"Prof, apakah ini alasan Prof tetap datang mengajar, meski sedang berduka?" tanya Tia, seorang mahasiswi di dekatnya.
"Ya, Tia. Mengajar adalah cara saya untuk tetap kuat. Setiap kali saya berbagi ilmu, hidup saya terasa lebih berarti. Kalian adalah alasan saya terus berjuang. Kehilangan istri saya sangat berat, tapi ada hal-hal lebih besar yang masih harus saya lakukan. Saya ingin memberikan yang terbaik selama saya bisa ..."
Kata-kata itu terhenti di udara, menyelimuti mereka dengan kesadaran akan kedalaman makna yang tersirat. Satu per satu, mereka mulai merenungkan pesan yang disampaikan oleh Prof. Sulaeman Badil.
"Terima kasih untuk kalian semua murid-murid saya," Prof. Sulaeman melanjutkan,
"Dan terima kasih juga kepada semua guru-guru saya, termasuk kalian. Mari kita bergerak lebih baik setiap hari, bismillah."
Sore itu di kafe UNPAD, kata-kata Prof. Sulaeman Badil menjadi kenangan abadi.
Meski kini beliau telah tiada, pesannya terus hidup, menjadi pelajaran berharga bagi siapa pun yang pernah mengenalnya.
Wafat, setelah tersungkur di tempat dia berlindung  2 bulan terakhir. Lari dari siksa fisik kejam anak-anak tiri dari perempuan penuh pikat -yang membuat dirinya tak peduli istri dan anak-anak kandungnya sendiri.
Dibalik gemerlap terang apakah harus selalu ada gulita kelam ?
***
Hari ini, di hadapan jenazah Prof. Sulaeman, Budi kembali mengenang sore itu. Di tengah kerumunan pelayat, ia merenungkan bagaimana sosok yang dulu begitu kuat dan terlihat bijaksana kini terbaring kaku, meninggalkan dunia yang pernah ia coba ikut membentuk dengan ilmunya.
Namun, ada hal yang kini menghantui pikiran Budi.