Mohon tunggu...
Sofi Mahfudz
Sofi Mahfudz Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Amatir

Suka Bisnis dan Nulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mereka Kira Saya Tidak #BahagiaDirumah

31 Mei 2016   06:59 Diperbarui: 31 Mei 2016   07:46 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang itu, selepas hujan deras mengguyur, seorang tetangga yang belum pernah ke rumah, bertandang hendak membesuk Ibu saya. Fisiknya yang sudah tidak muda lagi dan jalannya yang pelan, unuk-unuk, tidak menghalangi niat beliau untuk silaturrahmi.

Apalah arti pertemuan tanpa percakapan. Kami ngobrol ngalor ngidul membicarakan banyak hal. Sampai akhirnya beliau berstatemen:

Ngesakne sampean, (gara-gara harus menemani Ibu), maleh ga iso kerjo” [Kasihan ya, kamu. Jadi tidak bisa kerja].

Reflek saya menyahut sambil memegang PC yang ada didekat saya:

Kulo nyambut damel ten mriki” [Saya bekerja disini]

Beliau manggut-manggut. Dalam manggut-manggutnya, saya membaca bahwa beliau berada pada kondisi antara paham dan tidak paham.

Ya, bisa jadi beliau paham yang saya pegang itu komputer. Tapi tidak pahamnya tentang kerja apa yang bisa dilakukan dengan komputer dan hanya dilakukan dirumah saja. Saya tidak berusaha menjelaskan hal itu. Biarlah itu menjadi misteri untuk beliau. Saya malah fokus pada pernyataan bernada kasihan itu.

***

Statemen bernada kasihan itu bukan pertama kali saya dengarkan. Sebelumnya, telinga saya sudah sering menelan pernyataan bernada serupa.

Bisa jadi mereka berpikir, lha iya; masih muda, bertalenta dan pernah makan bangku kuliah di universitas ternama, akhirnya hanya tinggal dirumah saja. Tidak berkarir di luar rumah seperti halnya teman-teman sebaya. Kasihan kan, jadinya.

Respon yang saya berikan biasanya hanya senyuman dan jika situasi memungkinkan, saya jawab sewajarnya biar mereka tidak terjebak pada sikap kasihan yang salah paham.

Dikasihani itu kadang tidak enak. Seolah-olah kita sedang berada di situasi yang tidak diinginkan, dan itu diasosiasikan dengan kondisi hidup yang tidak bahagia. Mana ada simpati yang diberikan kepada orang yang sedang mendapatkan kesenangan. “Kasihan ya kamu. Bisa beli mobil terbaru”. Impossible.

Padahal ya, pandangan orang lain sering kali tidak sesuai dengan apa yang kita rasakan. Menerima penilaian orang lain tentang kita sedang mereka tidak sepenuhnya tahu itu seperti kita melihat orang buta dan penilaiannya tentang sapi. Hanya gara-gara memegang ekornya, sudah berani mengatakan bahwa sapi itu kecil dan panjang, dan sebagainya.

Jadi, Benarkah Saya Bahagia?

Ya, Saya #BahagiaDirumah. Saya bahagia berada dikondisi seperti sekarang.

Bahagia adalah pekerjaan pikiran. Ia hanya bisa dirasakan oleh pelakon saja, dan itu saya. Orang lain tidak bisa menilai seseorang bahagia atau tidak. Yang bisa dirasakan orang lain hanya getaran-getarannya.

Apa indikasinya bahwa saya bahagia?

Nah, ini pertanyaan sulit. Menemukan parameter untuk menentukan seseorang bahagia atau tidak bukan pekerjaan gampang. Tapi, ijinkan saya mengajak Anda untuk menelusuri hal-hal apa yang saya lakukan supaya saya merasa bahagia, meski dirumah saja. Dengan mengenali hal-hal yang saya lakukan dan kemudian Anda mencoba menerapkan pada kehidupan Anda dan merasakan dampaknya pada diri Anda, maka setidaknya Anda akan bisa menilai saya sedang berada di zona bahagia atau tidak.

  • Saya Menerima Keadaan Yang Ada

Aslinya, tidak ada orang yang ingin berada dalam situasi tidak menyenangkan. Misalnya, orang yang kita cintai sakit. Dalam kasus saya, Ibu saya yang sakit. Karena kondisi Ibu yang demikian, tentu saya harus menemani beliau.

Sekelebatan pikiran bahwa ini akan mengorbankan banyak hal, masa muda saya, masa bersenang-senang saya. Tapi, pikiran itu seketika saya tebas dengan pikiran yang lain: saya hanya diminta mengorbankan masa muda, sedang Ibu saya sudah mempertaruhkan nyawanya ketika melhairkan saya dan jelas-jelas sudah mengorbankan banyak hal untuk hidup saya.

Apalagi definisi dan tolak ukur ‘masa muda’ saya sifatnya absurd. Kalau masa muda hanya dimaknai sebagai masa bersenang-senang, maka meski menemani Ibu, saya masih bisa bersenang-senang. Bersenang-senang tidak perlu setiap waktu, kan?

Kalau masa muda dmaknai sebagai masa mengejar karir, maka saya bertanya pada diri sendiri; karir macam apa yang sedang saya kejar hingga harus mengorbanakan waktu menemani Ibu? Lagian, meski di rumah saja, saya masih bisa mengembangkan karir menulis. Dan itu keren, kan?

Dengan menerima keadaan, berkompromi dengan siatuasi, membuat saya merasa plong. Tidak ada beban-beban pikiran yang menggelayut yang membuat hidup terasa berat. Akhirnya, ketika pikiran terasa plong, jiwa terasa lapang, perasaan bahagia jadi mudah menyapa.

Kebahagiaan ini berusaha saya tularkan ke orang terdekat saya, Ibu. Untuk menstimulus rasa bahagia agar selalu menyapa beliau, sering saya ucapkan ‘Semangat nggih, ma’ sambil mengecup kening beliau. Beliau selalu merespon dengan mengangguk dan itu sudah bisa membuat saya bahagia juga. Benarlah ketika dikatakan bahwa sifat bahagia itu mengganda. Semakin ditularkan, semakin besar bahagia yang dirasa.

  • Mencoba Selalu Bersyukur

Dalam kondisi apapun, salah satu hal yang saya pinta, supaya saya dijadikan sebagai orang yang mudah bersyukur. Jika sudah pandai bersyukur, saya akan bisa melihat semuanya dari kaca mata positif. Msalnya dengan berkeyakinan bahwa Allah adalah pembuat skenario terbaik. Dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang-Nya, Allah tidak mungkin menempatkan seorang hamba-Nya pada ‘situasi yang buruk’ kecuali karena ada banyak kebaikan-kebaikan yang menyertainya. Persoalannya hanya ada pada manusia yang tidak atau belum tahu hikmah-hikmah yang ada.

Maka, meskipun saya tidak tahu maksud Allah mendesain hidup saya seperti ini, rasa syukur harus berada di garda depan pemikiran saya. Ketika rasa syukur hadir, yang muncul berikutnya adalah perasaan bahagia. Tidak percaya? Silahkan dibuktikan sendiri.  

  • Mengembangkan Potensi Diri

Hidup akan terasa bergairah jika kita memiliki mimpi, pencapaian-pencapaian hidup yang ingin kita wujudkan. Meski berada dirumah, tidak mengurangi seabrek rencana saya di kepala. Ada begitu banyak hal yang ingin saya lakukan. Meneruskan aktifitas menulis, menjalankan bisnis dari rumah dan sebagainya.

Keinginan-keinginan itu membuat saya semangat untuk belajar dan terus mengembangkan diri. Instagram, Pinterest, Canvas, Quora dan berbagai media yang ada didunia maya menjadi destinasi belajar otodidak saya. Menemukan banyak hal-hal baru di dunia maya membuat gairah hidup semakin menyala. Dan itu menstimulus rasa bahagia saya.

  • Menjadi Virtual Traveler

Kaki boleh dirumah, tapi pandangan mata sudah mengelilingi dunia. Hadirnya berbagai produk teknologi memudahkan saya menjadi seorang virtual traveler. Pepatah Arab mengatakan: ‘Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina’. Versi saya menjadi: ‘Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, meski lewat dunia maya’.

Mengunjungi berbagai negeri dari berbagai komunitas, misalnya komunitas Backpacker Dunia membuat pandangan saya tentang hidup dan kehidupan semakin terbuka. Tidak cupet pikiran meski dirumah saja. Berinteraksi dengan banyak orang di dunia maya membuat wajah saya sering menampakkan ekspresi tertawa. Dan itu membahagiakan.  

Itu bahagia dirumah versi saya, bagaimana dengan Anda?

***

Tulisan ini dibuat dalam rangka ikut menyemarakkan peringatan ““Novaversary” (Ulang tahun Nova ke 28 tahun). Semoga Nova selalu bahagia dan menjadi Inspirasi kebahagiaan untuk masyarakat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun