Pemuda bertubuh tegap yang hanya berusia setahun lebih tua dariku itu adalah seorang anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan semenjak masih bayi. Hingga kini ia tidak mengetahui siapa ayah dan ibu kandungnya. Karena kecerdasannya, Edo berhasil menempuh pendidikan di universitas dengan beasiswa penuh dan tinggal di rumah kos dekat kampus.
Berkat keuletannya bekerja sebagai guru les privat bahasa Inggris sejak masih duduk di bangku SMA, ia mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan bahkan bisa menabung untuk masa depan. Aku sangat mengagumi kegigihannya dalam menjalani hidup dan lambat laun jatuh hati kepadanya.Â
Mendengarkan petuah Eyang tadi yang sudah tidak terlalu mengutamakan bibit, bebet, dan bobot dalam memilih pasangan hidup, membuatku mulai bersemangat untuk memperkenalkan Edo pada keluargaku. Ya Tuhan, semoga mereka menyukainya, batinku penuh harap.
***
Pada suatu pagi yang cerah enam tahun kemudian, aku dan Edo mengucapkan janji suci pernikahan di gereja. Acara sakral tersebut disaksikan oleh keluargaku, sahabat-sahabatku dan Edo, serta para pengurus panti asuhan tempat Edo dibesarkan.
Eyang duduk bersama Martha yang hadir ditemani kekasihnya, seorang pria bule berkebangsaan Jerman. Mereka berkenalan ketika Martha mendapatkan beasiswa untuk kuliah di negeri itu. Mama duduk berdampingan dengan suami barunya yang merupakan teman sekelasnya waktu SMP. Mereka bertemu kembali dua tahun yang lalu di acara reuni sekolah dan menjalin kedekatan hingga akhirnya menikah setahun kemudian.
Pria berpostur tinggi gempal berkacamata dan berkumis tipis itu adalah seorang duda tanpa anak yang ditinggal berpulang istrinya akibat kanker payudara. Dia menjual rumahnya yang penuh kenangan dengan almarhumah istrinya, lalu tinggal bersama ibu dan nenekku di rumah kami. Aku turut senang melihat Mama tampak bahagia menempuh hidup baru.
Sebaliknya ayahku datang sendirian ke upacara pernikahanku. Tubuhnya menjadi semakin kurus sejak menjalani operasi bypass jantung delapan bulan sebelumnya. Aku jadi sering tinggal di rumah lamaku untuk menemani dan merawatnya. Edo merasakan kekuatiranku atas kondisi kesehatan Papa yang semakin menurun. Ia setuju ketika aku mengusulkan agar kami tinggal bersama Papa setelah menikah.
Tante Karin tidak tampak batang hidungnya. Menurut Martha, ibunya yang masih tetap menjadi single parent itu sibuk mengurusi toko-toko kuenya yang sudah berjumlah 4 outlet di kota ini.Â
Sesekali dia masih berkumpul dengan kawan-kawan sosialita-nya demi menjaga hubungan baik. Perang dingin antara Eyang, Mama, dan Tante Karin lambat-laun mencair.Â
Tanteku yang biasanya gengsian itu datang ke rumahku dan meminta maaf kepada Mama dan Eyang. Pada mulanya kedua wanita yang merasa tersakiti itu sama sekali tidak menggubrisnya. Namun karena keuletan ibunda Martha itu berkali-kali datang dan menunjukkan penyesalannya, akhirnya Mama dan Eyang pun memaafkannya.