Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | PUTRI SEJATI DAN BAYANG-BAYANG KEHIDUPAN

1 Februari 2025   08:32 Diperbarui: 1 Februari 2025   09:33 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen  |  PUTRI SEJATI DAN BAYANG-BAYANG KEHIDUPAN

Bersyukurlah, tak mengalami seperti di Cerpen ini

DikToko
(Soetiyastoko)

Meja rias tua di sudut kamar menjadi saksi setia. Cermin di depanku menampilkan wajah yang kian renta, garis-garis halus di sekitar mata, pipi yang mengendur sudah lama tak kupoles seulas warna merah, dan rambut yang tak lagi menyisakan hitam. Aku merapikan kerudungku, lalu tersenyum kecil pada bayanganku sendiri. Aku masih cantik.

"Putri Sejati," gumamku pelan, menyebut nama yang dulu sering dipuji-puji. Ah, anak-anak dan menantuku pasti masih mengingatku, bukan?

Aku menghela napas, meraih sisir gading yang dulu dibelikan suamiku saat pertama kali kami pergi haji.

Dulu, rambutku panjang, hitam, berkilau---kini tipis dan rapuh seperti sisa-sisa harapan yang tertinggal di rumah ini.

Sudah tiga tahun suamiku pergi. Meninggal di masjid, saat jadi Imam, ketika  sedang sujud di rakaat terakhir salat Isya.

Sungguh akhir yang diidamkan setiap mukmin. Tapi aku? Aku masih di sini, terjebak dalam kesunyian yang menusuk lebih tajam daripada dinginnya malam.

Aku berdiri, berjalan menuju jendela. Senja menembus kaca, telah tiba.
Langit oranye bin jingga kemerahan menuju kelam, seperti bara yang meredup di ujung malam.

Dulu, di waktu-waktu seperti ini, suamiku biasa duduk di kursi goyang, dengan tablet ditangan menuliskan ilmu yang dia punya, "Jejak pengalaman yang harus kuabadikan" itu ucapnya  setiap kali kutanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun