"Ya sudah, kalau maumu begitu. Ayo kita keluar sekarang. Biar Mbak Warni bersihkan dapur dulu."
Aku langsung berjalan meninggalkan tempat itu. Sempat kulihat tadi mata pembantuku melotot ketika mendengar cucuku berkata mau makan langsung di restoran. Aku sungguh tidak suka. Saking usiaku sudah tua. Tak mampu lagi melakukan pekerjaan rumah tangga sendirian. Apalagi di rumah dua lantai ini. Rumah yang dibelikan Thomas untukku tiga tahun yang lalu. Yang membuatku akhirnya bisa tinggal di rumah sendiri, tidak melulu di rumah kontrakan. Jadi aku terpaksa menahan diri untuk tidak mengusir Warni setiap kali dia menunjukkan rasa tidak sukanya pada cucu kesayanganku.
Sonny mengikutiku masuk ke dalam kamar. Diperhatikannya aku membuka laci yang berada di dalam lemari pakaian. Kukeluarkan dompet kecilku. Kuambil uang seratus lima puluh ribu. Kuberikan pada cucuku tercinta.
"Ini uang buat makan ayam dan minum es krim di restoran," ucapku lembut. "Makan yang banyak ya, Son. Supaya sehat. Itu nanti uang kembaliannya kamu simpan saja. Buat jajan besok di kampus."
"Siap, Eyang," jawab Sonny dengan wajah berseri-seri. Hatiku bahagia sekali. Sama halnya setiap kali aku dulu memberi uang pada ayahnya dulu.
Rendy, Mama kangen sekali padamu, Nak, batinku pedih. Sudah tiga tahun kamu pergi ke rumah Tuhan. Untung ada Sonny yang menemani Mama di sini. Kalau tidak, hidup Mama sudah tidak ada artinya lagi....
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H