Dia sabar menanti kedatanganku dari dapur dengan secangkir teh panas dan ubi kukus. Kini, kursi itu kosong.
*"Ibu sehat ?"*
Seandainya ada suara itu lagi di rumah ini. Seandainya anak-anak itu masih ingat bertanya.
Tapi mereka sibuk. Sibuk dengan keluarga mereka. Dengan rumah mereka yang lebih besar. Dengan mobil mereka yang lebih mewah.
Pernah, aku mencoba menelepon. *"Bu, kami sibuk ya, lain kali ya, Bu,"* begitu katanya. Lain kali. Lain kali. Lain kali yang tak pernah datang.
Kini, aku tak mau lagi mengharapkan mereka menginap di sini. "Kamarnya sempit dan panas, cucu Ibu nanti rewel dan mengganggu Ibu, ..." , begitu ucap mereka.
Padahal dulu mereka tiap hari di situ, dari kecil hingga menikah.
Yaa, sudahlah. Sekarang mereka punya pilihan dan bisa bayar hotel bintang lima. Bahkan  aku dibawa nginap di sana.
"Sarapan paginya enak, Â yaa Bu, ... Ibu, kok cuma makan nasi goreng ? 'Kan ada yang lain, ada _steak_ , sop buntut dan bebek peking. Itu "kan dulu kesukaan Ibu".
"Senny, Ibu lagi pingin nasi goreng saja", jawabku.
***
Aku beranjak ke ruang tamu. Ruangan yang dulu ramai mainan mereka sering berserakan di sini, kini terasa seperti makam. Sepi.
Hanya jam dinding yang terus berdetak, tak pernah berubah. Seolah menghitung waktu yang tersisa untukku.