Qanun ini mengatur lembaga keuangan di Aceh untuk beroperasi sesuai dengan prinsip syariah. Pertamina, sebagai entitas yang beroperasi di Aceh, harus mematuhi ketentuan ini dalam setiap transaksi dengan bank syariah.
Pandangan Positvisme Hukum dalam Kasus Mudharabah Pertamina dengan Dua Bank Syariah
Positivisme hukum menekankan bahwa hukum adalah seperangkat aturan yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang. Dalam konteks ini, Pertamina dan bank syariah harus mematuhi peraturan yang berlaku, seperti Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah. Qanun ini mengatur bahwa lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh harus menggunakan prinsip syariah. Dalam kerangka positivisme, kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang ada adalah hal yang utama. Pertamina, meskipun bukan lembaga keuangan, harus mematuhi ketentuan bahwa transaksi dengan konsumen di Aceh harus dilakukan melalui bank syariah.
Fokus utama positivisme hukum adalah pada aspek formal dari hukum, termasuk dokumen resmi dan prosedur yang harus diikuti. Hal ini terlihat dalam penandatanganan PKS antara Pertamina dan bank syariah, di mana semua ketentuan harus dicatat secara resmi untuk memastikan bahwa semua pihak memahami hak dan kewajiban mereka sesuai dengan hukum yang berlaku. Positivisme hukum menekankan pentingnya sanksi bagi pelanggaran hukum. Jika salah satu pihak tidak memenuhi ketentuan dalam akad mudharabah atau melanggar Qanun Aceh, maka akan ada konsekuensi hukum yang berlaku sesuai dengan ketentuan yang ada. Hal ini menciptakan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam transaksi.
Maka dapat disimpulkan, pandangan positivisme hukum dalam kasus mudharabah antara Pertamina dan dua bank syariah menekankan pentingnya kepatuhan terhadap hukum positif, perlunya akuntabilitas dalam pelaksanaan akad, serta konsekuensi hukum bagi pelanggaran yang terjadi. Dengan mengikuti aturan dan regulasi yang ada, maka transaksi mudharabah dapat berjalan dengan baik dan memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat.
Pandangan Sosiologika Jurisprudensi dalam Kasus Mudharabah Pertamina dengan Dua Bank Syariah
Dalam masyarakat Aceh, penerapan prinsip syariah dalam setiap aspek kehidupan, termasuk ekonomi, sangat penting. Hal ini mencerminkan nilai-nilai budaya dan agama yang kuat di wilayah tersebut. Mudharabah sebagai bentuk kerjasama ekonomi diharapkan dapat menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Sosiologis jurisprudensi menekankan bahwa hukum tidak hanya merupakan aturan yang ditetapkan secara formal, tetapi juga harus mencerminkan kebutuhan dan realitas sosial masyarakat. Dalam kasus ini, kerjasama antara Pertamina dan bank syariah mencerminkan upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Aceh akan produk dan layanan yang sesuai dengan prinsip syariah.
Dalam konteks sosiologikal jurisprudensi, penting untuk memperhatikan bagaimana sengketa yang mungkin muncul dalam transaksi mudharabah diselesaikan. Masyarakat Aceh cenderung lebih memilih penyelesaian yang sesuai dengan nilai-nilai lokal dan prinsip syariah, seperti melalui lembaga arbitrase syariah atau Pengadilan Agama, daripada jalur hukum konvensional.
Maka dapat disimpulakan, pandangan sosiologis jurisprudensi dalam kasus mudharabah antara Pertamina dan dua bank syariah menunjukkan akan pentingnya interaksi antara hukum dan dinamika sosial dalam masyarakat Aceh. Hukum harus mencerminkan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat agar dapat diterima dengan baik dan memberikan manfaat nyata bagi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, penerapan mudharabah tidak hanya memenuhi aspek hukum tetapi juga memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H