Dikasihani itu kadang tidak enak. Seolah-olah kita sedang berada di situasi yang tidak diinginkan, dan itu diasosiasikan dengan kondisi hidup yang tidak bahagia. Mana ada simpati yang diberikan kepada orang yang sedang mendapatkan kesenangan. “Kasihan ya kamu. Bisa beli mobil terbaru”. Impossible.
Padahal ya, pandangan orang lain sering kali tidak sesuai dengan apa yang kita rasakan. Menerima penilaian orang lain tentang kita sedang mereka tidak sepenuhnya tahu itu seperti kita melihat orang buta dan penilaiannya tentang sapi. Hanya gara-gara memegang ekornya, sudah berani mengatakan bahwa sapi itu kecil dan panjang, dan sebagainya.
Jadi, Benarkah Saya Bahagia?
Ya, Saya #BahagiaDirumah. Saya bahagia berada dikondisi seperti sekarang.
Bahagia adalah pekerjaan pikiran. Ia hanya bisa dirasakan oleh pelakon saja, dan itu saya. Orang lain tidak bisa menilai seseorang bahagia atau tidak. Yang bisa dirasakan orang lain hanya getaran-getarannya.
Apa indikasinya bahwa saya bahagia?
Nah, ini pertanyaan sulit. Menemukan parameter untuk menentukan seseorang bahagia atau tidak bukan pekerjaan gampang. Tapi, ijinkan saya mengajak Anda untuk menelusuri hal-hal apa yang saya lakukan supaya saya merasa bahagia, meski dirumah saja. Dengan mengenali hal-hal yang saya lakukan dan kemudian Anda mencoba menerapkan pada kehidupan Anda dan merasakan dampaknya pada diri Anda, maka setidaknya Anda akan bisa menilai saya sedang berada di zona bahagia atau tidak.
- Saya Menerima Keadaan Yang Ada
Aslinya, tidak ada orang yang ingin berada dalam situasi tidak menyenangkan. Misalnya, orang yang kita cintai sakit. Dalam kasus saya, Ibu saya yang sakit. Karena kondisi Ibu yang demikian, tentu saya harus menemani beliau.
Sekelebatan pikiran bahwa ini akan mengorbankan banyak hal, masa muda saya, masa bersenang-senang saya. Tapi, pikiran itu seketika saya tebas dengan pikiran yang lain: saya hanya diminta mengorbankan masa muda, sedang Ibu saya sudah mempertaruhkan nyawanya ketika melhairkan saya dan jelas-jelas sudah mengorbankan banyak hal untuk hidup saya.
Apalagi definisi dan tolak ukur ‘masa muda’ saya sifatnya absurd. Kalau masa muda hanya dimaknai sebagai masa bersenang-senang, maka meski menemani Ibu, saya masih bisa bersenang-senang. Bersenang-senang tidak perlu setiap waktu, kan?
Kalau masa muda dmaknai sebagai masa mengejar karir, maka saya bertanya pada diri sendiri; karir macam apa yang sedang saya kejar hingga harus mengorbanakan waktu menemani Ibu? Lagian, meski di rumah saja, saya masih bisa mengembangkan karir menulis. Dan itu keren, kan?