Cerpen  |  PUTRI SEJATI DAN BAYANG-BAYANG KEHIDUPAN
Bersyukurlah, tak mengalami seperti di Cerpen ini
DikToko
(Soetiyastoko)
Meja rias tua di sudut kamar menjadi saksi setia. Cermin di depanku menampilkan wajah yang kian renta, garis-garis halus di sekitar mata, pipi yang mengendur sudah lama tak kupoles seulas warna merah, dan rambut yang tak lagi menyisakan hitam. Aku merapikan kerudungku, lalu tersenyum kecil pada bayanganku sendiri. Aku masih cantik.
"Putri Sejati," gumamku pelan, menyebut nama yang dulu sering dipuji-puji. Ah, anak-anak dan menantuku pasti masih mengingatku, bukan?
Aku menghela napas, meraih sisir gading yang dulu dibelikan suamiku saat pertama kali kami pergi haji.
Dulu, rambutku panjang, hitam, berkilau---kini tipis dan rapuh seperti sisa-sisa harapan yang tertinggal di rumah ini.
Sudah tiga tahun suamiku pergi. Meninggal di masjid, saat jadi Imam, ketika  sedang sujud di rakaat terakhir salat Isya.
Sungguh akhir yang diidamkan setiap mukmin. Tapi aku? Aku masih di sini, terjebak dalam kesunyian yang menusuk lebih tajam daripada dinginnya malam.
Aku berdiri, berjalan menuju jendela. Senja menembus kaca, telah tiba.
Langit oranye bin jingga kemerahan menuju kelam, seperti bara yang meredup di ujung malam.
Dulu, di waktu-waktu seperti ini, suamiku biasa duduk di kursi goyang, dengan tablet ditangan menuliskan ilmu yang dia punya, "Jejak pengalaman yang harus kuabadikan" itu ucapnya  setiap kali kutanya.