kita tidak berjumpa lagi."
Indonesia kembali tersenyum, menunjukkan matanya yang pecak sebelah. "Ya, sudah lama sekali, ya."
Pattimura diam membisu. Bulu tangannya merinding kompak. Ia tak tahu harus melanjutkan apa lagi. Namun, ia tidak bisa menahan pertanyaannya terlalu lama. Sehingga, ia terlanjur menumpahkannya. "Indonesia, mengapa matamu pecak sebelah?" tanyanya gugup.
Sedangkan Indonesia hanya menengadahkan wajah, memegang matanya yang pecak itu. "Oh, ini." Ia berkata singkat, senyumnya belum juga mengempis. "Ini karena banyak rakyat miskin yang menderita, Thomas. Banyak tangis yang bergulir dari mata-mata mereka. Sehingga, ya begini. Karena setiap mereka menangis, aku juga menangis, lebih parah malah. Setiap mereka terisak, bahkan aku tak sanggup bernapas. Setiap mereka bangun di pagi hari dengan mata yang bengkak... ya, mataku pasti sudah seperti ingin loncat keluar. Aku tak kuat melihat mereka seperti itu."
Pattimura menautkan alisnya, Indonesia benar-benar tidak seharusnya mendapatkan siksaan begitu perih. "Bukannya rakyat-rakyat miskin yang sering membuat ulah, ya?"
Indonesia terkekeh kecil, "kehidupan sekarang sudah terjungkir balik, Thomas. Kaum-kaum proletar yang menuntut, yang memberontak di mana-mana itu tak separah mereka yang sedang merajalela di dunia atas. Mereka gemertak, karena yang kaya pun juga semakin merebut hak-hak mereka. Merampas standar kemampuan mereka." Indonesia menelan ludah pahitnya, "kaum-kaum miskin limbung karena mereka kehilangan arah. Harga-harga bahan pokok hidup yang naik membuat mereka tersungkur. Mereka tak lagi bisa mengikut pasrah terhadap muara negara. Mereka kehilangan tujuan. Karena... ya, tujuan mereka hidup cuman bahagia. Mereka nggak muluk-muluk untuk memiliki mimpi. Masih bisa makan aja sudah bersyukur. Dan parahnya, kini hak makan mereka saja sudah terebut oleh tangan-tangan jahil kelas atas."
"Bukankah kita kaya SDA, Indonesia?" Pattimura menuangkan keheranannya lagi. Kartini sudah roboh, menangis-nangis histeris di pelukan Cut Dien. Kesedihan telah menohok jantungnya, mungkin.