Kupandangi foto keluarga di dinding. Pigura besar dari kayu jati, asli ukiran pengrajin Jepara. Di situ ada wajahku, suamiku, anak-anak, dan cucu-cucu yang dulu pernah berlarian di rumah ini.
Aku duduk di sofa, tangan mengelus lutut yang mulai sering nyeri. Pikiranku melayang ke masa lalu.
"Uang itu penting, Ibu. Kita harus punya tabungan, investasi, properti. Semua orang harus begitu kalau nggak mau susah di masa tua."
Ah, anak-anakku. Mereka lupa bahwa harta, benar bisa  menyejahterakan, tapi juga bisa menjerumuskan.
Allah berfirman:
"Pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam Neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung, dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu."Â (QS. At-Taubah: 35).
Mudah-mudahan mereka masih ingat pesan Kitab Suci itu.
Apa gunanya rumah megah jika di dalamnya tidak ada cinta? Apa gunanya rekening yang penuh jika tak pernah digunakan untuk berbagi?
Tiba-tiba, suara gaduh dari teras membuyarkan lamunanku. Aku berjalan ke luar, menemukan dua kucing liar berkelahi, berebut pasangan. Mereka saling mencakar, saling mengeong keras. Astaga, bahkan kucing pun berkelahi demi cinta, demi keturunan.
Aku tersenyum pahit. "Seandainya anak-anakku peduli padaku seperti kucing-kucing ini peduli pada naluri mereka sendiri."
Aku duduk di kursi bambu tua di teras. Angin malam mulai berembus. Dingin. Terasa begitu menusuk. Aku melipat tangan di dada, berusaha menghangatkan diri.
Sweeter abu-abu tak cukup melerai dingin Bandung utara yang bertengkar dengan kulitku.