Aku menggeleng. "Sonny kan nggak suka rawon, War. Dia lebih suka makanan keringan kayak goreng-gorengan gitu. Kalau makan telur saja, kasihan dia. Nanti nggak puas makannya."
"Ibu terlalu memanjakan Sonny," cetus Warni berani. "Dia kan sudah besar, Bu. Masa setiap hari makannya ayam goreng, kentang goreng, nugget, atau mie goreng instan sama telur melulu! Itupun dia nggak bisa siapin sendiri. Ambil nasi sendiri saja jarang sekali. Selalu Ibu yang menyiapkannya."
"Tutup mulutmu!" teriakku tidak terima.
Mataku melotot tajam saking marahnya. Kurang ajar sekali orang ini. Memangnya dia siapa? Cuma pembantu yang dipekerjakan Thomas untuk menemaniku di rumah ini. Walaupun bukan aku yang menggajinya setiap bulan, tapi Warni tidak berhak mengatur-aturku. Akulah nyonya yang berkuasa di rumah ini. Aku!
Ketika aku hendak melabrak perempuan itu lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara Sonny berkata, "Eyang, Sonny lapar sekali. Sudah matang belum ayam gorengnya?"
Sebelum aku sempat menjawab, Warni lebih dulu menyeletuk, "Sudah matang, Son. Tapi pas Ibu mau bawa, piringnya tadi tiba-tiba jatuh dan pecah. Itu kamu lihat sendiri, berantakan di lantai, kan?"
Pandangan Sonny mengarah pada pecahan piring dan potongan-potongan ayam yang berserakan di lantai dapur. Raut wajahnya tampak kecewa.
"Wah, kalau gitu Sonny makan apa dong, Mbak?" tanya cucuku sambil cemberut.
"Lho, Son. Kamu kok bingung sendiri sama ayamnya? Nggak kuatir sama keadaan eyangmu," tegur Warni sewot. "Dilihat kek, tangan dan kaki Eyang gimana? Luka nggak kena pecahan piring? Terus kenapa tadi tangannya bergetar waktu menerima piring dari Mbak? Apa Eyang sedang nggak enak badan atau sakit apa gitu?"
"Sudah, sudah!" seruku menengahi. "Aku nggak apa-apa. Kamu sudah lapar sekali ya, Son? Kalau begitu kamu pesan ayam goreng saja secara online. Kan restorannya dekat dari sini. Kamu nggak usah nunggu lama."
"Sonny pergi ke restorannya langsung saja, Eyang. Naik motor cepat sampai. Biar Sonny bisa langsung makan dan sekalian minum es krim di sana."