"Cowok memang sering pandai beralibi"
"Terserah mau percaya atau tidak"
"Tuh, makin memperjelas alibinya"
"Kamu nuduh kalau aku bohong?"Â
"Tidak usah dituduh juga sudah jelas"
"Percumah semua penjelasanku"
Stop.. Stop.. Stop
"Dah gak usah masuk, aku turun depan gerbang rumah aja"
"Fan, aku kan mau main dulu kerumah mu"
"Gak usah! kamu langsung pulang aja, lagi gak mood sama kamu"
"Ok, aku pulang dulu"
Aku dapat kabar dari Rumahsakit dimana Rafi dirawat, dia kecelakaan. Sepeda motor yang ia kendarai menabrak iring-iringan mobil polisi yang sedang mengawal pejabat, menurut keterangan; Rafi mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan 120/Km, pendarahan dikepalanya membuat Rafi tidak tertolong lagi. Takdir memang benar adanya namun akulah penyebabnya, andai aku tidak egois malam itu, pasti semua ini tidak akan terjadi, lontaran umpatan dari mulutku telah menjadi psikisnya, hingga ia tak konsentrasi dalam berkendara.
Aku merawat hubungan dengan bukan hanya sehari atau dua hari, bahkan aku menyelesaikan skripsiku bersama, padahal  tiga Minggu lagi ia melamar ku, seminggu setelahnya wisuda bersama, Ya Tuhan aku lah wanita pertama yang akan menyesal dipagi Ini.
"Sudahlah Fan, andai bisa memesan takdir-takdir itu, air mata kesedihan tidak akan pernah keluar dari manusia." Ucapku untuk menenangkan hati Fani.
"Jika kau mau, hujanilah aku dengan hujatan anggap saja kau mewakili takdir"
"Sekalipun kau berkata demikian, tidak pernah terbesit untuk menyalahkanmu." percayalah Fan.
"Terimakasih, Van"