Sembari menghela napas panjang dan menundukkan wajahnya, Lisa menjawab, "Kami tidak pernah bertemu lagi. Hanya saling mengucapkan selamat ulang tahun, selamat Natal, dan selamat tahun baru melalui pesan ponsel."
"Mengapa begitu? Bukankan kalian sudah tidak mempunyai sanak-saudara lagi di dunia ini?"
Wajah Lisa semakin tertunduk, malu sekali rasanya. "Saya...saya takut berhubungan dengan Kak Hesty. Saya kuatir dia akan kembali ke rumah saya dan...dan...ah, bagaimana menjelaskannya ya, Dok?"
Dokter jiwa di hadapannya menepuk-nepuk lembut pundaknya dan berkata lirih, "Katakan saja, Bu. Biar lega. Tidak ada yang menghakimi Ibu di sini."
Perempuan muda berusia awal tiga puluhan itu mengangkat wajahnya dan menatap kedua mata sang dokter dalam-dalam.
"Setelah kejadian itu, saya mempunyai kekuatiran kalau Kak Hesty akan menggoda suami saya. Dia hanya terpaut usia dua tahun lebih tua dari saya, tetapi belum mempunyai anak. Bentuk tubuhnya masih bagus dan kulitnya sangat terawat. Ditambah kondisinya batinnya yang sedang rapuh akibat ditinggalkan suaminya dengan perempuan lain, ia begitu mudah jatuh ke pelukan suami sahabat saya sendiri. Meskipun dia beralasan digoda duluan, saya tetap menyalahkannya karena tidak kuat iman. Barangkali..., barangkali dia memutuskan keluar dari rumah saya karena menyadari ketidakpercayaan saya terhadapnya. Saya sering mengawasi dirinya saat ada suami saya di rumah. Perempuan manapun pasti bisa merasakan jika kehadirannya sudah tidak dikehendaki lagi."
Air mata Lisa jatuh bercucuran dan tiba-tiba kerongkongannya terasa terbakar dan lambungnya mual sekali. Segera diteguknya air mineral sampai habis setengah botol. Kemudian dia menarik napas panjang lewat hidung dan mengeluarkannya pelan-pelan melalui mulut. Beberapa kali dilakukannya hal itu sesuai dengan yang telah diajarkan psikiaternya.
Tak lama kemudian rasa panas di kerongkongan dan mual di lambungnya berkurang. Ia kembali bercerita,"Sekitar satu setengah tahun sejak kejadian itu, Ria tiba-tiba datang ke rumah saya sambil menangis. Ternyata suaminya menghamili rekan kerjanya di kantor. Perempuan itu seorang janda cerai tanpa anak dan sebenarnya tidak mencintai suami Ria. Hubungan mereka hanya sekedar suka sama suka, tanpa ikatan apapun. Bahkan menurutnya, suami Ria sering berkencan dengan wanita-wanita yang kesepian, baik yang sudah bercerai maupun masih bersuami. Baginya hubungan seperti itu lebih menyenangkan karena masing-masing pihak sudah dewasa, berpengalaman, dan sadar atas resiko masing-masing. Namun...". Ucapan Lisa terhenti. Sejenak muncul bayangan wajah Ria yang bersimbah air mata penuh kesedihan.
"Sepandai-pandainya tupai melompat, ia bisa jatuh juga. Perempuan itu pun hamil. Ia merasa sangat sakit hati ketika suami Ria menyuruhnya aborsi dan bahkan memberikannya sejumlah uang dengan syarat ia segera mengundurkan diri dari pekerjaannya dan menghilang dari kota ini. Laki-laki itu menganggap hubungan mereka sudah cacat dan tidak ingin meninggalkan jejak apapun. Perempuan itu merasa diperlakukan bagai habis manis sepah dibuang. Ia menerima uang itu, mengundurkan diri dari perusahaan, melakukan aborsi, dan kemudian membalas dendam dengan cara membeberkan perselingkuhan mereka kepada Ria. Ditunjukkannya bukti foto-foto mesra mereka berdua dan hasil USG kandungannya sebelum digugurkan. Setelah merasa puas menghancurkan rumah tangga Ria, wanita itu lenyap tak berbekas dari kota ini."
Lisa kembali meneguk air mineral dan meneruskan kisahnya, "Tak lama kemudian Ria dan suaminya bercerai. Rumah dan mobil dijual, hasilnya dibagi rata sebagai harta gono-gini. Ria membawa anak tunggalnya pulang ke rumah orang tuanya di luar kota. Mantan suaminya entah kini berada di mana. Saya masih menjalin hubungan baik dengan Ria, meskipun jarak jauh. Dia tidak pernah tahu tentang kejadian mantan suaminya yang menggoda kakak saya dahulu. Tetapi...saya merasa sangat menyesal telah menuduh kakak saya yang bukan-bukan. Bahkan saya tega berprasangka buruk bahwa dia akan menggoda suami saya. Saya benar-benar sudah menjadi seorang adik yang sangat jahat!"
Tumpah-ruah isak tangis Lisa. Kerongkongannya terasa bagaikan terbakar . Ia panik sekali. Dihabiskannya air mineralnya dan bahkan ia meminta sebotol lagi pada psikiaternya. Diteguknya segera botol yang kedua, namun lambungnya menolak. Ia muntah dan membasahi kursi malas yang didudukinya serta lantai di bawahnya.