Tiga sahabat asyik berbincang-bincang di  seberang sebuah sekolah dasar. Ibu-ibu muda itu berdiri di pojokan agar pembicaraan mereka tak terdengar oleh orang lain. Kali ini mereka sedang membicarakan tentang sikap suami masing-masing kalau menerima pesan WA dari istri tercinta.
"Suamiku cuek sekali orangnya," ucap Bella, ibu berusia empat puluh tahun yang rambutnya dikuncir ekor kuda. "Kalau ku-WA kebanyakan dibaca doang. Jarang dibalas. Kecuali kalau penting sekali."
"Hah? Kok bisa begitu, Bel?" balas Vika kaget. Ibu muda berumur tiga puluh tujuh tahun itu terbelalak. "Kamu nggak kesal digituin?"
"Iya, Kak Bella," cetus Marsha setuju. Ibu yang paling muda diantara mereka bertiga itu mengerutkan dahinya. "Aku bakal marah lho, kalau suamiku nggak balas chat-ku. Bisa-bisa dia kutelepon dan kutegur."
Bella terkekeh melihat reaksi kedua temannya tersebut. Dia lalu berkata santai, "Aku ini sudah sebelas tahun menikah dengan Mas Fajar. Sebelumnya kami malah pacaran tiga tahun dulu.Â
Dari dulu sifatnya memang begitu. Nggak romantis. Manis-manisnya cuma di tiga bulan pertama doang. Abis itu ya biasa-biasa aja. Nggak pernah bilang lagi I love you kayak waktu nembak aku dulu. Nggak pernah kasih bunga, coklat, ataupun kado romantis kayak mantan-mantanku dulu."
"Lha, kamu kok sanggup pacaran lama sama dia, Bel? Bahkan sampai menikah pula?" tanya Vika tak mengerti.
Dia, Bella, dan Marsha memang baru saling mengenal tiga tahun ini. Yaitu semenjak anak-anak mereka masuk di SD yang sama dan sekelas pula.
Meskipun waktu kelas tiga sekarang ini dilakukan rolling kelas sehingga anak-anak mereka terpencar, namun persahabatan ketiga ibu muda itu tetap langgeng. Mereka sering berbicara bertiga seperti ini pas menunggu jam pulang sekolah. Terkadang tiga bulan sekali Bella, Vika, dan Marsha juga pergi ke kafe untuk sekadar refreshing.
"Mas Fajar itu beda dari pacar-pacarku sebelumnya. Dia...."
Kriiinggg! Tiba-tiba bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Pembicaraan ketiga ibu muda itu terhenti seketika. Mereka bergegas berjalan mendekati pintu gerbang sekolah.
Beberapa saat kemudian anak-anak ketiga ibu muda itu keluar satu per satu. Bella, Vika, dan Marsha pun berpisah. Mereka bersama buah hati masing-masing pulang ke rumah.
***
Sore hari sewaktu suaminya pulang kantor, Bella menyambutnya dengan hangat.
"Wah, Papa sudah pulang. Itu ada kue klepon di meja makan. Tadi kebetulan ibu tetangga bikin dan nawarin Mama. Ayo dimakan, Pa. Mama beli agak banyak. Mau dibikinin teh tawar hangat juga, Pa?" tanya wanita itu cerita.
Fajar, suaminya, mengangguk saja. Dia sama sekali tak berkomentar. Laki-laki itu lalu berjalan menuju ke wastafel untuk mencuci tangan. Bella sendiri beranjak menuju ke dapur untuk menyeduh teh.
Beberapa saat kemudian wanita itu menemui Fajar di meja makan. Suaminya itu sedang menikmati kue klepon dalam keheningan. Dengan perlahan sang istri meletakkan cangkir teh tawar hangat di atas meja.
"Gimana kue kleponnya, Pa?" tanya Bella ingin tahu. "Enak?"
Fajar mengangguk pelan. Sama sekali tak memandang istrinya. Bella lalu mengecup pipi suaminya suaminya sambil berbisik, "Makan yang banyak ya, Pa. I love you."
Pria itu diam saja tak menanggapi. Sang istri tersenyum sabar. Dia lalu berjalan masuk ke dalam kamar. Anak-anak sudah menunggunya di sana untuk dibacakan buku cerita bergambar.
***
"Aduh. Kalian dari tadi ribut terus nggak selesai-selesai! Mama pusing. Pusing tahu! Ngurus dua anak itu nggak gampang. Capek, capek, capek! Huh!"
Begitulah teriakan-teriakan Bella pada kedua anak perempuannya. Kepalanya pening. Pundak dan punggungnya kaku sekali. Dadanya sesak. Napasnya sampai ngos-ngosan. Ingin rasanya dia pergi meninggalkan rumah ini. Pergi sendiri. Tanpa anak-anak dan suami.
Tapi hari sudah gelap. Dia keder juga menyetir sendirian. Apalagi emosinya sedang meledak-ledak saat ini. Takut kalau dia nanti justru kenapa-napa di jalan. Malah bikin susah!
Dua anak Bella tak bersuara. Pun tak menangis. Tapi paras dua anak itu jelas ketakutan. Mereka tadi memang bertengkar karena rebutan boneka Elsa Frozen. Sekarang boneka cantik bergaun biru itu tergeletak tak berdaya di atas lantai. Tak ada yang berani menyentuhnya.
Braaakkk!
Terdengar suara pintu kamar dibanting. Sosok Bella sudah menghilang di balik pintu itu. Begitu ibu mereka sudah tak kelihatan, anak-anak itu mulai menangis. Fajar mendekati kedua putrinya. Dia duduk di atas sofa sambil memangku anak bungsunya. Sedangkan si sulung diajaknya duduk persis di sebelahnya.
Dielus-elusnya kepala kedua buah hatinya itu. "Sudah, sudah. Nggak apa-apa. Mama itu kecapekan, karena setiap hari kan kerja terus ngurusin rumah, Papa, sama kalian. Makanya kalian jangan bertengkar terus. Berisik, Sayang. Hidup yang rukun. Kan saudara. Main sama-sama. Jangan rebutan...."
Dipeluknya kedua gadis kecilnya dengan penuh kasih sayang. Dikecupnya ubun-ubun mereka. Terlihat sekali betapa laki-laki itu begitu mengasihi anak-anaknya.
Beberapa saat kemudian mereka makan malam bersama di meja makan. Setelah itu Fajar menyuruh anak-anaknya bermain kembali, sedangkan dia sendiri mencuci perlengkapan makan yang kotor.
Selanjutnya laki-laki itu mencari sesuatu di dalam kotak obat dan membawanya  masuk ke dalam kamar tidurnya. Terlihat olehnya Bella tengah berbaring telentang di atas ranjang sambil memejamkan mata. Tapi kedua kakinya bergerak-gerak, menunjukkan bahwa wanita itu belum tidur.
"Mama lagi nggak enak badan?" tanya Fajar lembut. "Sini Papa kerokin. Sudah ambil minyak kayu putih sama koin, lho."
Sang istri membuka mata. Wajahnya tersenyum senang. Yah, beginilah memang karakter suami yang dicintainya ini. Kelihatannya cuek, dingin, dan pendiam. Tapi di saat-saat Bella mengalami kelelahan fisik dan mental, Fajar selalu muncul menunjukkan perhatiannya. Wanita itu merasa bersyukur sekali.
"Mama tadi marah-marahnya keterlaluan ya, Pa?" ucapnya penuh penyesalan. "Teriak-teriak kayak orang kesetanan."
"Sudahlah. Anak-anak sudah kutenangkan, kok," kata sang suami sambil terkekeh. "Aku bilang kamu kecapekan ngurusin rumah dan kita semua. Makanya jangan bertengkar terus. Hidup rukun gitu, lho."
Bella sontak memeluk suaminya. "I love you, Papa," cetusnya manja. "Aku mau dikerokin yang banyak. Jangan bolong-bolong. Badan ini mau hancur rasanya."
"Siap, Istriku Tercinta."
Fajar  mencium kening istrinya lembut. Hati Bella berbunga-bunga sekali. Dalam hati dia bersyukur sekali mempunyai suami seperti Fajar. Memang sehari-hari pria itu cuek dan kurang komunikatif. Sikapnya juga jauh dari romantis. Sungguh bertolak-belakang dengan suami teman-temannya seperti Vika dan Marsha, yang sangat komunikatif dengan istrinya.
Akan tetapi di balik sikapnya yang acuh tak acuh, Fajar ternyata menyimpan kepedulian yang tinggi terhadap istri dan anak-anaknya. Saking kepribadiannya yang introvert membuatnya tak  mampu bersikap supel terhadap orang lain.
Aku dan Mas Fajar memang pasangan yang saling melengkapi, batin Bella lega. Aku cerewet, dia pendiam. Aku kepo, dia cuek. Tapi kalau aku lelah hati, badan, maupun pikiran, Mas Fajar selalu siap siaga mendampingiku. Suami seperti inilah yang kubutuhkan. Pasangan yang melengkapiku.
Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H