Ya, Dinda yang sekarang tidak lagi berpenampilan keren sebagaimana dulu semasa kuliah. Sahabatnya itu dulu rajin merawat kecantikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki dan selalu mengikuti tren busana terbaru. Mereka sudah sepuluh tahun lebih bersahabat dan tinggal di komplek perumahan yang cukup dekat setelah menikah. Asri-lah yang mengajak Dinda memasukkan Fany di sekolah yang sama dengan anaknya, supaya mereka dapat rutin bertemu lagi seperti dulu, sebelum Dinda mengetahui bahwa putri sulungnya menyandang autisme dan membutuhkan aneka terapi.
"Sudah berapa lama kamu tidak melakukan facial, Din?" tanyanya sembari menatap kulit wajah sahabatnya yang tampak kusam.
Yang ditanya hanya tertawa geli. "Entahlah, aku lupa. Mungkin sudah setahun lebih. Sulit sekali rasanya meluangkan waktu dan biayanya sekarang pasti tambah mahal. Lebih baik buat biaya terapi Viola."
"Nah, sedikit-sedikit Viola. Aku tahu kamu ingin memberikan yang terbaik untuk anakmu. Tetapi dirimu sendiri juga membutuhkan perawatan. Suamimu masih muda, Din. Hati-hati dia kecantol wewe gombel, lho,"goda Asri seraya menjulurkan lidahnya. Dinda kembali tertawa. Dia sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Asri yang memang suka berterus-terang. Tiba-tiba terdengar suara bel sekolah berbunyi, pertanda jam pulang sekolah telah tiba. Sepasang sahabat itu segera beranjak menuju depan pintu sekolah untuk menjemput anaknya masing-masing.
***
Sore harinya Dinda mengantar Viola les piano di lembaga kursus musik yang terbiasa menangani orang-orang berkebutuhan khusus. Ia duduk menunggu di lobby dan menyapa seorang perempuan setengah baya yang mengenakan seragam baby sitter.
"Halo, Sus," sapanya hangat. Sudah setahun ini dirinya selalu bertemu dengan perempuan itu setiap Selasa sore. Jadwal kursus Evan, pemuda berkebutuhan khusus berusia dua puluh satu tahun yang diasuh ibu itu, sama dengan jadwal kursus Viola.
Perempuan bertubuh tinggi besar dan berambut pendek rapi itu membalas sapaan Dinda dengan senyuman getir. Sorot matanya penuh kesedihan. "Ini terakhir kalinya Evan kursus di sini, Bu. Saya sekalian pamit. Mohon maaf bila selama ini saya ada kesalahan...."
Suster itu menyodorkan kedua tangannya mengajak bersalaman. Dinda terkejut sekali.
Sang suster bercerita, "Evan kan sudah ditinggal ayahnya meninggal dunia sejak masih berusia lima tahun. Lalu ibunya berjuang sendirian melanjutkan bisnis ayahnya. Kakak Evan yang waktu itu berusia delapan belas tahun disekolahkan ke Amerika. Hingga akhirnya ia pulang dan memperkenalkan kekasihnya, sesama orang Indonesia yang juga bersekolah di sana. Mereka menikah di sini dan tak lama kemudian kembali ke Amerika untuk bekerja di sana. Tapi dua tahun yang lalu mereka terpaksa kembali ke Indonesia karena ibu Evan sakit parah. Beliau memohon mereka pulang untuk meneruskan bisnisnya dan merawat Evan."
Tiba-tiba Dinda teringat akan suatu hal. "Bukankah sekitar setahun yang lalu ibu Evan meninggal dunia? Beberapa minggu sebelum Viola les di sini, kan?"
"Betul, Bu. Pelan-pelan kakak ipar Evan mulai mempengaruhi suaminya untuk menjual semua aset mendiang ibunya dan kembali tinggal di Amerika. Dia bilang tidak betah tinggal di sini dan kedua anak mereka takut melihat Evan yang suka tertawa-tertawa dan bicara sendiri, juga tantrum tanpa sebab. Padahal saya tahu Evan kembali berulah karena sangat merindukan ibunya...."
Dinda mengeluarkan sebungkus tisu kecil dari dalam tasnya dan diberikannya kepada suster yang mulai berlinangan air mata. Pengasuh Evan itu menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Kemudian ia melanjutkan ceritanya, "Tiga hari lagi saya akan dipulangkan ke desa dan Evan dimasukkan ke sebuah panti di Solo...."
Dinda tersentak.
"Solo? Jauh sekali...."
Kedua matanya mulai berkaca-kaca memikirkan nasib pemuda malang itu. "Kakak Evan dan istrinya sudah mencari-cari ke mana-mana dan mereka paling sreg di tempat itu. Saya pernah diajak ke sana. Tempatnya memang bersih, rapi, dan memiliki fasilitas terapi yang memadai. Karyawan-karyawan di sana tampak ahli di bidangnya. Orang-orang berkebutuhan khusus di sana kelihatannya diperlakukan dengan baik. Tetapi...entahlah, Bu. Saya kok tetap merasa lebih baik orang-orang seperti Evan dirawat oleh keluarganya sendiri. Tetapi kakak kandungnya sendiri bahkan tidak tahu dan tidak mau belajar tentang cara yang tepat untuk menghadapi Evan. Mereka seperti orang asing, tidak mempunyai rasa persaudaraan yang erat. Mungkin karena sudah lama sekali tinggal terpisah. Dan sepertinya ia merasa malu memiliki adik yang berbeda seperti Evan...."
Hati Dinda bagaikan teriris sembilu mendengarkan penuturan pilu wanita di hadapannya.
***
Keesokan harinya Dinda bercerita tentang Evan kepada Asri. Sahabatnya itu kelihatan turut terenyuh mendengarkan nasib pemuda malang tersebut.
"Sepertinya Tuhan sudah memberikan jawaban dimana sekolah yang cocok untuk Fany tahun ajaran depan," ucap Dinda lirih.
Asri mengangguk tanda mengerti. Digenggamnya tangan Dinda dan berkata, "Meskipun Fany tidak lagi bersekolah di sini, kita toh masih bisa bertemu di sela-sela anak-anak sekolah. Aku dengan sepenuh hati mendukung apapun keputusanmu, Din. Maafkan aku kemarin membuatmu bimbang. Mungkin memang sebaiknya kedua anakmu dimasukkan di sekolah yang sama."
Dinda mengangguk pelan. "Dulu Fany kusekolahkan di sini karena aku ingin membandingkan kualitasnya dengan sekolah Viola. Dan ternyata kulihat kualitas sekolah Viola tidak buruk, meskipun kalah dari segi fasilitas dan jumlah murid. Kini setelah mendengar kisah tentang Evan, aku semakin mantap menyatukan kedua anakku di sekolah yang sama. Harapanku adalah semakin sering bersama, kedua anakku semakin tak terpisahkan. Di sekolah itu ada beberapa anak autis, ADHD, down syndromme, dan lain-lain. Bersekolah di sana selama enam tahun akan membuat Fany merasa terbiasa berada di lingkungan orang-orang dengan kondisi berbeda. Semoga hal itu bisa membuatnya semakin menerima keadaan kakaknya apa adanya. Dan tali persaudaraan mereka semakin erat. Juga rasa kasih sayang diantara mereka tidak pernah pudar...."
Kedua mata Dinda mulai berkaca-kaca. Asri menepuk punggung tangan sahabatnya dengan lembut. "Aku percaya harapanmu akan menjadi kenyataan, Din. Karena kamu benar-benar seorang ibu yang baik...."
Dinda tersenyum dan mendesah panjang,"Semoga...."
Kriiiingggg! Bel tanda jam pulang sekolah berdering kencang. Kedua ibu muda itu segera beranjak menuju ke arah pintu penjemputan.
Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H