Mohon tunggu...
Sofiah Rohul
Sofiah Rohul Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Holla Before doing something, do something different

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Masih Butuh 132 Tahun Kesetaraan Gender Secara Global

23 November 2022   14:23 Diperbarui: 24 November 2022   21:39 1114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kesetaraan Gender. (sumber: Shutterstock via kompas.com)

Perlu pemberdayaan perempuan sebagai upaya melibatkan rasa hormat terhadap perempuan untuk memperoleh akses dan kontrol terhadap sumber daya ekonomi, sosial, budaya, dan politik. 

Sehingga, perempuan dapat berpartisipasi aktif dalam memecahkan masalah di masyarakat dalam rangka menciptakan wajah baru dunia yang lebih baik.

***

Seneng banget rasanya bisa ikut serta dalam webinar yang membahas tentang perempuan. Kelas ini ada di seri menulis dan fotografi "Inspirasi Perempuan Indonesia"

Hadir dalam diskusi yang ditaja Kompas Institute inovasi dari Harian Kompas yakni Sarie Febriane (Editor Desk Multimedia Harian Kompas), Putu Fajar Arcana (Wartawan Senior Desk Budaya Harian Kompas), dan Wisnu Widiantro (Kepala Desk Foto Harian Kompas).

Berbicara perempuan tentu tak ada habisnya. Perempuan hadir sebagai sosok yang dituntut untuk memilih. Itu mudah dijumpai misalnya saja wanita "karir atau ibu rumah tangga?" dan ini masih terus bergulir hingga sekarang. Padahal kalau bisa keduanya, kenapa tidak?

Hal itu dipertegas oleh Sarie yang dalam kelas ini membawakan "Mengenali dan Menggali Perempuan Berdaya" bahwa, perlu pemberdayaan perempuan sebagai upaya melibatkan rasa hormat terhadap perempuan untuk memperoleh akses dan kontrol terhadap sumber daya ekonomi, sosial, budaya, dan politik. 

Perempuan dapat berpartisipasi aktif dalam memecahkan masalah di masyarakat dalam rangka menciptakan wajah baru dunia yang lebih baik.

Lalu, kodrat perempuan itu (dapat) menstruasi, melahirkan, dan menyusui. Dalam artian, kodrat tersebut hadir hanya sebatas fungsi-fungsi biologis perempuan.

"Perempuan berhak tidak memfungsikannya tanpa "tudingan" melawan kodrat. Diluar fungsi biologis itu hanya fungsi sosial/budaya. Ada juga belenggu norma sosial, budaya/agama, dan infrastruktur kebijakan negara. Belenggu-belenggu tersebut yang harus digugat, dibongkar dan dirontokkan," terangnya sebagai pemateri pertama, Selasa (8/11).

Dilanjutnya, dalam ruang zoom itu, perempuan yang berani menggugat dan membongkar secara dogmatis, maka, perempuan itu mampu melepaskan dogma itu. 

Itu yang membawanya menulis tentang kesetaraan gender seperti Dilema Bekerja Ketimpangan Jender dan Hal-hal yang Belum Selesai.

"Masih butuh 132 tahun kesetaraan gender secara global. Bisa diakses di (https://www3.weforum.org/docs/WEF GGGR 2022.pdf). Laporan Gap Index 2022, masih 68% (Iceland tertinggi). Sementara, Indonesia diangka 69% peringkat 92 dari 146 negara," paparnya.

Belum lagi, representatif peran politik perempuan masih sangat rendah. Begitu juga kategori sub-index pemberdayaan politik pun masih sangat rendah, 22%. "Hanya 27 perempuan di dunia yang saat ini menjabat sebagai kepala negara/perdana menteri/presiden," ulasnya.

Pada kesempatan itu, saya bertanya perihal, kasus besar apa yang masih belum terselesaikan atas pewajaran yang bisa menimbulkan kekerasan terhadap perempuan? 

Tentangan terbesar selama menjadi wartawan dan selama menjalankan tugas? Lalu, bagaimana mengatasinya, mba?

Wanita yang kini menjabat sebagai editor pun menjawab, dalam melakukan wawancara tentang kasus kekerasan seksual hindari bertanya rekonstruksi atau jangan bertanya detil kronologisnya yang bisa membawanya ke arah itu. Harus ada batas, sekalipun si narasumber (korban) itu sendiri yang berkisah secara dol (lepas).

"Saya akan bagikan link liputan saya mengenai tulisan Di Balik Berita yakni Yang Menyebalkan Menjadi Seorang Perempuan. Itu bisa menjadi rujukan. Selain itu dibutuhkan kemampuan menjahit narasi dan referensi lain agar pemahaman lebih dalam," terangnya.

Masih tentang perempuan yang pada kesempatan kali ini dibahas oleh Beli Can sapaan akrab dari Putu Fajar Arcana. Ia menyampaikan "Mencari Sudut Pandang Menarik Dalam Menarasikan Perempuan Berdaya"

Ia memulai dengan 3 syarat menulis diantaranya, imajinasi, kreativitas, dan keterampilan berbahasa. Ketiganya, saling berpadu menjadi satu atau tidak bisa dihilangkan.

Menurutnya, imajinasi eringkali dimaknai sebagai daya khayal atau angan-angan. Padahal imajinasi adalah suatu proses kerja pikiran untuk mempersepsi benda-benda, kejadian, dan bahkan karakter dari suatu kenyataan.

(Kiri atas) Wisnu Widiantro (Kepala Desk Fot, (kanan ke kiri) Sarie Febriane (Editor Desk Multimedia), Putu Fajar Arcana (Wartawan Senior Desk Budaya)
(Kiri atas) Wisnu Widiantro (Kepala Desk Fot, (kanan ke kiri) Sarie Febriane (Editor Desk Multimedia), Putu Fajar Arcana (Wartawan Senior Desk Budaya)

"Berangkat dari kenyataan, imajinasi mampu tembayangkan gambar-gambar, cerita, dan langkah-langkah penciptaannya. Imajinasi juga memberi kesempatan seorang pencipta untuk menemukan gagasan," ucapnya.

Kemudian, kreativitas harus ada dalam diri seorang penulis. Pada tahap ini, menurutnya, seorang pencipta mengembangkan imajinasi menjadi lebih konkret. Gagasan-gagasan diolah menjadi karya yang inovatif dan original.

"Seringkali kreativitas disamakan dengan daya cipta untuk menemukan karya yang inovatif dan original, sehingga melampaui karya-karya sebelumnya (tradisional). Meski begitu, stop untik duplikasi pada karya sebelumnya," imbuhnya.

Tak hanya itu, keterampilan bahasa pun menjadi point penting agar tidak terbelit-belit. Sehingga dibutuhkan kemampuan khusus dalam memilih diksi. "Bekerjalah dengan kemampuan bahasa sebagai medium utamanya," tambahnya.

Kepenulisan mengenai perempuan, menurutnya ada kuncinya. "Kuncinya empat, yakni personalitas, totalitas, keunikan, dan framing," akuinya.

Untuk sisi personalitas, Beli Can, ungkapkan,  upaya untuk menangkap kepribadian terdalam dari seseorang perempuan. Seorang penulis yang baik, secara perlahan harus memahami kepribadian subject matter di hadapannya.

"Kita akan menimbang keseluruhan reaksi psikologis dan sosial seseorang, sintesis kehidupan emosional dan mentalnya, serta tingkah laku dan reaksinya terhadap lingkungan. 

"Sederhananya, kita ingin berada dari sudut pandang seorang perempuan dalam melihat sekeliling beserta reaksinya terhadap berbagai realitas dirinya," katanya lagi.

Selanjutnya, yakni totalitas. Dimana totalitas bisa diukur dari seberapa jauh keterlibatan seorang perempuan dalam menjalani kehidupannya.

Terutama hal-hal yang bersangkut-paut dengan "profesinya", baik dalam urusan- urusan domestik, maupun dalam tindak serta prilakunya menekuni sebuah keahlian. Totalitas ini pun digadang-gadang berkesinambungan dengan keunikan.

"Saya ambil contoh tulisan saya yang berjudul Mak Erot dan Sindrom Maskulinitas. Singkatnya, bercerita tentang perempuan yang bekerja melakukan pembesaran objek vital laki-laki," kisahnya.

Terakhir, bagaimana framing bekerja dalam  meletakkan subject matter ke dalam struktur sebuah tulisan. Ia berguna untuk membaca hal-hal yang tampak sederhana, remeh- temeh, dan luput dari perhatian publik, menjadi materi yang memiliki nilai, bahkan pedoman dalam hidup.

"Framing sebenarnya hal yang paling berhubungan dengan cara memandang perempuan. Jika dalam pembingkaian keliru, bukan tidak mungkin kita mendapatkan persepsi, bahkan dapat membentuk opini yang keliru terhadap perempuan," akhirinya.

Dalam sesi tanya jawab, saya kembali bertaya perihal, dari keempat jenis kepenulisan mana yang paling sulit? untuk kompas sendiri, apa aspek utama yang menjadi fokus dalam melakukan liputan perempuan? Lead mana yang lebih baik digunakan dalam penulisan ini?

Beli Can katakan, teknik personalitas itu membutuhkan pendekatan yang lebih lama, karena wartawan harus benar-benar mengetahui bahwa narsumnya nyaman terhadap kehadirannya. 

Jadi cukup butuh waktu untuk saling mengenali. Oleh sebab itu tak bisa dalam sekali datang, bisa berulang-ulang agar wartawan memperoleh kepercayaan dari narsum.

"Kompas tentu lebih sering melakukan peliputan terhadap perempuan yang bukan siapa-siapa, tetapi sebenarnya sedang melakukan hal besar. Nah itulah gunanya kita punya frame, yang berarti bahwa kita butuh referensi berupa pengetahuan. Soal lead, itu sangat spesifik, tetapi ambil hal yang paling mengesankan dari kata-kata atau prilaku seorang perempuan," tutupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun