Di luar, angin sore menggerakkan dedaunan dengan lembut, sementara di dalam kafe, waktu seolah berhenti.
Pelayan yang datang membawa pesanan mereka, tak mendapat perhatian, karena semua mata tertuju pada sosok Prof. Sulaeman Badil. Ilmuwan dengan kehidupan pribadi yang ternyata banyak duri.
"Saya telah mengajar lebih dari 19 tahun, dan saya memiliki banyak murid. Tapi tahukah kalian," ia berhenti sejenak, menghela napas, "Saya juga memiliki banyak guru."
"Guru, Prof?" Indra, salah satu mahasiswa, tak bisa menahan rasa penasarannya.
"Ya, guru. Kalian semua, murid-murid saya, sekaligus adalah guru-guru saya.
Saya mengajar, tapi saya juga harus terus belajar dari kalian. Setiap diskusi, setiap pertanyaan yang kalian ajukan, itulah momen-momen di mana saya belajar.
Mengajar dan belajar tak bisa dipisahkan. Itulah cara kita menjaga energi positif dan mencapai perubahan hidup yang lebih baik." Prof Sulaeman Badil suasana hatinya beda dengan ucapan bijaknya.
Mata Budi mulai berkaca-kaca, mengenang saat-saat ketika Prof. Sulaeman dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaannya, meskipun kadang pertanyaannya terdengar remeh. Ia teringat bagaimana gurunya itu menekankan pentingnya rasa ingin tahu, tak hanya bagi para mahasiswa, tapi juga bagi dirinya sendiri.
"Otak kita butuh terus diisi dengan ilmu, tapi kita juga harus berbagi manfaat kepada lebih banyak orang," lanjut Prof. Sulaeman.
"Pengetahuan yang disimpan untuk diri sendiri tak ada gunanya. Dengan berbagi, justru kita akan mendapatkan lebih banyak."
"Ilmu bertumbuh dan berkembang, bila diamalkan dan disebarkan" , sambungnya.