Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Sisi Kelam Prof. Sulaeman Badil

3 Februari 2025   09:51 Diperbarui: 3 Februari 2025   15:46 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen  |  Pelajaran Hidup dari Prof. Dr. Sulaeman Badil: Di Balik Cahaya, Ada Sisi Kelam

DikToko
(Soetiyastoko)

Suasana sore itu di kafe UNPAD Jalan Dipati Ukur, Bandung, tetap tenang. Di dalam gedung yang kokoh dengan arsitektur indah,  suara cangkir kopi yang beradu dengan pisin-tatakan-nya,  menjadi latar belakang bagi pertemuan penuh makna.

Di salah satu sudut kafe, sekelompok orang duduk mengelilingi Prof. Dr. Sulaeman Badil. Wajahnya tenang, namun pandangan matanya menyiratkan kesedihan yang dalam, seperti menyimpan rahasia yang tak terungkap.

"Prof, mengapa Prof tetap datang ke sini? Kami pikir Prof akan butuh waktu sendiri setelah...," Budi mencoba mengutarakan kekhawatirannya dengan hati-hati.

Prof. Sulaeman Badil tersenyum, meski lemah. "Terima kasih, Budi. Kehilangan mantan  istri pertama saya  -yang saya ceraikan secara tak patut. Dia, dia, yaa dia orang baik ...

Anugerahnya yang kusia-siakan.

Kepergiannya telah menyadarkan saya .

Kini tiba-tiba torehkan pedih yang sesungguhnya ....
Memang ini luka yang dalam. Tapi justru karena itu, saya ingin tetap bersama kalian. Ada sesuatu yang penting yang ingin saya sampaikan."

Semua orang yang duduk di sekelilingnya terdiam, bersiap lanjut mendengarkan.

Di luar, angin sore menggerakkan dedaunan dengan lembut, sementara di dalam kafe, waktu seolah berhenti.

Pelayan yang datang membawa pesanan mereka, tak mendapat perhatian, karena semua mata tertuju pada sosok Prof. Sulaeman Badil. Ilmuwan dengan kehidupan pribadi yang ternyata banyak duri.

"Saya telah mengajar lebih dari 19 tahun, dan saya memiliki banyak murid. Tapi tahukah kalian," ia berhenti sejenak, menghela napas, "Saya juga memiliki banyak guru."

"Guru, Prof?" Indra, salah satu mahasiswa, tak bisa menahan rasa penasarannya.

"Ya, guru. Kalian semua, murid-murid saya, sekaligus adalah guru-guru saya.

Saya mengajar, tapi saya juga harus terus belajar dari kalian. Setiap diskusi, setiap pertanyaan yang kalian ajukan, itulah momen-momen di mana saya belajar.

Mengajar dan belajar tak bisa dipisahkan. Itulah cara kita menjaga energi positif dan mencapai perubahan hidup yang lebih baik." Prof Sulaeman Badil suasana hatinya beda dengan ucapan bijaknya.

Mata Budi mulai berkaca-kaca, mengenang saat-saat ketika Prof. Sulaeman dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaannya, meskipun kadang pertanyaannya terdengar remeh. Ia teringat bagaimana gurunya itu menekankan pentingnya rasa ingin tahu, tak hanya bagi para mahasiswa, tapi juga bagi dirinya sendiri.

"Otak kita butuh terus diisi dengan ilmu, tapi kita juga harus berbagi manfaat kepada lebih banyak orang," lanjut Prof. Sulaeman.

"Pengetahuan yang disimpan untuk diri sendiri tak ada gunanya. Dengan berbagi, justru kita akan mendapatkan lebih banyak."

"Ilmu bertumbuh dan berkembang, bila diamalkan dan disebarkan" , sambungnya.

"Prof, apakah ini alasan Prof tetap datang mengajar, meski sedang berduka?" tanya Tia, seorang mahasiswi di dekatnya.

"Ya, Tia. Mengajar adalah cara saya untuk tetap kuat. Setiap kali saya berbagi ilmu, hidup saya terasa lebih berarti. Kalian adalah alasan saya terus berjuang. Kehilangan istri saya sangat berat, tapi ada hal-hal lebih besar yang masih harus saya lakukan. Saya ingin memberikan yang terbaik selama saya bisa ..."

Kata-kata itu terhenti di udara, menyelimuti mereka dengan kesadaran akan kedalaman makna yang tersirat. Satu per satu, mereka mulai merenungkan pesan yang disampaikan oleh Prof. Sulaeman Badil.

"Terima kasih untuk kalian semua murid-murid saya," Prof. Sulaeman melanjutkan,

"Dan terima kasih juga kepada semua guru-guru saya, termasuk kalian. Mari kita bergerak lebih baik setiap hari, bismillah."

Sore itu di kafe UNPAD, kata-kata Prof. Sulaeman Badil menjadi kenangan abadi.
Meski kini beliau telah tiada, pesannya terus hidup, menjadi pelajaran berharga bagi siapa pun yang pernah mengenalnya.

Wafat, setelah tersungkur di tempat dia berlindung  2 bulan terakhir. Lari dari siksa fisik kejam anak-anak tiri dari perempuan penuh pikat -yang membuat dirinya tak peduli istri dan anak-anak kandungnya sendiri.

Dibalik gemerlap terang apakah harus selalu ada gulita kelam ?

***

Hari ini, di hadapan jenazah Prof. Sulaeman, Budi kembali mengenang sore itu. Di tengah kerumunan pelayat, ia merenungkan bagaimana sosok yang dulu begitu kuat dan terlihat bijaksana kini terbaring kaku, meninggalkan dunia yang pernah ia coba ikut membentuk dengan ilmunya.

Namun, ada hal yang kini menghantui pikiran Budi.

Budi teringat kembali curhat sosok yang dihormatinya  dengan gelisah ...

Sekali lagi kutulis  isi pikiran Budi ...

Kenyataan pahit yang baru terungkap setelah kepergian sang Profesor. Siapa sangka, hidup Prof. Sulaeman Badil berakhir tragis.

Terungkap bahwa beliau mengalami kekerasan dalam rumah tangga dari anak-anak tirinya, dan yang lebih mengejutkan, beliau telah menjual rumahnya,  demi janda yang memikat nafsunya.

Tega menelantarkan tiga anak kandung dan ibu mereka.

Bahkan, di masa-masa terakhir hidupnya, beliau jatuh tersungkur di depan sebuah warung tegal dengan pakaian yang tak layak, Meregang nafas di tempat ia numpang tidur selama dua bulan terakhir.

Budi bergumam dalam hati, "Betapapun itu. Kita jangan pernah menghakimi seseorang, selagi kita bukan hakim. Ingatlah, betapa baiknya seseorang, ia tetaplah manusia yang memiliki sisi kelam."

Hari ini, di tengah kesedihan, Budi belajar bahwa tak ada manusia yang sempurna.

Bahwa di balik setiap kebaikan, mungkin tersembunyi luka yang dalam, rahasia yang gelap. Dan justru karena itu, kita harus lebih banyak belajar memaafkan, memahami, dan menyadari bahwa setiap orang sedang berjuang dengan beban hidupnya masing-masing.

"Terima kasih, Prof, selamat jalan ..."

Budi berbisik pada dirinya sendiri di antara kerumunan pengantar jenasah,

"Terima kasih telah mengajarkan kami tentang hidup, tentang ilmu, dan tentang makna dari setiap langkah yang kita ambil.
Kami akan selalu berusaha bergerak lebih baik, seperti yang Prof ajarkan. Dan kami juga akan belajar untuk tidak menghakimi, karena kita tak pernah tahu seperti apa luka yang disembunyikan oleh seseorang yang di luarnya tampak hebat."

Jenazah yang terkubur itu, kecewakah dia ? Tak satu pun darah dagingnya yang mengiringnya dengan hadir dan doa.

Untuk fisika dan matematika, dia memang jagoan. Namun tentang kesejatian kasih dan kesetiaan cinta, dia tak hadir  -tak menyimak. Pun dikelas yang awal, kelas pendahuluan.

Hidup ini tak cukup dengan hebat di fisika dan matematika saja.

--------------

Pagedangan, BSD, Kab.Tangerang, Minggu 18/08/2024 10:41:07

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun